Menavigasi Badai: Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Gejolak Indo-Pasifik

 

TRANSINDONESIA.co | Penulis: Drs. Muhammad Bardansyah

Sebagai kawasan yang menjadi episentrum persaingan geopolitik abad ke-21, Indo-Pasifik menempatkan Indonesia—negara kepulauan terbesar dan pemimpin de facto ASEAN—pada posisi yang genting.

Meningkatnya ketegangan AS-China, militerisasi Laut China Selatan, dan melemahnya norma multilateral telah menjerumuskan Jakarta ke dalam ujian strategis. Artikel ini menganalisis respons politik luar negeri Indonesia terhadap turbulensi regional, menilai kesesuaiannya dengan doktrin “bebas-aktif” sambil menghadapi realitas geostrategis yang kompleks.

Kalkulasi Strategis Indonesia: Prinsip vs Pragmatisme

Doktrin “Bebas-Aktif” dalam Konteks Baru

Politik luar negeri Indonesia selama ini bertumpu pada prinsip non-blok, netralitas, dan sentralitas ASEAN.

Namun, pemerintahan Joko Widodo secara halus menyesuaikan doktrin ini ke arah “ekuidistansi pragmatis:

Pragmatisme Ekonomi : Memperdalam kerja sama dagang dengan China (USD 133 miliar pada 2023) sembari memperkuat hubungan pertahanan dengan AS (misalnya latihan militer Garuda Shield 2023).

Diam Strategis : Menghindari sikap eksplisit dalam isu-isu sensitif seperti Taiwan, meski mendapat tekanan AS untuk mengutuk asertivitas China.

Sentralitas ASEAN yang Terancam

Kepemimpinan Indonesia di ASEAN diuji oleh:

Krisis Myanmar : Diplomasi “senyap” Jakarta gagal memecah kebuntuan junta militer, memperlihatkan kelumpuhan institusional ASEAN.

Kode Etik Laut China Selatan : Taktik penguluran waktu China dan sikap asertif Filipina-Vietnam menyulitkan peran Indonesia sebagai mediator.

Studi Kasus: Sengketa Kepulauan Natuna

Ketegangan dengan China pada 2019–2023 terkait penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran ZEE di Laut Natuna mencerminkan strategi ganda Indonesia:

Ketegasan Diplomatik : Mengerahkan kapal perang dan menolak klaim “sembilan garis putus-putus” China.

Restriksi Ekonomi : Menghindari sanksi terhadap perusahaan China untuk menjaga investasi Belt and Road Initiative (BRI).

Hasil : Kemenangan taktis bagi Jakarta, tapi perambahan China secara bertahap terus berlanjut, menandakan batas deterensi maritim Indonesia.

Papan Catur Indo-Pasifik: Strategi Hedging Indonesia

1. Hedging Keamanan.

Keterlibatan dengan Quad : Berpartisipasi dalam inisiatif non-militer Quad (misalnya iklim, kesehatan) sambil menolak keanggotaan resmi untuk tidak memprovokasi Beijing.

Modernisasi Pertahanan : Akuisisi jet tempur Rafale (Prancis) dan kapal selam Korea Selatan untuk mengurangi ketergantungan pada sistem AS atau China.

2. Penyeimbangan Institusional

ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) : Mendorong mekanisme yang dipimpin ASEAN untuk menyaingi dominasi Quad dan RCEP pimpinan China.

Koalisi Kekuatan Menengah : Memperkuat kerja sama dengan India (pakta pertahanan) dan Korea Selatan (kemitraan mineral strategis) untuk mendiversifikasi aliansi.

AOIP adalah kerangka kerja ASEAN (diinisiasi oleh Indonesia pada 2019) untuk menawarkan alternatif terhadap narasi geopolitik Indo-Pasifik yang didominasi oleh kekuatan besar seperti “Quad” (AS, Jepang, India, Australia) dan “RCEP” (kemitraan ekonomi China-centric).

Tujuannya adalah memastikan ASEAN tetap menjadi “poros” (_centrality_) dalam tata kelola regional, bukan sekadar arena persaingan AS-China.

Quad dan RCEP sering dipandang sebagai alat rivalitas AS-China. Quad fokus pada keamanan maritim anti-China, sementara RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dipimpin China untuk integrasi ekonomi Asia Timur.

AOIP menawarkan pendekatan inklusif dengan mengundang **semua negara** (termasuk AS, China, India) untuk berkolaborasi di bawah payung ASEAN, tanpa prasyarat ideologis.

Contoh: AOIP menekankan kerja sama di bidang maritim, konektivitas, dan SDM, bukan aliansi militer.

Counterbalance terhadap Dominasi :

“Quad” : ASEAN (lewat AOIP) menolak logika “blok” dengan menawarkan platform netral untuk dialog, seperti “ASEAN Regional Forum (ARF)  atau “East Asia Summit (EAS)”.

“RCEP” : Meski RCEP dipimpin China, AOIP memastikan kepentingan ASEAN (misalnya, perlindungan UMKM) tidak tenggelam dalam agenda Beijing.

Proyek Nyata AOIP:

Maritime Cooperation : Pelatihan penanganan sampah laut bersama Jepang dan Australia.

