Media di Era Post Truth

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Prof. Chrysnanda Dwilaksana

Media saat ini menjadi bagian penting bagi hidup dan kehidupan manusia. berita atau informasi apapun dapat diperoleh dengan cepat dan mampu menembus sekat batas ruang dan waktu. Media dapat dikatakan menjadi jembatan hati, penyambung lidah, corong informasi bahkan sebagai sistem transformasi yang mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebaliknya media juga dapat menjadi alat dan ajang penyerang, perusak bahkan pembunuh karakter. Saling serbu dengan berbagai pemberitaan yang menjelek jelekan dan menghakimi sana sini. Para buzer merangkai berbagai berita buruk, hoax dan semua cara di halalkan sekalipun  memfitnah. Berbagai kepentingan dalam kehidupan bisa menggunakan media apalagi untuk kepentingan politik. Isu isu penting yang terjadi dapat diviralkan dan dijadikan cara untuk mendongkrak popularitas atau menjatuhkan reputasinya.

Post truth di era digital akan semakin marak sebagai efek kemajuan bidang media. Post truth bukan lie semata melainkan olahan fakta dan kebohongan yang diviralkan melalui berita berita hoax untuk mempengaruhi opini, hati hingga pada suatu keyakinan. Pembenaran yang didesain sedemikian rupa mampu menggerus kebenaran. Efek dari era post truth sejatinya merupakan pembodohan. Cara mematikan karakter pun dapat dilakukan melalui model hoax.

Tatkala tiada standar media bagi berita atau informasi yg mjd tonggak fakta atau kebenaran maka pembenaran ini akan terus viral tanpa counter atau standar alkemis, maka efeknya akan membodohbodohi bahkan menjerumuskan yang mampu merusak,  merobohkan sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konflik dan potensi konflik diberdayakan untuk semakin meluas menjadi konflik sosial politik. Desain melalui pemberitaan media yang dibumbui ujaran kebencian, memanfaatkan unsur unsur primordial, disebar luaskan melalui media secara masif, tatkala tanpa pengendalian maka akan mengaduk aduk opini dan emosi masyarakat.

Primordialisme atau sara sering dipilih bahkan dikemas dalam berbagai model seperti politik identitas dsb, karena pada jalur ini kebanyakan orang tidak rasional lebih mengutamakan emosional dan spriritual shg lebh mudah tersulut emosi dan terbangun solidaritasnya.
Dengan demikian perlu adanya counter issue  atau intelejen media management untuk memberikan perncerahan terkait informasi atau pemberitaan yang sesuai fakta dan kebenaran.

Penanganan post-truth tidak dapat secara parsial, manual apalagi kinvensional, melainkan penanganan secara holistik/ sistemik. Hal tersebut dapat dimulai dari pembenahan birokrasi, adanya kepemimpinan yang transformasional yang berani bekerja dan memperbaiki kesalahan di masa lalu, siap di masa kini dan mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik, administrasi yang mencakup membangun sistem perencanaan yang dapat menjadi model untuk program-program dan implementasinya, membangun SDM yang berkarakter, membangun sistem operasional untuk yang bersifat rutin, khusus dan kontijensi dan membangun Capacity Building. Selain itu dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan, problem solving, public service pelayan publik untuk keamanan, keselamatan, administrasi, hukum, informasi maupun kemanusiaan dan network (pengembangan jejaring) sebagai counter issue.

Di era post truth untuk mengatasi atas gebrakan hoax yang terus diviralkan adalah membangun portal media centre sebagai standar kebenaran berita informasi dan memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan pengecekan. Media centre yang dibangun bukanlah model departemen penerangan di masa lalu yang searah atau seolah olah masyarakat tidak tahu apa apa. Modelnya yang dibangun adalah sistem interaktif sebagai portal media yang proaktif yang mampu inputing, analisa, menghasilkan produk untuk counter issue maupun cooling system.

Di samping itu juga mampu supporting data dalam berbagai sistem pelayanan publik. Konteks ini dapat dikaitan dengan program intelejen media untuk :

1. Menjadi standar informasi atau berita yang benar sesuai fakta dan data
2. Mampu menginspirasi yg artinya kreatif dan inofatif
3. Mendorong orang lain berbuat baik dan benar / membangun budaya atau peradaban
4. Mampu memberitakan hal hal yg up to date
5. Mampu mengcounter issue
6. Mampu membuat sesuatu mjd fun indah dan menghibur

Perang data dan Informasi di era Post Truth.

