Dari Concours d’Elegance ke Constitution Rights Sensitive
TRANSINDONESIA.co | Oleh: Muhammad Joni, S.H., M.H.
Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional, juga Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.
Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis. Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua. Bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 4 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.
**
Nyaris sepekan lawyer kami memelototi naskah permohonan judicial review perkara Nomor 10/PUU-XV/2017. Intens menguliti objectum litis, berikut legal standing, posita dan petitum permohonan 31 dokter. Secara resmi, PB IDI mengirimkan surat undangan rapat tanggal 23 Februari 2017. Kami sudah cukup mempersiapkan diri dan akan menghadiri case conference dengan antusias. Tabah mendengarkan keterangan dan pendapat, bandingan, pertanyaan, opini prognosis dokter peserta rapat perihal perkara hukum judicial review UU 29/2004 dan UU 20/2013. Bahkan pertanyaan gurauan yang cerdas berkelas.
Rapat di markas PB IDI membahas hukum dengan kalangan dokter, saya mencatat dengan seksama. Mendengar khusuk tanda memberi perhatian paling cermat. Sesekali membuat komentar, catatan penting, dan stressing point. Juga, menikmati legitnya lalu lintas diskusi dan pertautan mesra disiplin ilmu hukum dan ilmu kedokteran. Sesekali pilot in command Prof. IOM menyebut saya dengan dokter Joni, sembari menebarkan senyum egaliter khasnya. Pasang telinga khusuk diam mendengar, antusias dan geliat body language secukupnya tanda memberi perhatian penuh, adalah bagian pekerjaan lawyer. Bagian dari layanan primer pada klien yang berusaha menambang amunisi argumentasi untuk mempersenjatai litigasi lawyernya. Sekali waktu saya membuat status facebook bunyinya begini, “bertemu dokter, membahas hukum”.
Banyak informasi, latar belakang, analisis permulaan, asumsi bahan cerita kocak dibalik “kamar bedah” perkara judicial review dari sejawat 31 dokter. Ada pertanyaan yang masih saja datang menyembul dalam “jantung” pikiran, apakah ini persoalan konstitusionalitas norma, atau hanya riak-riak dari dinamika organisasi IDI?
Saya membatin masih terus mencari jawaban. Menyusun tesis bahwa riak-riak dinamika organisasi itu soal biasa. Sebab IDI adalah Organisasi Profesi yang besar, malah mungkin paling besar. Akar sejarahnya kuat dalam perjuangan. Statistik usianya panjang mengikuti ritme pertumbuhan republik ini, dan memiliki tokoh-tokoh penting pembangunan kesehatan di negeri ini. Usah heran jika IDI bukan hanya menjadi aktor garda terdepan pelayanan kesehatan, namun mengemban misi sebagai Agent of Change dan Agent of Development, seperti bunyi Mukadimah AD IDI. Jika menengok sejarahnya yang panjang, pun kepakaran yang dimiliki profesi mulia ini, wajar saja dalam menggiatkan Agent of Change dan Agent of Development ada dinamika ataupun riak-riak dari luar pun dari dalam. Jika Dr. Kartono Muhammad dalam buku ’60 Tahun Ikatan Dokter Indonesia’ (2010) menggagas hendak “menyatukan” dokter dengan masyarakat, mengapa ahistoris hendak menggerus pilihan sejarah wadah Satu IDI? Bukankah Satu IDI terbukti memiliki korformitas fakta sosial yang tak terbantahkan.
Tanpa sebiji pun benih keraguan peserta rapat menyetujui langkah PB IDI masuk sebagai Pihak Terkait ke dalam perkara judicial review itu. “Kita tidak hendak membiarkan profesi kedokteran terdampak, tanpa tindakan aktif upaya hukum dari IDI”, begitu keteguhan sikap perjuangan yang diujarkan Prof. IOM, sepanjang yang saya ingat. Sikap Prof.IOM itu mendefinisikan IDI sebagai entitas penting namun kritis menyikapi dinamika kebijakan pelayanan kesehatan khususnya kedokteran. Mengemban misi sebagai Agent of Change dan Agent of Development. Agaknya, IDI bergerak jauh melompat ‘Dari Concours d’Elegance ke IDI yang Kritis’, meminjam diksi dari titel artikel Dr. Kartono Mohammad, masih dalam buku ’60 Tahun Ikatan Dokter Indonesia’ (2010).
