Sekitar Perumahan Layak-Terjangkau (2): Santun pada Konstitusi, Merdeka dari Kemiskinan Perumahan

TRANSINDONESIA.co | Tanggal 16 Agustus 2023 pagi, saya ambil waktu bekerja dari rumah; separoh hari. Menyediakan logika dan pikiran yang bekerja santun;  sepenoh hati. Menyimak pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo.

Di dalam dan luar sana,  kompleks MPR RI  berdandan dengan dwiwarna merah putih. Megah, elegan dan santun. Isi pidato kenegaraan yang disiarkan langsung, Presiden menyinggung budaya santun budi pekerti luhur bangsa. Juga, mengingatkan puncak bonus demografi tahun 2030. Bekal menjejak 100 tahun Indonesia Emas 2045. Rakyat bisa menyaksikan dari ruang kaca dan jagat maya, dari ruang hunian rumah keluarga Indonesia.

Tak hanya di Senayan, wilayah dan rakyat Indonesia bersolek –yang seakan bersorak bahagia—dalam pengaruh semangat juang ala Agustus 1945.  Saya melihat itu di pelosok desa dan kota ketika melintasi kawasan perkotaan:  Yogjakarta-Sleman-Klaten-Boyolali-Semarang-Jakarta.  Kota-kota mulai berdandan meriah  Orang Medan bilang tampil stedi. Dengan kibar bendera, umbul merah-putih: melambangkan berani dan suci.

Bonus perjalanan lebih separoh tanah Jawa itu,  saya bisa merenung dalam kadar cukup; dan selebihnya bercakap cq. diskusi dengan dua navigator Andi Sahupala dan Yoga Is. Demi menjaga santun, dan sabar terhadap gejolak nalar, saya tak  sontak berteriak ketika menengok jamak rumah-rumah rakyat yang tua, kucel, tak berdandan, jauh dari kesan megah dan elegan. Sebagian bangunan rumah rakyat itu merunduk, melemah, namun  bendera merah putih berdiri tegak terpacak,  nyaris di tiap rumah. Memacak tegak bendera dwiwarna, itu watak kebangsaan yang santun kepada Kemerdekaan NRI (Negara Republik Indonesia).

Gelora jiwa kebangsaan yang tertanam, tak kalah membara dari kota-kota yang berdandan degan cahaya merah putih.

Dalam “grammer” perumahan, permukiman dan perkotaan, fakta-fakta itu dikenal dengan rumah tidak layak huni (RTLH). Datanya ada, terbuka, dan bisa disajikan sekali klik saja.

Menurut data RTLH di Jawa Tengah pada 2015 sebanyak 1.421.559 unit. Kementerian PUPR salurkan 29.674 unit rumah swadaya ke Propinsi Jateng. Demi tuntaskan kemiskinan tahun 2022 Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP)  Boyolali tangani RTLH sebanyak 4.144 unit. Nah, betapa 78 tahun merdeka fitur kebijakan mengatasi RTLH sudah ada, namun RTLH masih banyak  dan  perlu lebih bergerak lagi memenuhi kebutuhan dasar manusia atas hunian layak-terjangkau.

Pembaca, kondisi RTLH itu  disebut  sebagai ‘Issue’ dalam formula IRAC dari konsep legal reasoning.  IRAC terdiri  4 komponen: Issue, Rule, Analysis, Conclution. Yang dipakai sebagai  metode esai merdeka ini agar tetap menjaga daya kritis, obyektifitas, dan kesantunan membangun narasi. Rumah-rumah rakyat  itu merunduk bukan hendak santun, namun mengguit logika pro  keadilan sosial. Menjadi asupan moral, dan bonus alasan/ justifikasi sosio-yuridis, betapa urgensi sungguh-sungguh kepada perumahan rakyat.

Netra saya mengambil auto prioritas mengamati rumah, perumahan, permukiman, dan perkotaan, tatkala melintasi ruang kota-kota Indonesia. Dan, sontak terkoneksi qolbu: menyentuh perasaan pri kemanusiaan dan pro keadilan. Perjalanan dan pemandangan itu seperti “mimbar” sosial yang memidatokan soal senjangnya keadilan sosial.  Seperti cermin besar alias kaca benggala yang merefleksikan pentingnya NRI  berlaku santun kepada hak konstitusional atas hunian rakyat –yang layak-terjangkau.

Bagi saya, refleksi Proklamasi Kemerdekaan NRI ke 78 ini, perlu diujarkan. Agar terus merawat kesantunan kepada rakyat  sebagai pemilik kedaulatan. Sebagai pemilik autentik  constituent power. Kesantunan itu analog watak dan kepribadian –yang relevan dengan landasan dalam perumahan dan permukiman.

