Pemadaman Karhutla Gunung Arjuno Dilakukan Satgas Darat, Kepala BNPB: Water Bombing Jalan Terakhir Paling Mahal

TRANSINDONESIA.co | Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan jika diamati langsung dari helikopter, sisa-sisa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Gunung Arjuno, Pasuruan, Jawa Timur, berwarna hitam pekat dan dapat dipastikan hampir 99 persen vegetasi berupa pepohonan, semak dan belukar mati.

“Lokasi kebakaran itu juga tidak berada pada satu titik, melainkan ada di beberapa spot yang berbeda-beda. Di lokasi lain, kepulan asap juga masih terlihat di beberapa titik yang diduga merupakan hot spot baru,” kata Suharyanto saat
peninjauan udara memantau operasi pemadaman karhutla Gunung Arjuno menggunakan helikopter bernomor lambung PK-DAP berkeliling memutari sisi timur lereng Gunung Arjuno dari Prigen hingga kawasan Kota Batu, Jatim, Jumat (8/9/2023).

Lokasi yang sebelumnya terbakar dalam peninjauan itu berada di lereng gunung dengan ketinggian bervariasi antara 6.000 sampai 8.000 kaki, jika diukur menggunakan altimeter atau alat pengukur ketinggian maupun jarak suatu lokasi yang dimiliki oleh sistem navigasi helikopter.

Kebakaran hutan dan lahan di Gunung Arjuno yang terjadi sejak Sabtu (28/8/2023) menjadi perhatian pemerintah pusat. Sebab, titik api dilaporkan meluas mulai dari wilayah administrasi Kabupaten Malang, Pasuruan, Mojokerto hingga Kota Batu dalam kurun waktu sepekan terakhir. Apabila ditotal, maka luas lahan yang terbakar dari seluruh wilayah telah mencapai kurang lebih 4.796 hektar, yang mana Kabupaten Pasuruan menjadi wilayah terdampak paling luas yakni 2.724,48 hektar.

Satgas Darat

Sebagai upaya percepatan penanganan darurat karhutla di Gunung Arjuno, Kepala BNPB menegaskan bahwa upaya pengendalian yang paling efektif dilakukan dengan cara pemadaman darat. Oleh sebab itu, pembentukan satuan tugas (Satgas) darat harus dilakukan dengan melibatkan personel dari unsur-unsur forkopimda terkait.

“Satgas darat itu yang efektif. Kalau tanpa satgas darat bohong itu kita bisa memadamkan api,” jelas Suharyanto.

Menurut Suharyanto, pemadaman melalui darat ini memiliki kelebihan yakni tim lebih mampu menjangkau lokasi dan dapat mengetahui secara persis posisi titik api. Di samping itu, upaya pemadaman yang dilakukan oleh satgas darat ini juga dapat lebih fokus dan terpusat sehingga api dapat dipadamkan dengan sempurna.

Lebih lanjut, menurut Suharyanto satgas darat ini juga dinilai lebih efisien dibandingkan cara lain seperti _water bombing_, Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) maupun upaya lainnya.

Waterbombing Jalan Terakhir Paling Mahal

Menyinggung pemadaman udara termasuk menggunakan operasi water bombing, Suharyanto mengatakan bahwa strategi itu menjadi langkah terakhir yang dapat dilakukan dalam pemadaman karhutla di suatu wilayah. Operasi water bombing sejauh ini dapat dilakukan dengan menggunakan pesawat fixed wings atau bersayap tetap maupun menggunakan tipe bersayap putar seperti helikopter.

Secara teknis, Suharyanto menjelaskan bahwa untuk operasi water bombing membutuhkan penampungan sumber air yang besar untuk diangkut menggunakan pesawat menuju titik api, yang mana lokasi sumber air akan lebih sulit ditemukan pada musim kemarau seperti yang sekarang dialami. Oleh sebab itu, pemadaman darat dinilai lebih efektif jika dibanding operasi water bombing.

“Operasi udara itu jalan terakhir. Jadi operasi darat dulu dilakukan. Jangan sampai menunggu api membesar. Kalau api membesar maka sia-sia kita,” jelas Suharyanto.

Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan operasi water bombing ini sangat mahal. Suharyanto mengaku bahwa operasi water bombing membuat negara harus mengeluarkan anggaran senilai kurang lebih 150 juta untuk satu jam penerbangan mengangkut dan menyiramkan air di titik-titik hotspot.

“Itu mengangkut air water bombing per satu jam 11.500 USD atau 150 juta rupiah itu,” terang Suharyanto.

“Kasihan negara bayar mahal,” tambah Suharyanto.

Suharyanto juga menjelaskan, hingga saat ini Pemerintah Indonesia harus menyewa helikopter untuk melakukan operasi water bombing. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan lebih terkuras apabila negara memiliki helikopter sendiri, mengingat perawatan dan maintenance sebuah helikopter membutuhkan biaya rutin meski tidak digunakan terbang. Dengan kata lain, karhutla menjadi bencana yang paling mahal dalam operasi penanganannya.

“BNPB itu bekerja sama dengan pihak ketiga. Instansi lain punya tiga helikopter saja berat merawatnya. Megap-megap juga perawatannya (kalau punya helikopter sendiri). Itu bayarnya banyak sekali,” jelas Suharyanto. [nag]

Share
Leave a comment