Naar de Medan, Kota dalam Perubahan?

TRANSINDONESIA.co : Oleh: Muhammad Joni

Pagi tanggal 1 Januari adalah katua-nya hari tahun 2023. Saya dapat kiriman “gizi”, nun jauh dari Medan, dari sang katua: Abang Ir. Hasrul “Icon”  Hasan. Patik sukaria dan apresiasi atas buku kompilasi gagasan  juncto agenda strategis yang diluncurkan Dewan Pakar Majelis Daerah (MD) KAHMI Medan.

Alahai, sontak saya bergumam: ‘Mendai’. Segera mencerna perlahan, sembari melahap sesayup lagu senandung lagu Sri Deli. Di rantau, beta tak jemu menyukai tamadun Melayu yang memukau.  Membuka helai demi helai, bola netra saya menukik ke bagian lingkungan dan tata kota. Pilihan strategis yang tepat. Pasti tak luput isu hunian perkotaan, begitu bunyi  pikiran.  Bukan hanya hak konstitusi bertempat tinggal –yang tengah bertungkus lumus amba teliti. Namun tersebab hunian adalah Urusan Pemerintahan Wajib, urusan konkuren duo  Pemerintah dan  Pemerintah Daerah (Pemda), jika merujuk Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Pemda.

Saat membaca, saya berlomba dengan dua perasaan:  gairah membaca, dan sedikit copir,  godaan hendak sarapan. Keduanya “makanan”  bergizi. Saya hendak makan banyak isu-isu strategis dan skala benggala  ikhwal perkotaan: hak atas kota, kota dalam perubahan, jaminan bermukim (secure tenure), konflik tanah kota dan reforma agraria perkotaan, renewal kota paska pendemi COVID-19 melanda;  lebih dari  soal klasik sampah, banjir, dan merosotnya ruang terbuka hijau.

Banyak godaan-feat-persoalan perkotaan  sebagai beban kota yang akut, termasuk  Kota Medan. Saya dan kita bagian dari urbanisasi yang bisa survival, ya.. karena  warga kota yang berdaya dan produktif.  Dulu, saya merantau ke Deli, itu pun kalau pergi dari Tanjungpura (dulu ibunegeri Kesuthanan Langkat), “makan” bangku kuliah ke Medan, masuk dalam  defenisi teknis merantau; bukan komuter.

Kua-tiori,  peserta  urbanisasi  yang  tidak  produktif itu,  secara statistik menjadi beban kota. Yes, Medan adalah tujuan urbanisasi, semenjak dulu. Selain Jacobus Nienhyus –yang  “babat alas” membuka kebun tembakau,  dan Tan Malaka yang menulis ‘Naar de Republiek Indonesia’ (Menuju Republik Indonesia)   –sempat menjadi guru demi buruh kebun di tanah Deli, setelah cau dari Belanda. Pun,  idemdito kiprah dakwah Buya HAMKA di Medan diabadikannya lewat novel ‘Metantau ke Deli’ (1939).

Sebelumnya, tahun 1823, Penjelajah bayaran  warga  Inggris Jhon Anderson mendatangi Kampung Medan, dalam misi memeriksa kekayaan alam dan nonalam pantai timur Sumatera. Tiga tahun kemudian Anderson membuku misi “intip-intip” Sumatera ke dalam  ‘Mission to the East Coast of Sumatera’ (Eidenberg, 1826).  Terpisah waktu, novel sejarah-hukum Emil W. Aulia bertitel ‘Berjuta-juta dari Deli’ (2006) menarasikan bukti –yang diambil dari pustaka Belanda– dan imaji urban betapa di tanah Deli  ada kebun pohon berdaun uang.

Kini, Kota Medan terbuka. Pintunya berpangah bagi missi terencana maupun urbanisasi tak sengaja, pun karena profil historis-sosial-nya amsal berpinaknya ketua-ketua. Medan bukan hanya kota. Medan adalah tujuan. Kota terbuka adalah kota yang terus menerus “berlaga” dengan  perubahan (in transformation).

Majelis pembaca. Ruang sosial dan spasial  Medan  dihuni  8.481 Penduduk per Km (P/Km),  jika menengok profil kawasan versi data Biro Pusat Statistik (BPS) Sumut  (2019).  Itu  bagaikan ruang laga-tanding sebesar kota bagi  kaum urban. Ruang spasial-sosial versus kepadatan penduduk itu, paling tinggi di Sumut. Bandingkan Kota Gunung Sitoli (196 P/Km), Kabupaten Pakpak Barat (39 P/Km). Rame kali Medan, dilihat dari populasi Gunung Sitoli  –yang terpisah pulau. Medan pun menjadi “katua” dari  ruang spasial-sosial kota dan kabupaten lainnya.

