Re-TAPERA: Kontroversi Tarif 3%, Bereskan Gap Ekosistem Pembiayaan Perumahan
"Bukan hanya aneh, namun norma penggunaan MI swasta itu dinilai tidak fair dan diragukan konstitusionalitasnya"
TRANSINDONESIA.co | Kontroversi Dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bukan tanpa alasan kuat. Selain berat, regulasi tabungan wajib 3% (tiga persen) dari pekerja dan pemberi kerja itu tidak memitigasi gap antara ekosistem Tapera dengan BPJS Tenaga Kerja. Sejak awal, BPJS TK memiliki mandat Manfaat Layanan Tambahan (MLT) penyediaan perumahan pekerja.
Gap struktural dan legal itu dibiarkan menahun karena tidak diantisipasi dan belum sinkronisasi sampai terbitnya PP No.21 Tahun 2024.
Alhasil, pekerja dan pemberi kerja terkena imbas beban biaya untuk keduanya menambah akumulasi tarif yang wajib, dengan ancaman sanksi sehingga tak bisa ditolak. Walau bertitel tabungan, secata fiskal tetap saja pengeluaran biaya (cost).
Malahan berlaku agresif untuk semua pekerja dan pemberi kerja, tanpa pembatasan syarat, kriteria, batas sudah punya rumah atau belum.
Bahkan diperluas sampai pekerja mandiri yang tak lain pekerja informal yang dibayarkan 3% all in sendirian.
Memang isu tarif 3% itu bukan timbul saat ini, karena menjadi heboh dan unfinished agenda saat legislasi RUU Tapera dibahas di DPR. Solusi politik hukumnya, isu 3% itu disisihkan dan diamanatkan ke dalam aturan turunan: Peraturan Pemerintah (PP).
Dalam skema Dana Tapera, seakan pekerja mandiri dianggap pekerja dan sekaligus pelaku usaha adalah keliru dan tidak fair.
Semestinya regulator melakukan analisis kemampuan membayar (ability to pay) dan Regulatory Impact Assesment (RIA) sebelumnya dengan kajian akademis PP No. 21 Tahun 2024 yang mengubah PP No.25 Tahun 2020.
Intinya, beban negara menyediakan rumah untuk rakyat kelompok MBR itu diakui publik, pekerja dan pemberi kerja terasa berat. Kini pun MBR juga berat mengakses perumahan.
Karena itu, tugas utama negara membimbing regulator agar skema dan model bisnis Dana Tapera versi PP 21/2024 itu hadir sebagai solusi kesenjangan fiskal bagi pemberi kerja dan pekerja atau MBR, bukan sebaliknya.
Manajer Investasi Publik
Karakter dana amanat seperti Dana Tapera itu hadir semakin meluaskan manfaat bagi peserta, bukan melulu pengerahan dana demi akumukasi. Pun, kelembagaannya efisien walaupun lembaga nirlaba.
Memang aneh jika pengaturan Tapera yang bersifat nirlaba, namun menggunakan Manajer Investasi (MI) yang mahal dan komersial dalam pemupukan dana. Dengan mandat dan kalasitasnya, BP Tapera musti bekerja sebagai MI publik, bukan malah belanja jasa MI komersial yang tentu mahal daripada MI publik dari internal ekpert BP Tapera sendiri.
Bukan hanya aneh, namun norma penggunaan MI swasta itu dinilai tidak fair dan diragukan konstitusionalitasnya, oleh karena perumahan rakyat itu kebutuhan dasar, hak dasar, HAM dan hak konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Sebab itu tidak valid jika lepas dari kewajiban negara. Termasuk dalam hal menanggung alokasi fiskal yang menjadi kontribusi negara ke Dana Tapera.
Jika demikian tepat Tapera menerapkan prinsip goyong royong berbasis negara, dengan partisipasi pemberi kerja dan pekerja. Oleh karena tanggungjawab konstitusi negara, maka Dana Tapera bukan dilepas menjadi tanggungjawab aktor non negara: pemberi kerja, dan pekerja.
Gap ekosistem itu kudu diatasi dengan harmonisasi kedua ekosistem dan transformasi tata kelola dan kelembagaan.
Bagaimana tata cara perumusannya? Terbuka dan partisipatif. Bicarakan dengan stakeholder secara partisipatif bermakna (meaningfull participation) yang berkeadilan agar tidak heboh setelah ditetapkan.
Atasi gap ekosistem itu dengan analitis dan kritis berbasis konstitusi sebagai legitimator, pro peserta, dan memudahkan, bukan memberatkan. Untuk mencapai target 3 juta rumah, saatnya transformasi Tapera. Lakukan Re-TAPERA.
*) Muhammad Joni, Praktisi Hukum Perumahan, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (PP IKA USU).