Rupanya Prof. IOM dan PB IDI sudah begitu tanggap dan sensitif dengan hak konstitusional dokter dan IDI. Sudah bergeliat ke constitution rights sensitive. Mungkin itu efek pengaruh dari geliat perjuangan tatkala judicial review memperjuangkan takdir hidup KKI dan norma dokter dan dokter gigi sebagai Tenaga Medis. Yang membuat bersatu padunya IDI, PDGI, KKI, eksponen dokter dan masyarakat menghadapi “ujian pertama” membatalkan pembubaran KKI.
Terkait adanya judicial review UU 29/2004 dan UU 20/2013, sontak saya pernah menyebut adanya “IOM’s Effect” kepada Dr. Mariya Mubarika dan Dr. Mahesa Paranadipa Maykel, M.H. Sebab jajaran PB IDI, MKKI, MPPK dan saya yakin MKEK pun mendukung IDI menghadapi ujian kedua, walau pokok soal yang diujikan lebih sebagai riak-riak dinamika internal organisasi saja.
**
Pukul 17.30 WIB, 23 Februari 2017. Rapat sudah selesai. Rekaman dan catatan lengkap. Produktif dan bersiap dengan agenda kerja kuantum advokasi. Selanjutnya, kami berjanji untuk bertemu lagi, sembari melengkapi informasi dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, monitoring perkembangan. Tak lama setelah pertemuan pertama, dilaksanakan rapat lanjutan yang membahas lebih fokus dan menyiapkan rencana dan strategi hukum memasuki perkara, dan merancang draf surat hukum.
Empat hari kemudian, tepatnya tanggal 24 Februari 2017, saya mendapat CC pesan WA dari Prof. IOM yang ditujukan kepada jajaran PB IDI. Struktur isi pesan itu menggambarkan sudah diambil sikap keputusan yang lugas, instruktif yang jelas dan pengorganisasian yang rapih dan bertenaga. “…saya harap bergerak cepat utk upaya perlawanan hukum terhdp JR UU Pradok oleh 32 ‘peng…… IDI’ a.l: Penerbitan SK Tim Kontra JR UU Pradok 2004, MoU antara PB IDI dgn Bpk. DR. Joni SH. Tkb. Wass. IOM. Cc: Bpk DR. Joni SH”.
Mencermati struktur pesan itu, saya merespon ringkas, penuh semangat dan optimis, “Siap pak Ketum. Prognosa optimis. Bravo IDI dan KKI”, tulis pesan saya kepada Prof. IOM. Tentu setelah membaca naskah permohonan dan Risalah Sidang (I). Entah sebab apa, Prof. IOM sering menambahkan initial “DR” pada nama saya, walau saya sudah membilang saya bukan dokter dan belum Doktor hukum. Oh ya, saya menulis juga “Bravo IDI dan KKI”, karena Prof. IOM juga anggota KKI dari unsur/wakil IDI. Dalam istilah militer, ‘Bravo’ berarti ‘Yang Terbaik’.
Saya lupa berapa kali bertandang ke markas IDI Jalan Samratulangi 29 guna rapat intens melaporkan, menyiapkan bahan, dan membahas langkah litigasi dan nonlitigasi atas judicial review UU 29/2004 dan UU 20/2013. Bolak balik rapat di markas PB IDI di kawasan Menteng, Jakarta Pusat yang hanya berjarak sekitar 5 menit saja dari kantor saya, pak Sulis, petugas parkir Samratulangi 29 yang murah senyum dan rajin membantu, pun terbiasa menyapa saya dokter, seperti layaknya jajaran “petinggi” PB IDI. Dikiranya yang datang ke PB IDI semuanya dokter.