Kepadatan penduduk dan urbanisasi, secara tioritis  divonis  pakar perkotaan sebagai sepasang faktor meruyaknya kawasan  kumuh kota, eskalasi rumah tidak layak huni,  lingkungan hidup kota yang tidak fit, plus kekurangan hunian rumah (backlog) –yang layak dan terjangkau.  Masih menurut pakar, infrastruktur dasar dan fasilitas umum yang degeneratif, menambah daftar beban kota. Walau usah gusar hati kali, karena menurut fakta sosial, kawasan kumuh kota  Mumbai, India mencetak  anak muda jalanan  “kreatif” dan tangguh menyiasati kerasnya dinamika kota, seperti diangkat ke layar lebar ‘Slumdog Millionaire’ (2008).

Dari data BAPPENAS, hanya 56,75% rumahtangga (Ruta) menghuni rumah layak. Jadi, hampir separoh  Ruta menempati rumah tidak layak huni a.k.a kumuh kota.  Pun,  angka backlog masih menguatirkan, yang kasat mata sebagai soal struktural: kemiskinan perumahan. Yang belum efektif diatasi, sekalipun ada Program Sejuta Rumah  bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) –sejak 2015.

Statistik backlog  di Sumut (2019) menembus 1.033.147 Ruta. Gubernur  Edi Rahmayadi menyebut backlog di wilayah kuasanya   sebanyak 411.000 unit di tahun 2019. Kawan saya Andi Atmoko  Ketua Realestat Indonesia (REI) Sumut menyebut angka 700.000 unit per tahun kebutuhan rumah di Sumut. Naik 20% per tahun.

Masih menurut REI Sumut, produksi rumah anggota REI hanya bisa menyentuh 30.000 unit per tahun. Jika dikalkulasi, butuh waktu 33 tahun lagi menjadikan profil Sumut dengan angka backlog nol  –padahal  dikelilingi kawasan devisa  perkebunan negara dan swasta, industri strategis dan kawasan geostrategis Selat Malaka, eh Selat Sumatera, yang wilayah misi jelajah Jhon Andrson, dulu.

Kota Medan yang paling padat penduduk di provinsi ini, menjadi sorotan juncto beban menjawab kebutuhan hunian yang layak dan terjangkau. Juga,  target penataan kota yang berkelanjutan, yang dalam Sustanability Development Goals (SDGs) disebut dengan Sustainability City and Community.  Sebuah sumber pengembang kota mandiri baru menyebut backlog  Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang –yang menempel secara sosial-spasial dengan kota terbesar di pulau Sumatera ini– sebanyak 340.000 unit.

Sementara tanah kota makin langka. Dikerkah pemangsa. Mahal. Ligat dalam eskalasi harga. Acap digoreng hingga hata tak efisien. Tarif  pajaknya (PBB) tak sanggup disandang. Media  heboh mewartakan mafia tanah. Saat diskusi  ‘one on one’ dan saat zoominar dihelat Prodi MKN USU dengan  Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,M.Hum, beliau gusar dan gerah dengan keamanan dan kepastian hukum tanah pemerintah. Padahal guru besar ilmu hukum agraria USU itu, saya kenal bertutur kalem.

Zuriat penduduk “aseli” semula  –yang berhak atas ruang sosial dan ruang spasial secara  tradisional sebagai hak atas asal usul yang lekat turun temurun– alhasil tersaring,  dan mentepi. Tersisih. Terpuruk di sudut kota, bahkan tepi Sungai Deli yang berbau basah. Tak tangguh lagi berumah di inti kota.  De facto, perumahan adalah corak juncto wajah kota. Pakar perkotaan Tjuk Kuswartojo –yang menulis buku ‘Baca Benggala’ (2019), dan ‘Utak Atik tata Kelola Kota’ (2019) membuat postulat perumahan adalah mosaik utama pembentuk kota.

Koq mosaik?  Defenisi mosaik lekat dengan bentuk tanpa bentuk –yang mengambil ruang spasial.  Yang perlu kecerdasan, ketabahan, dan bertungkus-lumus waktu untuk turun tangan langsung menata bagian “puzzle” kota,  dan mencocokkan mosaik bentuk paling ajaib dan sulit di hamparan kota.  Kesawan adalah mosaik Deli, kini Medan.  Dulu saya membilang, tak mungkin Medan tanpa Kesawan. Akankah mosaik kota tua Kesawan itu jejak karya prestasi?  Atau beban kota, kini?  Perlu cemburu kepada tata kelola kota tua milik jiran Melaka!  Sebab itu,  setiap kota membutuhkan watak pemimpin, dan mesin kerja yang melayani warga (servant leadership). Sebagai ukiran prestasi. Perlu prestasibilitas otentik, bukan hanya elektabilitas lipstik. Apalagi pada Kota Medan yang  warganya unik, dinamis, kritis, berterus terang, dan surplus ketua.

