Cina dan Persekongkolan Politik

TRANSINDONESIA.CO – Persoalan maju pesatnya etnis Cina bukan semata karena soal kehebatan budaya atau kemampuan pribadi Mereka. Itu menyederhanakan persoalan.

Kebijakan di era Orde Baru (Orba) dan Akhir ORBA khususnya pasca kasua Bantuan Likuidasi Bank Indoensia (BLBI) misalnya, itu luar biasa menaikkan grafik ekonomi etnis Cina.

Kita renungkan ucapan penulis Barat dibawah ini, “Kemerosotan peranan perusahaan-perusahaan pribumi dianggap banyak kalangan akibat korban persekongkolan antara modal non pribumi dengan asing yang mendapat perlindungan politik dari pejabat tinggi pemerintahan. Kecaman terhadap strategi pembangunan menjurus kepada tuduhan bahwa strategi pembangunan ini mengkhianati kepentingan bangsa,” Richard Robison, tahun 1985.

Kasus BLBI.
Kasus BLBI.

Selanjutnya Henry Veltemeyer, “Proses akumulasi kekayaan disatu sisi, penghisapan serta pemiskinan disisi lain, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu desain kebijakan politik – ekonomi yg kini kita kenal sebagai Neoliberalisme dan Globalisasi Kapitalis (akibat para ekonom yang disebut Mafia Barkley).

Kemajuan etnis Cina ini salah satu karena keberanian mereka bersepekulasi (baca: manipulasi) dalam melakukan pinjaman dengan alasan modal usaha di bank dan kemudian melarikan dana juga dirinya keluar negeri. Kita belum lupa terhadap nama nama dibawah ini, antara lain:

  1. Eddi Tansil alias Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan. Awal 1990-an membobol Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebesar Rp1,5 triliun, ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sekitar Rp1.500 per dollar. Kini, ketika nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sekitar 700 %, berarti duit yang digondol Eddi Tanzil setara dgn Rp9 triliun, lebih besar dari nilai skandal Bank Century yang Rp6,7 triliun.
  2. Di penghujung tumbangnya Orba, sejumlah pengusaha dan bankir Cina panen BLBI. Banyak diantara mereka yang kemudian melarikan diri ke luar negeri dengan meninggalkan aset rongsokan sebagai jaminan dana talangan.
  3. Andrian Kiki Ariawan, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp1,5 triliun. Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia.
  4. Eko Adi Putranto, anak Hendra Rahardja ini terlibat dalam korupsi BLBI Bank Harapan Sentosa (BHS). Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
  5. Sherny Konjong Jang, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS bersama Eko Adi Putranto dan diduga merugikan negara sebesar Rp2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Pengadilan menjatuhkan vonis 20 tahun penjara, in absentia.
  6. David Nusa Wijaya, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Servitia. Ia diduga merugikan negara sebesar Rp1,29 triliun. Sedang dalam proses kasasi. David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika.
  7. Samadikun Hartono, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Modern. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp169 miliar. Kasus Samadikun dalam proses kasasi. Ia melarikan diri ke Singapura.

Total general, duit rakyat yang dikemplang “rampok” oleh tujuh konglomerat hitam “Aseng” ini (meminjam istilah Kwik Kian Gie) dalam kasus ini sekitar Rp225 triliun.

Menurut catatan Kompas 2 Januari 2003, jumlah utang dan dana BLBI yang diterima Sudono Salim (Salim Grup) alias Liem Sioe Liong sekitar Rp79 triliun, Sjamsul Nursalim alias Liem Tek Siong Rp65,4 triliun, Bob Hasan alias The Kian Seng Rp17,5 triliun, Usman Admadjaja Rp35,6 triliun, Samadikun (Modern Group) Rp4,8 triliun dan Ongko Rp20,2 trilyun. Dan masih banyak lagi.

Jadi sekali lagi kita harus tahu dan sadari, kemajuan serta penguasaan ekonomi etnis Cina di Indonesia ini bukan natural, tetapi karena persekongkolan yang mereka lakukan dengan penguasa Orba.

Dimasa reformasi ini kelihatan mereka akan kembali memperaktekkan cara-cara yang sama. Mari kita awasi dan ingatkan pemerintah, karena yang akan menanggung akibatnya bukan cuma kita sendiri, tapi juga generasi anak cucu kita.

Dari catatan yang dikutip penulis, apa yang dituangkan diatas artinya ada sistem dan kebijakan yang mendongkrak secara luar biasa sehingga etnis Cina menjadi dahsyat seperti sekarang.

Jangan dikira semata karena kehebatan individual merek, seperti etos dan budaya unggul (sekali lagi; karena persekongkolan yang di design oleh sekelompok ekonom yang menguasai Orba, Mafia Berkley).

Karena jika begitu, cara pandangnya kita akan menghina bangsa sendiri dengan kata pemalas, bodoh dan bermental maling dan sebagainya.

Padahal, kebijakan yang diskriminatif itu telah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda dimana kaum pribumi cuma warga kelas 3 di negeri ini.

Tujuan Kemerdekaan itu, menyitir ucapan Bung Hatta adalah untuk meningkatkan martabat kaum pribumi. Pikiran Bung Hatta malah sukses diterjemahkan oleh Dr Mahatir Muhammad di Malaysia.

Bung Hatta: “Tujuan utama revolusi nasional adalah mengangkat posisi ekonomi pribumi sehingga terbebas dari tekanan dan penghisapan” [halaman 156, buku Mengenang 100 Tahun Bung Hatta].

Prof Dr. Sumitro Djojohadikusumo; “Adalah merupakan penyimpangan dari cita-cita kemerdekaan jikalau kekuatan ekonomi pribumi tidak diprioritaskan untuk dikembangkan” [halaman 129, buku Mengenang 100 Tahun Bung Hatta]

Abdullah Rasyid Tanjung [Direktur Sabang Merauke Institute dan Seknas Boemi Poetera]

Share