Dari kesempatan rapat pembahasan yang intensif dan mendalam, tersusunlah pokok argumentasi yang bisa menambah “energi kimia” substansi materi dalam menyusun permohonan PB IDI yang sudah haqqul yaqin mengambil keputusan masuk sebagai Pihak Terkait dalam perkara Nomor 10/PUU-XV/2017. Amunisi itu juga berguna dalam menyusun naskah Keterangan Pihak Terkait, yang sesuai hukum acara adalah hak yang diberikan Undang-undang, posisinya sama seperti pemohon maupun Pemerintah dan DPR.RI selaku “termohon”.
Pertemuan pembahasan materi dan lingkup jawaban atas permohonan uji materil UU 29/2004 dan UU 20/2013 selalu dihadiri Prof.Dr. IOM, Dr. Mohammad Adib, Sp.OT., Sekretaris Jenderal PB IDI; Dr.Mahesa Paranadipa Maykel, M.H., Dr. Maria Mubarika, Dr. Hadi Widjaya, M.H., Dr. Nasser yang kritis, runtut-sistematis, namun humoris, juga Dr. Nazar, Sp. B., M.H., dokter spesialis bedah yang suaranya bergelora kala membedah hukum. Bahkan Dr. Zaenal Abidin, M.H., Ketua Purna PB IDI alias mantan Ketua Umum PB IDI masa bakti 2012-2015 yang turut hadir berkali-kali memberi masukan meracik bahan naskah hukum untuk memenangkan “ujian kedua” PB IDI. Saya mencatat baik istilah “kewenangan medis” dari ulasan beliau.
Materi bahasan rapat cukup kompleks dan meluas. Namun sari pati dan lingkup pembahasan setuju mendudukkan proporsi yuridis IDI sebagai organisasi profesi dokter yang ditopang dengan argumentasi yuridis konstitusional, historis-sosiologis, organisatoris, dan praktis. Membangun konstruksi hukum bahwa IDI adalah Organisasi Profesi bukan organisasi massa (ormas), bukan serikat pekerja, namun seperti Ketentuan Umum Pasal 1 angka 12 UU 29/2004 eksplisit IDI adalah Organisasi Profesi. Yang mencakup pendidikan, pelayanan, etik, dan memiliki kewenangan medis sebagai kompetensi yang terikat dan patuh dengan 3 (tiga) norma yakni norma hukum, norma disiplin dan norma etik. Pakem itu berasal dari pertimbangan dalam putusan MK dalam perkara Nomor 14/PUU-XII/2014, angka 3.14., yang membuat profesi dokter menjadi istimewa. Istimewa? Ya. Tersebab kewenangan medis (medical authority) dan kompetensi kedokteran (medical competency) yang melekat pada sosok profesi dokter.
Dari hasil pertemuan bergizi itu lawyer incharges merangkumnya dalam narasi yang kemudian dikirim kepada PB IDI sebagai “laporan hasil rapat”. Merangkum dan mengirimkan laporan kemajuan, lengkap dengan jam produktif atau jumlah halaman produk hukum yang diberikan, adalah “protokol” yang biasa dilakukan Law Office Joni & Tanamas melayani klien.
Berikut ini racikan materi substansi dan argumentasi menghadapi judicial review yang bertenaga bak mitokondria penghasil energi kimia adenosina trifosfat yang berenergi tinggi. Begitulah tim kami menghargai hasil rapat dalam kemasan ‘Rangkuman Pertemuan Pembahasan Materi Uji Materil UU 29/2004 dan UU 30/2013, Selasa, 4 April 2017, Jam 14.30 – 16.30 WIB di Kantor PB IDI” yang dikirimkan kepada bu Dien, kepala kantor PB IDI.