Periksalah konsideran ‘Menimbang’ huuf a UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU No. 1/2011) yang berbunyi: “…pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif;”.  Konsideran itu bagi saya adalah sebagai ‘Rule’ dalam formula IRAC dari konsep legal reasoning.

Santun pada Perumahan, Kesantunan Bangsa

Majelis Pembaca yang baik hati. Watak dan kepribadian versi UU 1/2011 itu –sebagai ‘Rule’ itu  logis dan absah–   patut dan layak, bahkan wajib menjadi nalar  terdepan mengulas isu perumahan rakyat. Watak-cum-kepribadian itu hasil  kerja dan berjuta-juta kebiasaan (habit) manusia.  Dalam konteks berkonstitusi, negara terutama pemerintah layak dan patut  membuat kebijakan dan tindakan yang santun pada perumahan rakyat, yang melampaui teks pidato dari mimbar paling bermartabat sekalipun.

Nalar hukum, logika dan perasaan keadilan sosial  saya   berputar secara negasi (terbalik) atau a-contrario, yang menanyakan apakah kepada realitas sosial RTH, backlog, kawasan kumuh kota itu, negara sudah bertindak santun kepada   perumahan rakyat?

Tak bisa ditolak, selain kebutuhan dasar manusia, hunian itu hak konstitusional: Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yuncto hak atas HAM versi Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 –yang menjadi tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Tak salah jika esai-merdeka ini memberi bonus dengan menurunkan  lengkap bunyi Pasal  28 I ayat (4) UUD 1945:  “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Kedua pasal amandemen konstitusi itu wajib diperlakukan sebagai hukum tertinggi, law of making laws,  maupun navigator penyelenggara negara.

Bukan bermaksud tak santun, perkenankan menyajikan data. Mencoba hendak menalar situasi kesejahteraan perumahan rakyat. Yang layak dan patut dinalar sebagai ‘Analysis’  dalam formula IRAC dari konsep legal reasoning. Lantas apa ‘Analysis’-nya?

Opini ini menurunkan nalar, betapa kesejahteraan perumahan rakyat masih  menguatirkan, khususnya di perkotaan dengan laju urbanisasi dan penduduk  kota. Yang beranjak dari ‘Issue’ bahwa rumah tangga  yang menghuni rumah layak huni masih 56,75%. Artinya,  hampir separoh rumah tangga  (43,25%) menghuni perumahan yang tidak layak huni. Analisis yang makin dilanda kuatir, karena  menurut statistik penduduk menempati kota mencapai 57,9% (tahun 2022), dan diprediksi terus meningkat menjadi 68% (tahun 2050).

Jika lamban dan tidak mematok prioritas kepada perumahan rakyat, bagaimana berat beban kota  atas problematika hunian rakyat.

Masih mengutip data, 7,42% Rumah Tangga  bertempat tinggal di kawasan kumuh (BPS 2018), yang kemudian naik 13,86% (BPS, 2019) yang diperhitungkan dengan 4 (empat) parameter yakni akses air bersih, akses sanitasi layak, luas ruang per jiwa, kondisi bahan bangunan layak. Backlog perumahan masih tinggi  yang dibedakan antara  backlog kepemilikan yang tercatat 12,75 juta (2020),  dan backlog penghunian yang tercatat  6,36 juta.

Selain itu adanya  penambahan Rumah Tangga baru sekitar 700-800 ribu per tahun dalam kurun tahun 2010-2020.  Sebaran backlog kepemilikan terkonsentrasi di propinsi dan kawasan kota metropolitan (seperti Jabodetabek, Bandung Raya, Mebidangro), yang dinarasikan dalam ‘Grand Design Perumahan Indonesia 2020-2045 – Perumahan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.

Lebih sewindu Program Sejuta Rumah jilid 1 dan 2, data statistik mencatat backlog 12,7 juta (2020). Bukan turun, malah naik 0,8 juta dalam kurun 14 tahun terakhir.

Keadaan itu ditambah pula kapasitas fiskal  yang kecil  untuk anggaran pembangunan perumahan, berikut kemampuan (affordability) rakyat atau kelompok MBR yang rendah dalam hal daya beli, daya cicil, sewa perumahan sehingga memerlukan intervensi kebijakan afirmatif (affirmative policy) pemerintah.

Erica Suroto (2016) menyitir  perumahan masih peringkat prioritas terendah. Kiranya,  kemiskinan perumahan  masih menjadi pembentuk utama potret kesenjangan sosial-ekonomi. Kota-kota besar maupun metropolitan di Indonesia belum lepas dari perwajahan ruang sosial dan  ruang spasial yang kontras antara kawasan  bisnis, realestat elit, maupun  permukiman mewah yang bersisian kontras dengan  komunitas warga menempati hunian tidak layak huni, kampung “terjepit” di tengah beton kota, dan meluasnya kawasan kumuh kota.

