Yth. Presiden RI: Tenaga Medis dan Kesehatan Berhak Perlindungan Hukum Berkeadilan dalam RUU Kesehatan

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Muhammad Joni

Ini bukan sekadar opini biasa. Namun narasi warga negara dan cara masyarakat digital (digital society) menyalurkan/ upload –sekali klik– hak konstitusional atas Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan.  RUU itu memasuki babak paling penting, dan dipelototi kritis netizen beradab yang rajin  mengisi kebaikan bermakna di jagat maya. Itu wujud partisipasi bermakna.

Pemerintah lewat Menteri Kesehatan mengajukan  3.020 DIM (Daftar Inventaris Masalah) kepada Komisi IX DPR RI, 5 April 2023 lalu. Aha, 3.020 DIM yang sangat banyak. Perdebatannya jauh lebih banyak lagi, tak sehat jika  dibatasi, itu pasti!   Walau tetap  arif, jangan tergesa-gesa.

Perlindungan rakyat juncto Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan musti periksa dengan hati-hati dan dengan seksama. Mereka stakeholder utama layanan kesehatan. Eureka, perlindungan hukum berkeadilan bukan statistik. Partisipasi bermakna lebih penting dari deretan angka.

Menjadi dokter itu berat, biar Tenaga Medis saja. Mengapa? Karena dokter dan dokter gigi terikat dengan 3 (tiga) norma sekaligus: norma etika, norma disiplin, norma hukum. Narasi itu bunyi dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 14/PUU-XII/2014, pertimbangan hukum Angka 3.14. RUU Kesehatan ini jangan abaikan kaidah hukum konstitusi dari jamak Putusan MK RI, bukan hanya mengambil Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 saja –seperti dalam satu bahan paparan public hearing Kementerian Kesehatan.
Karena  terikat dengan norma hukum, Tenaga Medis bisa dilaporkan secara pidana. Oleh siapa?  Oleh setiap orang! Bukan hanya pasien yang dibantunya. Juga, dapat digugat secara perdata ke pengadilan.  Pengaduan norma disiplin diajukan ke lembaga bernama Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) –yang dibentuk dengan UU Praktik Kedokteran.

Sayangnya, lembaga MKDKI itu –sebagai legal structure—  yang mengawal substansi norma (legal substance) UU Praktik Kedokteran tidak lagi dibunyikan dalam RUU Kesehatan. Padahal, UU itu produk reformasi yang disahkan dan diundangkan era Presiden Megawati Soekarnoputri. Lebih sahih  mana reformasi atau transformasi kesehatan yang diusung Menteri Kesehatan. Saya membatin, seakan pengaduan terhadap hal ikhwal disiplin  hendak dibiarkan by pass ke mekanisme pengadilan biasa.

Dalam Pasal 326 RUU Kesehatan, setiap pasien yang dirugikan akibat kesalahan Tenaga Medis dan/ atau Tenaga Kesehatan dapat dimintakan ganti kerugian.

Walau menggunakan frasa “akibat”, namun tidak dirumuskan apa akibat perbuatan itu. Cidera, luka, memar, atau apa? Bukan soal sembaranan, perihal “akibat” adalah ajaran  hukum kuasalitas. Ini misal yang naif.

Pasien dioperasi dokter dan rawat inap beberapa hari, ketika  pasien tidak bekerja  ataupun tutup kedai  pulang perawatan, hal  itu dianggap kerugian perdata? Dokter melakukan sayatan bedah, apakah itu perbuatan salah?  Pasal 326 RUU itu  begitu mudah memberi mulit-interprestasi, padahal norma hukum pidana musti pasti, bahkan larangan analogi.

Beda antara “kesalahan” dengan “kelalaian” juga harus piawai dipahami, bukan hanya soal diksi.

Pasal 327 RUU Kesehatan memang membuka   penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Norma begitu memang sudah lazimnya, tidak ada norma terobosan yang baru  yang dapat diandalkan  karena sudah ada dalam berbagai aturan.

Bukankah satu RUU yang menjadi UU baru, musti ada surplus  kebaikan norma?  Juga standar norma yang lebih tinggi. Kepatuhan konstitusi dan kaidah konstitusi  –sebagai law of making laws— harus dibuat pasti.

Jika merujuk konstruksi  Pasal 328 RUU Kesehatan, walau Tenaga Medis  sudah diadukan ke majelis kehormatan disiplin kedokteran (sekarang MKDKI pada Konsil Kedokteran Indonesia/KKI)  walau sudah diadukan dan  diputus oleh majelis tersebut, namun tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana.

Bahkan bukan hanya dilaporkan oleh pasien, namun melebar menjadi bisa dilaporkan  setiap orang, karena frasa  yang dipakai: “setiap orang”, yang belum tentu berkepentingan. Juga, gugatan perdata minta ganti kerugian tetap terbuka, walaup laporan pidana sudah ada. Sebab, frasa yang dipergunakan adalah: “dan/ atau, tanpa ada penjelasan.

Majelis Pembaca, hemat saya Pasal 328 RUU Kesehatan itu terlalu berlebihan. Karena mengasumsikan secara kriminogen Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak berbeda dengan pelaku kejahatan biasa.

Saya mengendus adanya over dosis kriminogen, bukan sekadar mengatasnamakan kesetaraan hukum (equality before the law). Mustinya profesi kesehatan secara tulus dilekatkan dengan asumsi menyehatkan juncto menyelamatkan.

Praduga berbuat kebaikan pasien, bukan praduga  berbuat  kejahatan. Kritik lain, rumusan Pasal 328 RUU Kesehatan itu keliru asas hukum karena tidak eksplisit menormakan  hukum pidana sebagai upaya terakhir (the last resort).

Lagi pula, watak asli Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan membantu pasien. Mereka dididik bukan untuk berbuat jahat. Namun helping profesion. Sumpah dokter itu –universal kini dan nanti–  membantu sang sakit, tanpa seinci pun diskriminasi, dengan atika dan disiplin tinggi.

Mengapa RUU Kesehatan  tidak hendak memberikan sedikit perhatian sisi perlindungan hukum berkeadilan, seperti nun ada jabatan dan profesi lain yang diproteksi imunitas jabatan, pun imunitas profesi dalam  norma Undang-undang.
Hemat saya, RUU Kesehatan ini jangan-lah over kriminalisasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Perlu pembatasan yang pasti. Dalam hal apabila tindakan medis dilakukan sesuai dengan disiplin medis, berdasarkan otoritas medis, maka petisi akademis saya: RUU Kesehatan ini musti menghilangkan pasal yang berpotensi over kriminalisasi.

Jika RUU Kesehatan ini dimaksudkan melindungi rakyat juncto Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan  yang berjuang di garda depan, maka sudah sepatutnya Negara melindungi mereka yang bertindak sesuai medical judgement rules, sesuai diciplin judgement rules, sesuai profesional judgement rules.

Yth. Bapak Presiden RI.
Yth. Pimpinan dan Anggota  DPR RI Komisi IX.

Sejarah sudah memberi bukti, bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan itu ujung tombak menghadapi pendemi COVID-19 barusan. Loyal bekerja sebagai garda depan layanan kesehatan primer, dan tulang punggung  tangungjawab konstitusional Negara dalam pelayanan kesehatan  amanat  konstitusi: Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Karena itu, sahih  jika Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berhak atas perlindungan hukum yang berkeadilan. Hal itu konstitusional. Tidak berlebihan, namun penuh makna dalam hak bernegara. Tabik.

[Muhammad Joni, S.H.MH., Advokat Pro Kesehatan Rakyat]

Share
Leave a comment