Berita Terkait:
Trans Global
(1). Perihal IDI sebagai Organisasi Profesi yang memiliki anasir yang bukan hanya PB IDI yang sebagai eksekutif yang berwenang sesuai AD/ART IDI bertindak keluar (eksternal), namun sesuai dengan struktur organisasi tercakup pula majelis-majelis yakni MKKI, MKEK dan MPPI sebagai “satu tubuh”. MKKI, MKEK, MPPI merupakan organ yang independen dan mempunyai peran dan fungsi serta tanggungjawab tersendiri yang independen (tidak bisa diintervensi oleh PB IDI). Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, MKKI, MKEK, MPPI mempunyai “kompendium” yang berorientasi untuk memastikan perlindungan kepentingan pelayanan kedokteran dan/atau praktik kedokteran yang diberikan kepada pasien. Sedangkan yang bertindak keluar atau menyampaikan sikap organisasi kepada eksternal termasuk Pemerintah dan legislatif (DPR, MPR, DPD), semisal dalam isu kebiri, vaksin palsu, JKN, dan lain-lainnya, yang berkomunikasi dan menyampaikannya kepada eksternal adalah PB IDI.
(2). Struktur organisasi IDI yang diatur dalam AD/ART IDI bukan hanya menggambarkan hubungan antara PB IDI dengan MKKI, MKEK, MPPI, dan Dewan-dewan, serta dengan Pengurus IDI Wilayah dan Pengurus IDI Cabang. Akan tetapi dalam struktur tersebut mengandung filosofi dan konsepsi bagaimana profil IDI sebagai Organisasi Profesi dalam kaitan dengan jaminan atas kompetensi profesi dokter, kepatuhan etika kedokteran, pendidikan kedokteran oleh masing-masing kolegium, dan pelayanan standar yang diberikan dokter spesialis yang berhimpun dalam perhimpunan dokter spesialis.
(3). Dengan struktur dan profil IDI sebagai Organisasi Profesi yang berhimpun dalam “satu tubuh” yang mengintegrasikan antara PB IDI, dengan majelis-majelis (MKEK, MKKI, MPPI), dewan-dewan, Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang, sebagai satu kesatuan. Yang apabila hendak dipisahkan atau dikerdilkan, maka hal itu tidak “sehat” bagi IDI sebagai Organisasi Profesi dokter yang berdampak langsung pada pelayanan pasien dan mutu layanan dokter dalam melakukan praktik kedokteran sebagai bagian dari pemenuhan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. IDI sebagai Organisasi Profesi yang tunggal atau sebagai “Satu Tubuh” justru merupakan alasan dan justifikasi untuk memastikan perlindungan pasien dan menjamin peningkatan mutu layanan kedokteran sebagaimana dijadikan tujuan dalam UU 29/2004 (vide Pasal 3 UU 29/2004).
Sebaliknya, seandainya adanya pemikiran dangkal hendak memisahkan MKKI (ataupun MPPI, atau bahkan MKEK) dari IDI maka hal itu justru tidak serta merta menjadikan kolegium otentik dan identik sebagai Organisasi Profesi namun justru sebaliknya (dalam konteks Indonesia) bisa jadi akan tidak memiliki relevansi untuk menjadi Organisasi Profesi tersendiri.
(4). Sejarah dan perkembangan IDI sebagai Organisasi Profesi saat ini dengan struktur dan profil seperti sekarang ini, dimana majelis-majelis menjadi bagian dari IDI namun bersifat independen dalam menjalankan peran dan fungsinya, merupakan hasil sintesis perkembangan sejarah organisasi profesi dokter di Indonesia. Artinya, perkembangan IDI sedemikian dalam “satu tubuh” merupakan perkembangan yang historis, alamiah, dan sesuai dinamika profesi dokter. Dalam sejarah dan perkembangannya, kolegium dibentuk karena kebutuhan bagi dan tumbuh bersama-sama dengan Organisasi Profesi cq. IDI. Hal mana berbeda dengan sejarah dan perkembangan di British, di mana kolegium (medical college) lebih awal berdiri bersama dengan konsil kedokteran (medical council) dari pada organisasi profesi (medical association), sehingga dalam perkembangannya menjadi terpisah. Namun dalam konteks Indonesia, IDI sebagai Organisasi Profesi berkembang dan membentuk kolegium-kolegium, lantas membentuk majelis kolegium kedokteran yang di tingkat pusat sebagai MKKI yang terintergrasi dalam “satu tubuh” sebagai IDI bersama-sama dengan PB IDI. Artinya, kua historis Organisasi Profesi dokter cq IDI tumbuh dan berkembang bersama-sama dalam “satu tubuh” antara asosiasi profesi dokter dengan kolegium yang dibentuk belakangan, yang berhimpun menjadi “satu tubuh” dalam IDI.