Pemberdayaaan data dan informasi menjadi sarana untuk membuat opini publik, emosi massa teduh atau terombang ambing dengan berbagai hoaxnya. Data dan informasi bisa diaduk aduk antara fakta dengan desain pembenaran dan kebohongan diolah sedemikian rupa seolah olah menjadi kebenaran. Sesuatu yang terus diviralkan dapat membuat orang lain terpengaruh emosi atau opininya. Post truth dampaknya bisa sampai yang membuat dan yang menyebarkannyapun meyakini sebagai kebenaran. Hal itu terjadi akibat diiralkan secara masif dan terus menerus hingga seolah olah sesuatu yang salah dapat dianggap benar. Semua itu bukanlah tiba tiba melainkan  ada maksud dan tujuan tertentu. Paling tidak ada agenda tersembunyi demi sesuatu kepentingan.  Apalagi di ranah politik akan semakin gencar menggembosi lawan lawannya, atau branding dirinya.

Data dan informasi melalui media menjadi sasaran para designer jahat / aktor intelektual apabila tidak ada keteraturan sosial dan standar pengamanannya. Di era digital data dan informasi menjadi kekuatan, siapa lengkap, siapa cepat dialah yang menguasai.

Era post truth tatkala tidak terkendali akan menjadi era penumpulan daya nalar yg memperuncing emosi dan kebencian. Logika tidak lagi diutamakan yang dipentingkan emosional spiritual bahkan dengan kemasan primordial akan dihalalkan. Tanpa pikir panjang peradilan sosial  dilakukan, saling tuduh, saling menyalahkan,saling menghina, saling memfitnah, semua itu mengobok obok dan mengguncang jiwa hingga harga diri. Tanpa sebutir peluru keluar dari moncong laras senjata perang dapat dimulai. Hal hal yang kontra produktif dan berbagai pembodohan menggelora di mana mana. Sesal tiada guna. Biasanya sadar  setelah hancur berantakkan.

Literasi dengan berbagai upayanya untuk mencercadaskan kehidupan berbangsa bernegara, dengan menanamkan spirit kemanusiaan, yang tetap menjaga kewarasan daya nalar ini menjadi sangat penting dan mendasar. Standar data dan informasi dibangun untuk membiasakan adanya cross check dalam masyarakat, sehingga tidak mudah dibodoh bodohi dan asal telan atau asal share. Masyarakat mau membaca, mau mencari tahu hal lain yang menjadi standar media sebagai rujukkan.

Informasi yang ditabur biasanya bertahap bahkan dikemas secara ilmiah dengan mengatasnamakan tokoh yang menjadi ikon atau role model bagi publik sebagai pembenar. Dari literasi dan standar media data dan informasi dapat menjadi salah satu pilar bagi acuan data dan counter informasi hoax. Gerakan intelejen membuat cerdas dan memotivasi publik di semua lini dengan berbagai kemasannya untuk mencerdaskan dan menjaga keteraturan sosial untuk tetap waras dlm berbagai gerusan dan gempuran nalar.

Keteraturan sosial dunia virtual

Di era digital dunia virtual semakin marak bahkan dapat menghambat merusak hingga mematikan produktivitas. Pembunuhan karakter hingga mengganggu hidup kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dilakukan. Berita hoax pembodohan penyesatanpun secara virtual banyak menjadi
pilihan. Memang ada yang marah merasa dikungkung atau dibungkam atau banyak hal yang menuntut kebebasan sebebas bebasnya. Hujat menghujat dengan kalimat tidak sepatutnyapun seakan menjadi pameran ketololan dan sikap pengecut. Netizen +62 dilabel paling buruk tatakramanya. Entah itu refleksi budaya atau oknum yang tak lagi bisa menghargai orang lain.

Sikap budaya bangsa yang adiluhung seakan luntur akibat evoria dunia maya. Tatkala diminta pertanggungjawaban kembali air mata maaf bahkan sikap minta dikasihani memelas yg ditampilkan. Ujaran kebencian menghakimi luar biasa memalukan kata katanya. Seakan memang otak dan hatinya lupa segala edukasinya.