Kota yang plural dan realy struggle, yang membuat bangga dengan frasa: ‘Ini Medan, Bung!’, yang saya dengar konon dimulakan sastrawan-feat-jurnalis senior Zatako –yang urang awak yang kental kali Medan-nya.  Juga, jangan lupa kota yang hendak meng-internasional dengan julukan  ‘Kitchen of Asia’, alahai koleksi tamadun kulinernya hanya ada dua jenis saja: enak dan enak kali!

Pak Ban Ki-Moon,  Sekjen PBB (2007-2016) membuat postulat, Kota adalah tantangan, menang atau kalah di ring tanding bernama Kota. “Our struggle for global sustainability will be won or lost in cities”.  Tersebab itu, beban kota, urbanisasi tidak produktif, hunian tak layak huni, menyeruak sebagai isu kemiskinan kota. Ya..kota manusia, bukan kota baja, kota beton, kota kardus, kota pasir, atau kota virtual di jagat metaverse. Karena pertumbuhan kota dalam satuan permukiman, satuan spasial, satuan sosial. Kota produk interaksi sosial-spasial. Miris, kota-kota kita  berproses menahan beban sosial-ekonomi, bahkan beban kusut masai birokrasi, tarikan  politik dan kriminalitas,  dengan tanpa Undang-undang Perkotaan.

Walau tak elok memuji lebih maju di zaman Belanda, karena menyiapkan Ordonansi Pembentukan Kota (SVO: Stadvorming Ordonantie) diketuai pakar hukum Logemann,  dan disahkan ordonan perencanaan kota di Jawa (Stadverordonantie Stadmeenten Java 1938).   Era merdeka pernah ada RUU Bina Kota yang substansinya  mengacu konsep: place, work, folk, yang lantas, menurut pak Tjuk menjadi: WKMSP (wisma, karya, marga, penyempurna). Advokasi UU perihal pembentukan kota yang minimal berelemen WKMSP terus amba gelorakan, dengan justifikasi kebutuhan New Urban Agenda (NUA).

Idemdito isu kemiskinan perumahan rakyat,  erat melekat dengan beban kota termasuk Kota Medan –yang leksikal analog dengan the struggle urban– walau belum membaca  kutipan aseli Pak Ban Ki-Moon.  Sebagai kota dengan beban, cabaran, tantangan, dan jamak keunikan,  penting menimbang  contigency agenda juncto affirmative action kepada Kota Medan, sebagai: New Medan Urban Agenda. Sungai Deli bisa direvitalisasi, ditata baru (renewal), diremajakan (rejuvenile) dari serangan degeneratif kota.

Buat-lah kebijakan sosial warga Sungai Deli putar hadap rumah  180 derajat, beri modal kedai kopi-kulineri, pasangan lampu-lampu penerang sempadan sungai,  agar  agenda  kecil rumah menghadap muka Sungai Deli, perbanyak  latar panggung foto selfi,  atau festival menyusuri sungai Deli, diyakini bisa  menyajikan citra molek alami Sungai Deli yang ada gubahan lagu Melayunya.

Tentu, dengan melibatkan partisipasi warga kota, seperti insancita warga KAHMI Medan. Bukan hanya karena insancita, pun bukan tersebab adanya  hak warga  atas kota (rights to the city), namun karena watak alamiah kota itu adalah:  produk interaksi sosial, spasial, pun finansial. Lho, koq finansial?  Bukankah bagi Bertrand Renaud (1999), “Cities are built the way they are financed”.  Populer di folklor Medan, “Hepeng nan mangatur negara (kota) on”.  Ada kota baru, karena ada uang baru? Analog kah dengan IKN baru?

Majelis pembaca yang bersemangat. Agar ada  keberlanjutan kota dengan komunitasnya, mengurai beban kota juncto Sungai Deli dan kawan-kawannya, yang bisa menjadi jurus “tarik & angkat” (pull up) warga kota dan zuriatnya dari jeratan kemiskinan kota. Jangan jemu mengusung terus New Medan Urban Agenda, walau ganti penguasa. Dengan bekal dan sentuhan  “seniman”  Insancita  KAHMI –yang kaya sumberdaya dan doyan “memakan” tantangan.

Agar cabaran  pencapaian SDGs dan “menu” Agenda Baru Kota, bisa disajikan ke meja pengambil kebijakan perkotaan  dalam perubahan. Relevan dengan rekomendasi-feat-komunike Forum Urban 20 (U-20) yang salah satunya ikhwal  perkotaan dalam perubahan (urban in transformation). Yang hendak melampuai urban development, pun demikian pembangunanisme perkotaan (urban developmentalism).

