Bulan di atas Borobudur: Refleksi Spiritualitas dan Implementasi pada Masyarakatnya

TRANSINDONESIA.co | Borobudur tak habis habisnya untuk di gali.
Monumen peradaban bangsa menunjukkan banyak hal bagi hidup dan kehidupan. Dari religi, seni, tradisi komuniti hingga teknologi ada di dalamnya. Di lingkungan Borobudur hidup masyarakat yang memiliki keragaman atas hidup dan kehidupannya. Nilai nilai luhur Borobudur memancar dari lembah menoreh. Dikelilingi gunung gunung dan perbukitan yang anggun. Borobudur alam lingkungan dan masyarakatnya hidup dalam sebuah kawasan peradaban. Peneliti, penulis, sastrawan,pelukis, penari, koreografer budayawan, pecinta seni budaya berkarya dalam banyak hal atas Borobudur.

Bulan purnama di atas Borobudur menjadi peringatan bagi sang Budha lahir mendapatkan pencerahan dan wafatnya. Diperingati sebagai hari waisak. Purnama sempurna seakan cahaya terang menerangi umatnya. Bulan di atas Borobudur menjadi tanda dan lambang akan hidup dunia fana dan kehidupan baka. Hidup ujtuk menjalankan dharma dan mengikis karma. Seperti apa yang dilihat Pangeran Sidarta manusia sakit, manusia menjadi tua dan manusia yang mati. Tiada keabadian di dunia ini. Semua akan hilang satu persatu menuju keabadian. Apa yang ditabur itulah yang dituai. Kebaikan dalam dharma manusia membuat keseimbangan dan keteraturan bagi seluruh ciptaan.

Borobudur bagai mandala yang bermakna luas untuk merefleksikan kehidupan dalam makro dan mikro kosmos. Pada masa lalu kini bahkan di masa yang akan datang. Penafsiran dan pemahaman akan Borobudur menjadi suatu kekayaan bahkan perdebatan. Namun di situlah kekuatan cahaya Borobudur, nilai nilai luhurnya abadi menjadi simbol hidup kehidupan bahkan peradaban manusia.

Borobudur sarat misteri, banyak hal yang belum terungkap. Di situlah daya tariknya bagi hidup dan kehidupan anak cucu pembangun Borobudur. Mungkin ada yang marah atau tidak sepaham. Namun sebenarnya siapa saja yang tinggal di kawasan Borobudur, entah asli dari situ atau dari mana saja, memiliki tugas dan tanggung jawab menjaga dan melestarikan Borobudur. Ia dayang memilih tempat hingga menetap, semakin lama semakin banyak anak cucu pembangun Borobudur memahami dan merasakan mengapa memilih ada di sana.

Borobudur mashur tatkala bulan bersinar kembali di atasnya.
Nilai nilai luhur kehidupan ditorehkan di sana
Cerita ke cerita membumbui keindahannya
Elok rupa bermahkotakan bulan bintang matahari di seputar istana perbukitan menoreh.
Lembah indah permai menjadi tanda hidup dan kehidupan damai asri ngangeni suatu negeri
Religi, seni, tradisi melegenda turun temurun walau tanpa suatu yang pasti
Kepastiannya pada hidup dan kehidupan dalam suatu peradaban.

Anak cucu dari leluhur pembangunnya kini berada di sekitarnya.
Seakan takdir mengantar untuk berada di dalam pemujaan leluhurnya
Perlahan bulan di atas borobudur kembali bersinar memancarkan harapan
Kejayaan muncul diiringi cerianya dan kesadaran anak anak cucunya akan budi luhur warisan sang leluhur

Sebuah cerita klasik ” burung berkepala dua “dari relief candi Mendut yang sering diceritakan dalam kisah belajar dari Borobudur tentang burung berkepala dua bisa kita jadikan analogi untuk melihat pemimpin dan kepemimpinannya.

Kepala bagian atas memakan buah-buahan dan makanan-makanan yang segar, enak, dan manis. Kepala yang satunya (kepala bawah) memakan sisa-sisa dari apa yang dimakan oleh kepala atas. Suatu ketika kepala bawah protes kepada kepala atas agar sesekali diberinya makanan yang enak seperti yang dimakannya. Tak disangka kepala atas mengatakan: “Wahai kepala bawah, terimalah dan syukurilah apa yang kau nikmati. Kita toh satu tembolok. Jadi, makanlah apa yang menjadi makananmu. “Mendengar jawaban seperti itu, kepala bawah merasa dilecehkan. Dalam hati ia berkata: “Kalau begitu aku akan makan sembarangan, toh satu tembolok juga”. Pada suatu hari kepala bawah nekat makan jamur beracun. Matilah burung berkepala dua tadi.