Kritik disamakan dengan hujatan. Tabiat buruk seakan menjadi moralitas. Provokasi  pembodohan menjadi sesuatu yang membanggakan. Kalau menampilkan hujatan seakan juara jagoan dan merasa pahlawan. Menyedihkan. Dalam kehidupan sosial di era digital maka keteraturan sosial di dunia virtual memang dioerlukan tatanan dan pertanggungjawaban. Mau tidak mau tatkala segala sesuatu yang berdampak pada konflik dan berbagai hal yang kontrta produktif menjadi tanggung jawab kita semua mengatasinya. Konteks demokrasi menjadi acuan bebas bertanggungjawab, jaminan perlindungan HAM, supremasi hukum, transparan dan akuntabilitas orientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Menjaga kedaulatan bangsa dengan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi landasan ketahanan dan daya tangkal bahkan daya saing. Kritis atas penyimpangan atau ketidak benaran merupakan suatu kecerdasan keberanian bahkan juga wujud tanggung jawab moral. Keras dalam prinsip dan penyampaian secara elegan akan mengundang simpatik dan solidaritas.

Kekerasan simbolik ujaran kebencian pembodohan hingga pengadilan sosial bukan sesuatu yg spontan melainkan by design. Era post truth antara fakta dan kebobongan diolah sedemikian rupa pembenaran seolah menjadi kebenaran. Dan dilakukan orang orang cerdik pandai yang terus menerus diviralkan hingga seolah menjadi kebenaran. Bumbu bumbu hoax dengan primordialisme menjadi penyedap. Keteraturan sosial dalam dunia virtual belum sepenuhnya dianggap sebagai sesuatu yang kontra produktif. Namun sebenarnya tanpa sadar taburan taburannya dapat merasuki bahkan mencandui pikiran hingga emosi publik. Dunia virtual jembatan harapan dalam era digital. Hal yang positif tentu banyak sekali dan mendukung pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang mampu menembus sekat ruang dan waktu. Namun hal hal yang kontra produktif dan menjadi potensi rusaknya karakter bahkan kedaulatan bangsa apakah dimaklumi dan dianggap biasa biasa saja?

Era Post Truth Solidaritas dan Potensi Konflik Sosial

Konflik sosial pada umumnya karena perebutan sumber daya atau perebutan pendistribusian sumber daya. Bisa juga dikarenakan masalah harga diri. Suatu konflik terjadi sebenarnya merupakan puncak gunung es. Permasalahan sudah menumpuk dan tinggal menunggu ada triger. Permasalahan yang tidak terselesaikan akan menimbulkan kekecewaan hingga kemarahan walaupun masih dapat dipendam. Namun itu di omongkan trs ke mana mana dan bagi orang yang tidak pernah mengalamipun bisa ikut menceriterakan. Dari mulut ke mulut ditambah tambahi dan saling memiliki penafsir berbeda dari faktanya. Ini gosip. Semakin digosok semakin sip. Gosip ini tatkala berlapis lapos dan terus menerus dilakukan ini akan menjadi labeling. Pemberian label ini bisa untuk perorangan bisa untuk kelompok. Tatkala labeling ini terus dihembuskan seolah olah mjd kebenaran maka akan menjadi kebencian.

Apa yang dilakukan di atas ini sangat mudah memicu konflik sosial tatkala dikaitkan atau dihubung hubungkan dengan primordial. Primordial merupakan hal yang utama dan pertama bisa sara bisa juga komunitas atau kelompok kelompok kategorial. Di dalam primordial emosional, spiritual diutamakan dan kadang mengabaikan rasionalitas. Pokok e atau dengan semangat siap membantu mengeroyok atau balas dendam dan menyerbu. Kelompok primordial tatkala sudah saling melabel saling membenci dari konflik perorangan pun bisa terjadi. Primordial dipilih atau digunakan karena untuk mendapatkan legitimasi walau hanya pada pembenaran bukan kebenaran. Apalagi kebenaran tidak berbasis hal hal yang hakiki hanya berdasarkan populasi. Kambing tatkala diteriaki orang banyak sebagai anjing bisa saja semua meyakini itu anjing.