Keadaan kontras itu  mengindikasikan  kesenjangan sistem yang berimplikasi luas dan kompleks. Menurut Mohammad Yusuf Asy’ari  (2016), hambatan akses perumahan layak dan terjangkau merambat luas dan kompleks pada urusan penataan ruang, ketersediaan tanah, fasilitas kredit mahal dan harga rumah yang tidak terjangkau.

Kompleksitas masalah  pembangunan perumahan rakyat semakin rumit di perkotaan karena perumahan adalah mosaik  utama pembentuk kota, meminjam Tjuk Kuswartojo, dalam ‘Kaca Benggala-Perkembangan Habitat Manusia Di Indonesia’, (2018). Mengapa mosaik? Karena kerapkali tumbuh diluar kendali perencanaan kota, dan tumbuhnya kumuh. Karenanya perumahan dan pembangunan perkotaan yang melekat sebagai  satu  kesatuan isu prioritas dan disiplin kebijakan.

Analisis dari  ‘Issue’ di atas  tajam mengintai  betapa beresiko dan beratnya pencapaian misi jangka panjang Indonesia Emas 2045.  Walaupun  patut mengapresiasi berbagai fitur kebijakan dan program dilakukan seperti: Program Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga, Kampung Improvement Programme (KIP), Program Pembangunan Bertumpu pada Kelompok (P2BK), Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS), Program Bantuan Kredit Lunak Bank Indonesia, Program Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah (GNPSR), Gerakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh (GENTAKUMUH), Program 1000 Tower dan 350.000 Rusunawa Pekerja di perkotaan, termasuk  sekarang ini dengan Program Sejuta Rumah (PSR).

Walaupun kesenjangan kesejahteraan perumahan  dikuatirkan, namun  penyediaan perumahan layak-terjangkau bukan mustahil. Hanya, perlu inovasi  strategi dan berani menerobos. Asalkan ada kemauan dan kesungguhan, seperti pesan bijak Mohammad Hatta –dalam Kongres Perumahan Sehat 1950. Demi bebas merdeka dari kemiskinan perumahan.

HUD Vision Presiden 2024

Memetik pelajaran Proklamasi 17 Agustus 1945 NRI yang dilakukan “setjara revolusioner”, itu frasa yang dipetik dari ulasan Bung Hatta dalam bukunya ‘Sekitar Proklamasi’ (1970).  Peralihan kekuasaan yang memerdekakan Indonesia dari penjajahan adalah hakikat Proklamasi. Yang kemudian di tahun 2023 ini, secara cerdas dan lugas The HUD Institute meminta  transformasi tata kelola perumahan rakyat. Transformasi tata kelola untuk perubahan yang konstruktif dalam agenda membumikan hakikat  merdeka bagi Indonesia Raya. Dengan menjadikan perumahan, permukiman  dan pembangunan perkotaan sebagai agenda prioritas pembangunan nasional –dalam dokumen RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional)  2025-2045.

Sebagai epilog, esai ini menurunkan  ‘Conclution’  bahwa penting memproklamasikan  transformasi tata kelola  perumahan, permukiman dan pembangunan perkotaan  dalam ujud Undang-undang, kebijakan publik, dan tindakan nyata mewujudkan  kesejahteraan perumahan. Yang kiranya  beralasan diusulkan  sebagai gerakan bersama yang  digiatkan dengan seksama dan dalam tempo yang tak lama-lama; nyata sebelum tahun 2045.

Tak berlebihan apabila pas  hari merdeka 17 Agustus 2023 ini masyarakat perumahan Indonesia  mengusulkan visi perumahan, permukiman  dan perkotaan (HUD vision) kepada calon-calon Presiden NRI 2024  yang berjanji  Tulus  menunaikan  agenda besar dari narasi 10 (sepuluh)  kata berikut ini.

“Saya –dengan Tulus Berjanji–  memimpin  langsung memerangi kemiskinan perumahan rakyat”.  Dengan ‘T’ & ‘B’ huruf kapital. Yang patut  disambut   rakyat  pemilih cq. constituent power  dengan  semangat merah-putih. Menjaga Indonesia Merdeka 100%. Merdeka dari kemiskinan perumahan. Sejahtera alasan mengapa kita bernegara. Salam Perubahan. Salam Indonesia Raya. Salam Merdeka! Tabik. (Bersambung).

[*] Muhammad Joni, SH., MH., Advokat; Wakil Ketua Umum V The HUD Institute;  Sekjen PP Ikatan Alumni USU, pendapat pribadi).

Share
Leave a comment