Eksponen pakar jucnto praktisi-profesional KAHMI bisa menjadi koki Medan Urban in transformation. Eureka, ikhtiar menjadikan Medan sebagai bukan cuma ‘Kichen of  Asia’, namun cita ‘Kichen of Urban in Transformation’. Dari mana dananya? Tanya seorang kawan menggoda. Saya menjawab taktis-diplomatis, “Tidak elok  memang kekurangan dana mengubah kota, namun lebih tak elok lagi kekurangan cita-cita dan menihilkan hak atas kota”. Saya teringat kata-kata Plato –dalam buku Ilmu Negara karya begawan tatanegara Prof.Dr. M. Solly Lubis, SH. –yang guru besar USU– bahwa (harta) benda tertinggi nilainya ialah kekuasaan  –yang ada dalam jiwa manusia. Bukankah kota-kota di dunia dibangun dengan kekuasaan?  Pun, demikian tarikh ibukota negara dibelahan dunia sini, dan juga sana.

Dalam babat Giyanti, istilah “nagoro” ialah wujud dari kota. Menindaklanti perjajian Giyanti 1745, Paku Buwono III –dengan keuasanya— menyatakan “ngalih negoro” yang takwilnya pindah ibukota. Bogor mengambil tarikh penobatan Prabu Siliwangi menjadi Raja Pajajaran sebagai hari jadi kota tahun 1482. Hari jadi Surabaya dipatok dari terusirnya tentara Kubilai Khan dari pesisi Surabaya oleh Raden Wijaya (Tjuk Kuswartojo, Kaca Benggala).

Ini bukan umbang, ayo  Medan kota kita yang sudah takdirnya selalu membawakan perubahan,  agar tamu-tamu kota tak jemu, soor dan  berani  datang ke Medan –yang selalu dinamis, bergerak,  berubah, bergelegar. Suaranya orang Medan memang  gelegar, namun hati warganya baik, merdu, dan banyak kahiyang. Cocok dengan spirit  Urban in Trasformation. Berubah kepada kebaikan.

Tak usah jemu ‘bersyukur dan ikhlas’  dalam semangat  ‘Yakusa’, duhai Ketua MD KAHMI Medan Dr. dr. Delyuzar, M.Ked.(PA), Sp.PA (K), dan Sekretaris Umum dr. Alwi Mujahit Hasibuan, M.Kes.,  yang embodied dengan jajaran Dewan Pakar MD KAHMI Medan. Untuk katua, bang Icon, teruslah mengirimkan “gizi”, jangan tergoda hendak pensiun.

Yth. Pak Walikota Bobby Nasution, selagi  hayat jiwa  ala Plato dikandung badan, dengan mandat kekuasan atas kota Medan yang dijalankan dengan amanah skala Plato, bukan mustahil   Medan  menjadi kota yang berubah wajah. Bukankah Kesawan pernah menjadi contoh kota baru moderen dari  kota-kota Asia?   Saya dan kita diaspora Medan sedunia berasa-cita kepada Medan tampil bagai Katua-nya Urban in Transformation.

Jamak pakar perkotaan diaspora Medan seperti kawan Jehansyah Siregar, Ph.D., pakar perkotaan,  amang Prof. Harun al-Rasyid Lubis, pakar sistem transportasi kota. Tentu, berjejer alumni USU seperti bang Prof. Muhammad Yamin Lubis, SH, pakar hukum pertanahan, bang Dr. Edi Ikhsan, pakar hak ulayat,  bang Ir. Jaya Arjuna,  pakar lingkungan  dan berpengalaman soal Sungai Deli, bang Zulkifli Rani, pakar antropologi perkotaan  yang bertungkus lumus  menggeluti  Sungai Deli, saya  yakin bisa,  enak, dan sukacita diajak berperanserta. Rutenya satu: menuju Medan, Urban in Transformation.  Naar de Kota dalam Perubahan. Bahkan, Katua-nya Kota dalam Perubahan. Agar judul Kota dalam Perubahan tidak memerlukan karakter ‘tandatanya’ [?], lagi.

Kurang sepuluh menit ke pukul 10.00 waktu Jakarta yang bercuaca basah,  paragraf akhir amba berhenti “merepet”,  sebagai narasi tak berswara ini. Sembari melayangkan kenangan melalak ke kota Medan, berkat sesayup lagu lawas Malayu Deli berkumandang. “Sungai Deli sungai pujaan/ seniman zaman/alunan airnya tidak deras/ tak jemu memandang”. Tarik, Katua
Maaf atas sang khilaf, ampon untuk yang tak santon. Tabik.

Kelapa Gading, Jakarta, 1-1-2023.

Penulis adalah: Advokat Muhammad Joni, Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera), Alumni HMI Medan (KAHMI), dan  Pengurus Pusat IKA USU.

Share