Di dalam masyarakat yang majemuk, primordialisme sangat mudah untuk memecah belah atau mengadu domba satu sama lain. Antar suku antar ras antar agama antar kelompok menjadi basis solidaritas pokok e yaang sebenarnya pekok e. Rasionalitasnya koprol dibuang. Yang ada dikepalanya hanyalah hajar serbu hancurkan mereka musuh menghina kita. Spirit premanisme muncul walau kembali dg keroyokkan dan pengkambinghitaman. Siapa yang lemah disalahkan dan ditumbalkan.

Tatkala kelompok kelompok primordial ini sudah menjadi crowd maka akan muncul gerakkan anarkisme ealaupun hanya dengan bullshit dikeroyok si a dan si b atau mengarang kejadian seolah teraniaya. Sifat orang2 yg cengeng mudah di berdayakan untuk membakar amarah. Sikap ksatri rela digantung diganti nalar koprol, mereka saat itu seakan penuh jiwa yang heroik walaupun melakukan hal hal yang di luar nalar. Otaknya seakan dibekukan dicocok hidungnya diseret untuk mengamini anarkisme. Kesadaran kolektif sudah tidak mampu lagi dikendalikan. Seakan orang mabuk ia lupa dengan dirinya dan sadar menyesal dibelakang hari.

Era post truth ini sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu walaupun tidak separah di era digital dg media sosialnya. Menghasut memecah belah untuk saling membenci. Kita bisa belajar dari pemberontakan2 mulai dr ken arok, hingga penyerbuan tentara china ke kediri, pengusiran pasukkan kubilaikan, pemberontakkan jaman majapahit, masa kolonialisme, masa pra kemerdekaan hingga masa kini trs saja ada.

Primordialisme menjadi pilihan apalagi kalau sudah mengatasnamakan apa saja apalagi yang berkaitan dengan harga diri ini mudah memicu konflik. Kadang kala pelakunya bisa dari orang gila. Tatkala diperiksa dinyatakan gila. Ini putus mata rantainya. Konflik sosial ini by design walaupun kadang tanpa kesengajaan. Bullshit di era post truth seolah kebenaran walaupun sarat trik intrik pembenaran. Memang ujung ujungnya juga kekuasaan penguasaan pendominasian sumber daya.

Masyarakat majemuk memerlukan adanya suatu pencerdasan hingga nalar atau logikanya tidak mudah dikoprolkan. Paradigma multikulturalisme ini mungkin mampu merasukkan kebanggaan akan kebhinekaan. Patriotisme cinta bangga akan bangsa dan negara tatkala bukan pada solidaritas semu apalagi dengan berbagai hal yang menjurus kepada premanisme. Kekuatan massa khususnya bagi masyarakat suatu bangsa dan negara layak untuk dijaga atau ditumbuh kembangkan kekayaan seni budayanya dalam konteks karakter bangsa bagi hidup tumbuh dan berkembangnya. Multikulturalisme ini menjadi kekuatan bagi pelestarian kebhinekaan dan mencerdaskan untuk memberdayakan melestarikan salah satunya melalui masyarakat sadar wisata. Kesadaran akan wilayahnya orang orangnya suku bangsa bahasa dan seni budayanya menjadi sumber daya baru. Penanaman cinta bangsa bukan lagi doktrin namun penumbuhkembangam nalar dan daya logika waras. Lagi lagi ujung nya memang politik sehat waras lah yang mampu menjaga dan membawa suatu bangsa maju dan sejahtera

Peradapan dan kecerdasan bangsa.

Bangsa yang beradab dapat dikatakan cerdas karena mampu menyelesaikan konflik secara beradab. Perilaku keseharian dari orang kebanyakan dapat menjaga keteraturan sosial dengan cara cara yang waras. Cara fisik cara preman cara merusak produktifitas, merusak seni budaya, membanggakan gerakkan gerakan dengan suasana mencekam, ujaran kebencian provokasi dan masih banyak lainnya. Semua ini menunjukkan betapa rendahnya peradaban dan kecerdasan sosial bagi hidup berbangsa dan bernegara. Perebutan kekuasaan dengan cara cara inkonstitusional menjadi kebanggaan dan pilihan. Kemampuan diskusi berdialog biasanya sulit.