Cerita di atas dapat dikaitkan kepada pemimpin dan gaya kepemimpinannya yang kelihatan anggun dan berwibawa. Ia menempatkan posisi pada menara gading dikelilingi kemewahan puja puji dan berbagai kenikmatan duniawi. Di lain pihak, anak buah yang menjadi bawahannya seakan budak yang dijadikan ganjalan penyangga kemegahannya itu. Ia tak mempedulikan kesedihan dan kesusahan bawahannya. Ia juga tidak mempedulikan kesengsaraan masyarakat luas akibat kebijakan yang diambilnya.
Cepat atau lambat bawahan, anak buah ini bisa saja nekad, melakukan harakiri, melakukan tindakan fatal yang muaranya memang pimpinan tadi akan rontok di singgasananya. Mereka bisa saja nekad karena pemimpin sudah lupa  Pemimpin tidak jarang malahan menyakiti mereka. Anak buah sudah biasa sengsara, tidak usah dimanja nanti malah ngelunjak dan repot mengatasinya, demikian pikir sang pemimpin.

Pemimpin, peka, peduli, berempati, dan berbelarasa tidak mematikan tetapi menyadarkan, membangkitkan, menghidupkan, memberi daya gerak dan daya untuk menjadi dinamis tumbuh dan berkembang. Dirinya bukan menjadi matahari tetapi justru menjadi bulan, memberi pencerahan dan penerangan di saat kegelapan. Di saat terjadi kesesatan, di saat terjadi kelesuan, di saat terjadi keputusasaan pemimpin tampil sebagai sang penuntun, pembimbing, bintang pedoman,  arah, dan tujuan. Hidupnya siap berkorban dalam membangun dan mencapai sasaran. Tak gentar terhadap hambatan, tantangan, ancaman yang bisa merusak dan mematikan dirinya maupun keluarganya.
Jiwa seorang pemimpin akan melegenda. Pemimpin dikenang bukan dari kekayaannya, kezalimannya, tetapi karena kerendahan hatinya, empatinya, rasa senasib sepenanggungan, kerelaan berkorban, kemampuan membawa kemajuan, menempatkan pada tempat sebagaimana yang seharusnya. “Dadi ratu kudu ono lelabuhane, ora ono lelabuhane ora ono gunane. Ratu iku anane mung winates dadi kawulo tanpo winates”, Pemimpin itu bukan seberapa bernilai dirinya, melainkan seberapa bermanfaat dirinya bagi hidup dan kehidupan serta bagi semakin manusiawinya manusia.

Tatkala berpikir bagaimana berkesenian atau membangun seni memang tidak ada konsep baku tidak ada semacam obat dewa yang manjur. Yang diperlukan konsistensi komitmen tahan banting dan gigih. Menurut saya menata keteraturan sosial di kawasan Borobudur dapat dilakukan seperti mengunyah makanan yang kita sukai. Terus mengunyah sambil menikmati rasa manis,asin, gurih, renyah, asam bahkan pahit yang semuanya ada kenikmatannya. Mengunyah dengan terburu buru akan menimbulkan sesak atau tersedak atau malah berdampak lambung sakit. Apa yang nikmat tidak terasakan. Demikian halnya nikmatnya berkesenian akan terasa tatkala dimulai dari suka. Kesukaan akan memberi spirit ke arah mencintai. Tatkala ada rasa cinta semua dijalani dengan rasa cinta.

Membangun kawasan sejatinya juga menikmati, bukan dengan paksaan apalagi ancaman bukan juga dengan bujuk rayuan melainkan dengan kesadaran, kecintaan, bisa juga dengan mimesis seperti anak menirukan ibunya baik kata gerak ataupun perilaku. Seni bukan pula doktrin. Tidak pula dalam teriakan : siap grak, seni grak. Seni itu diresapkan dalam hati, bisa mencicipi nikmatnya rasa atas sesuatu karya. Mengajarkan nikmatnya seni memang seperti menuangkan nutrisi pikiran yang diolah dalam rasa pikiran dan jiwa dan menjadi  habitusnya.

Mengunyah rasa dalam hidup dan kehidupan memang absurd dan memerlukan suatu imajinasi. Tentu saja tidak dibuat buat atau ikut ikutan melainkan mampu merasakan dan menemukan sesuatu. Menerapkan seni dalam hidup dan kehidupan sehari hari antara yang biasa biasa hingga yang dianggap tak berguna diangkat menjadi sesuatu yang sarat makna. Sebagai contoh masalah view atau keindahan pemandangan. Bagi orang kampung di situ pasti dianggap biasa biasa saja. Kehidupan nenek tua yang sudah renta namun harus bekerja keras mencari kayu bakar untuk penghidupannya. Atau aliran sungai yang sarat sampah di bantaran sungai yang menimbulkan bau tak sedap namun disela selanya ada bunga bunga liar bertaburan. Ada bunga teratai tumbuh liar tak beraturan. Bunga bugenvil yang mekar saat panas dan pohon pohon flamboyan merah merona saat berbunga. Bagi prang sekitarnya biasa saja bahkan mereka bosan atau jenuh dalam kehidupannya.

Menanam dan menumbuh kembangkan seni budaya, merupakan rekayasa sosial atau social engineering yang mampu menyadarkan atas keindahan atau menemukan makna dalam kehidupannya. Chrysnanda Dwilaksana

Share