Infrastructure Fund : Pembiayaan proyek konektivitas di Kamboja/Myanmar untuk mengurangi ketergantungan pada BRI China.

Tantangan

Fragmentasi ASEAN : Perbedaan sikap anggota ASEAN terhadap China (misalnya, Laos vs. Filipina) melemahkan kohesi AOIP.

Keterbatasan Anggaran : AOIP bergantung pada pendanaan eksternal (AS/Jepang), berisiko terpengaruh kepentingan donor.

Koalisi Kekuatan Menengah: Kerja Sama dengan India & Korea Selatan

Indonesia, sebagai kekuatan menengah (_middle power_), membangun aliansi dengan negara-negara selevel (India, Korea Selatan, Turki, dll.) untuk:

Diversifikasi Kemitraan:  Mengurangi ketergantungan pada AS atau China.

Meningkatkan Daya Tawar : Bersatu dengan negara “non-blok” lain untuk mempengaruhi agenda global.

Contoh Konkret :

a. India: Pakta Pertahanan

Latar Belakang : India adalah kekuatan demokrasi terbesar di Asia yang juga berhadapan dengan hegemoni China (sengketa perbatasan Himalaya).

Bentuk Kerja Sama :

i. Latihan Militer Bersama: Latihan udara _Garuda Shakti_ dan latihan laut _Samudra Shakti_.

ii. Transfer Teknologi : Pembelian rudal BrahMos (India-Rusia) untuk memperkuat pertahanan Natuna.

iii. Diplomasi Maritim : Dukungan India terhadap klaim Indonesia di UNCLOS.

b. Korea Selatan : Kemitraan Mineral Strategis.

Latar Belakang : Korea Selatan adalah raksasa industri baterai dan semi-konduktor yang butuh nikel/kobalt—mineral yang melimpah di Indonesia.

Bentuk Kerja Sama :

i. Investasi Pengolahan Mineral : Perusahaan Korea seperti LG Chem dan POSCO membangun pabrik baterai EV di Morowali (senilai USD 9,8 miliar).

ii. Teknologi Hijau : Transfer teknologi smelter ramah lingkungan untuk memenuhi standar Uni Eropa.

iii. Diplomasi Kritis : Koordinasi di forum G20/MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea, Turki, Australia) untuk isu rantai pasok global.

Mengapa Ini Penting?

Hedging Strategy : Aliansi ini memungkinkan Indonesia “bermain di dua kaki” tanpa harus memilih antara AS vs. China.

Ekonomi Politik : Kerja sama dengan India/Korsel memberi akses pasar baru (misalnya, ekspor nikel olahan ke pabrik baterai Korsel) sekaligus mengurangi tekanan dari Barat terkait larangan ekspor mineral mentah.

Tantangan:

Ketimpangan Teknologi : Indonesia masih bergantung pada teknologi India/Korsel dalam proyek pertahanan dan industri.

Ambisi Nasionalisme : Kebijakan “Indonesia First” (misalnya, larangan ekspor nikel) bisa membuat mitra ragu berinvestasi jangka panjang.

Dinamika Domestik sebagai Hambatan Politik Luar Negeri

Nasionalisme Sumber Daya : Pembatasan ekspor nikel (untuk mengembangkan industri baterai EV) berisiko memicu sengketa WTO dengan Uni Eropa, memperumit diplomasi ekonomi.

Pemilu 2024 : Retorika populisme seperti “Indonesia First” berpotensi mengerasnya sikap Jakarta dalam isu Laut China Selatan, mengurangi fleksibilitas.

Rekomendasi untuk Strategi Berkelanjutan

1. Revitalisasi ASEAN : Pimpin reformasi untuk mengganti pengambilan keputusan berbasis konsensus dengan model “ASEAN Minus X” dalam isu keamanan.

2. Eksploitasi Identitas Maritim : Perjuangkan “Archipelagic State Forum” untuk mengglobalisasi doktrin maritim Indonesia berbasis UNCLOS.

3. Diplomasi Digital : Lawan disinformasi AS/China melalui inisiatif norma siber ASEAN.

4. Geostrategi Hijau : Jadikan Indonesia pusat mineral strategis untuk transisi energi hijau, menarik investasi Uni Eropa dan AS tanpa ikatan geopolitik.

Kesimpulan

Politik luar negeri Indonesia tetap menjadi contoh unggul dalam ambiguitas strategis, tetapi kemampuannya untuk mempertahankan keseimbangan ini semakin diuji.

Seiring memanasnya rivalitas AS-China, Jakarta harus bertransformasi dari “negara penyeimbang” menjadi “arsitek institusional” yang memanfaatkan ASEAN, otoritas maritim, dan kekuatan ekonomi untuk membentuk tatanan regional multipolar.

Kegagalan melakukannya berisiko menjerumuskan Indonesia menjadi pemeran reaktif di panggung yang dikuasai ambisi kekuatan besar.

Referensi

– Laksamana, A. (2023). *ASEAN’s Crisis of Relevance. Journal of Indo-Pacific Affairs.

– Kementerian Luar Negeri Indonesia. (2023). “Laporan Implementasi AOIP”.

– Roberts, C. (2022). “Indonesia’s Hedging in the Shadow of China”. Brookings Institution.

Share