Cara cara kekerasan dan anarkisme yang ditonjolkan atau malah dibangga banggakan. Di era post truth pemanfaatan media dengan berita berita hoax akan menjadi kebanggaan dan andalan pencapaian tujuan dengan cara menggerus peradaban menumpulkan logika dan memanas manasi emosi massa. Cara cara kontrapoduktif yg dikemas dg balutan primordial menjadi keunggulan walau sebenarnya tumpulnya logika dan hilangnya rasa kemanusiaan. Cara cara menakut nakuti, mengancam, mempresure kebijakan dengan masaa dan banyak lagi yang sebenarnya menunjukkan betapa lemah dan malasnya menyelesaikan konflik dg cara cara beradab.

Pembunuhan karakter digunakan dan menjadi cara melawan siapa saja yang tidak sepaham. Lagi lagi era post truth menjadi peluang dengan membully, dengan melabel hingga menabur kebencian. Cara primordial ini sptnya yang menjadi unggulan. Menyerang ranah pribadi, melabel aktifitas sosial dan kemasyarakatan. Dari tukang melawan, tidak tahu diri, melabel dengan keyakinan yang bukan seiman, tujuannya membuat stigma dan terbangun kebencian. Cara cara ini menunjukkan betapa rapuh dan dan lemahnya kecerdasan sosial. Model peradaban dengan sistem kroni sebenarnya membusukkan di tengah tengah. Karena di bawah tak berakar di pucuk tak berdaun dibtengan banyak kutu ulat yang menggerogoti dari dalam.

Membangun peradaban dapat dimulai dari pemahaman dan pengetahuan seni budaya antara lain:

1. Membangun sadar akan view ( pemandangan di sekitar kita). Apa saja sebenarnya ada makna di baliknya dan ada sesuatu yang bisa dipetik dari alam, benda bahkan kegiatan orang di dalam lingkungan itu.
2. Membangun masyarakat yang sadar lingkungan, seni budaya dan pariwisata, melalui rekayasa sosial. Dapat dimulai dr rumah kita masing masing. Gerakan moral dari rumah apa saja yang menjadi bagian dari peradaban.
3. Membangun dan mendidik serta melatih hasrat menata. Setelah memiliki kesadaran dan kemampuan point 1 dan 2 maka hasrat untuk menata sbg passion ini bisa dimunculkan atau dibangun bagaimana untuk peka peduli dan berbela rasa.
4. Membangkitkan kembali cara mengedukasi agar warga masyarakat secara umum paham akan seni budaya. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai festival atau kegiatan2 seni budaya.
5. Mengajarkan membimbing dan memfasilitasi agar masyarakat mampu atau nisa menikmati akan seni dan budaya.
6. Tatkala masyarakat sudah mampu menikmati memang perlu diajarkan dan diajak kembali untuk mampu menginterpretasi dan mengapresiasi karya seni dan budaya.
7. Kepekaan kepedulian dan bela rasa memang memerlukan kekuatan untuk mampu mendukung perkembangan seni budaya secara langsung mauoun tidak langsung.
8. Kewajiban pemerintah, para pelaku bisnis dan para akademisi untuk mampu mengemas memaknai dan memarketingkan karya seni dan budaya bangsa
9. Di era digital media menjadi jembatan jiwa jembatan hati bahkan pikiran yang mampu memembus batas labirin ruang dan waktu. Sehingga kemampuan memberdayakan media dapat mendukung hidup tumbuh berkembang dan lestarinya seni budaya
10. Membuat sistem edukasi transformasi bagi trs lahirnya seniman dan budayawan untuk terus mampu membuat karya merawat hingga melestarikannya

Masih banyak cara lain dalam membangun peradaban namun dalam pendekatan seni budaya setidaknya 10 point di atas mjd fondasi dasar untuk menjaga kewarasan. Tatkala orang sadar seni budaya dia tidak mudah ditipu dibodoh bodohi atau dijadikan keledai tunggangan kaum preman. Menjaga kewarasan merupakan bagian dari peradaban. Dan menjaga keteraturan sosial untuk mwmbuat bangsa berdaulat berdaya tahan berdaya tangkal bahkan mampu berdaya saing.

Fajar Redup Tegal Parang 230223

Share