Eksistensi HMI dan Tantangan di Era Post Truth

TRANSINDONESIA.co : Ikhlasul P Amal (Ketua Umum HMI Komisariat ISIP UNPAS Bandung).

Dalam perjalanan menghadapi arus tantangan zaman, hari ini HMI seringkali dibenturkan berbagai permasalahan bahkan menjadi korban stigma. Tidak jarang kita mendengar stereotip “HMI sesat”, “HMI radikal”, “HMI liberal” dan lain sebagainya.

Di tengah narasi dan ujaran negatif yang seringkali terdengar karena terbatasnya informasi tentang organisasi tua, HMI selalu muncul dengan kebenaran-kebenaran yang membantah hal tersebut.

Himpunan Mahasiswa Islam yang familiar dengan nama HMI, merupakan suatu Organisasi Islam mahasiswa yang eksis dalam perjuangan nilai-nilai Keindonesiaan dan Keislaman. Kini, telah mempertunjukan taring dan kontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia.

Organisasi ini berdiri pada 5 Februari 1947, hadir dan ikut berperan aktif sebagai mitra kritis dari grass root bahkan mitra strategis birokrasi di setiap provinsi Indonesia dengan nilai Keindonesiaan sebagai pilarnya.

Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan aktif HMI memberikan sumbangsih terhadap perkembangan negara Indonesia, dengan selalu menghadirkan kader-kader berintelektual yang ikut menyumbangkan pemikiran serta gagasan demi terwujudnya masyarakat adil makmur.

Streotip-stereotip yang seringkali muncul seolah terbungkam dengan kader-kader sekaliber seperti, Nurcholish Madjid sebagai salah satu pendekar dari Chicago, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, dan bahkan yang terbaru Anies Baswedan yang dideklarasikan sebagai calon presiden menunjukkan kualitas dari kader-kader HMI.

Dalam tulisan Jayson Harsin berjudul “Post-Truth and Critical Communication Studies”, menjelaskan post-truth sebagai kondisi sosial dan politik di mana masyarakat tidak lagi menghormati kebenaran yang sebenarnya, justru meyakini suatu ide yang belum tentu tepat, hanya karena faktor subjektifitas dan narasi dominan. Harsin mengemukakan post-truth mudah menyebar ke suatu sistem yang masyarakatnya memilki kebiasaan mencari kebenaran dari suatu isu.

Hal ini dikarenakan keingintahuan sosial rendah akibat proses bernalar yang ditumpulkan.

Validitas dari suatu fenomena seringkali ditelanjangi akibat ada kepentingan di dalamnya.

Di sisi lain Friederich Nietzsche seorang filosof jerman mengemukakan sejatinya tidak ada satu orang pun yang memiliki kemampuan mengetahui kebenaran absolut tentang dunia nyata, karena kebenaran yang hadir bermula dari interpretasi yang dasarnya subjektifitas.

Dengan demikian, munculnya streotip dan narasi kebencian bertransformasi sebagai narasi dominan sehingga menjadi keniscayaan kita menepis dan mulai mempertanyakan segala jenis informasi yang beredar agar tidak tergerus dan membudaya, seperti prinsip dalam buku Mein Kampf Hitler menuliskan, “prinsip yang paling umum dan mudah digunakan adalah prinsip kebohongan yang berulang-ulang. Terkadang orang hanya akan memercayai suatu kebohongan setelah mendengarnya seratus kali. Jika terus-menerus disampaikan kepada orang-orang, akhirnya mereka akan menerimanya sebagai kebenaran”.

Prinsip ini seringkali digunakan, Joseph Goebbels Menteri propaganda Nazi selama kekuasaan Nazi di Jerman untuk mempertahankan kendali atas opini publik. Namun, penting menjadi refleksi bersama bahwa prinsip ini bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan integritas.

Demikian menjadi kemunafikan digunakan sebagai justifikasi menyebarkan kebohongan atau propaganda menyesatkan.

Akhirnya, HMI sebagai Organisasi Mahasiswa Islam dengan segala kontribusi dan eksistensinya perlu kita tinjau kembali kebenaran dibalik setiap stigma dan narasi kebohongan, sebagai wujud mengaktifkan kesadaran dan akal sehat lantaran menerimanya secara gamblang di era post truth ini.*

Share