(5). Patut dicatat bahwasanya, dalam perkembangan Organisasi Profesi, di dalam dan di luar negeri, proses dan perkembangannya bermula dari profesi itu sendiri secara bottom up, bukan top down, dan tumbuh secara alamiah atau tidak diciptakan secara formalitas dari atas (top down) oleh kekuasaan dengan kebijakan/regulasi pemerintah. Karena itulah Organisasi Profesi dibiarkan berkembang sesuai dengan/dari profesi itu sendiri dan tidak dipaksakan adanya bentukan (struktur dan profil) dari atas atau kekuasaan yang didesain dengan kebijakan/regulasi.
(6). Perkembangan Organisasi Profesi cq IDI yang secara historis tumbuh bersama dengan majelis-majelis (MKEK, MKKI, MPPI) yang dibahas secara berkala dalam forum muktamar dan diputuskan sebagai garis organisasi dalam AD/ART atau Keputusan Muktamar. Dalam hal permohonan uji materil mendalilkan dan meminta sebaliknya memisahkan kolegium kedokteran dari IDI, hal itu justru ahistoris, tidak tumbuh sesuai dinamika perkembangan profesi dokter secara apa adanya, dan akibatnya merugikan profesi dokter dan perlindungan pasien. Sebab, jaminan kepastian perlindungan dokter dan pasien tidak lagi utuh dalam “satu tubuh” untuk memastikan pelayanan pasien dalam standar kedokteran yang disusun dan ditetapkan secara terkoordinasi dan terintegrasi.
Lagi pula, jika dipisahkan kolegium kedokteran dari IDI (bukan ansich PB IDI) tidak cukup atau setidaknya belum tentu bisa menciptakan segera kolegium sebagai organisasi profesi seperti halnya IDI sebagai medical association yang justru terbukti otentik dan fungsional menjalankan fungsi dan tugasnya. Karena itu ada faktor kepentingan publik yang lebih luas yang mesti dipertahankan dan dijamin, agar IDI sebagai Organisasi Profesi dokter tetap berada dalam “satu tubuh” dengan kolegium-kolegium kedokteran, demi ikhtiar pemenuhan hak konstitusional atas pelayanan kesehatan yang dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
(7). Dikemukakan pula apabila dilakukan pemisahan kolegium kedokteran dari IDI, maka hal itu merugikan pasien dan masyarakat karena akan menimbulkan disintegrasi organisasi profesi dengan fungsi pendidikan dan latihan berkelanjutan yang justru menjadi ciri atau anasir organisasi profesi. Hal itu justru keharusan dokter melakukan pendidikan dan pelatihan secara seumur hidup (long life education) dan terus menerus sehingga memiliki justifikasi diselenggarakannya medical education oleh organisasi profesi sebagai bagian tak terpisahkan dari praktik kedokteran. Selain itu akan menjadikan kesimpangsiuran standar kompetensi dokter oleh karena beragamnya standar, bahkan beragamnya input mengenai kebijakan praktik kedokteran. Misalnya perihal bagaimana memperhitungkan tarif dokter yang pada gilirannya bukan hanya merugikan masyarakat dan pasien namun juga membebankan Pemerintah.
Misalnya dalam hal kolegium kedokteran, sebagai bagian dari IDI yang bersifat independen dalam hal pendidikan dan latihan kedokteran, sebab pendidikan dan latihan merupakan hal yang pokok bagi profesi dokter dalam melakukan praktik kedokteran. Sebab, dokter mesti terus menurus menambah pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skills) dan watak (attitute). Sehingga beralasan jika IDI sebagai Organisasi Profesi memainkan peran dan fungsi pendidikan dengan kelembagaan yang disebut kolegium yang kemudian berhimpun pada tingkat pusat menjadi MKKI, yang merupakan organ dari IDI (bukan ansich PB IDI). Sehingga, kolegium kedokteran dan/atau MKKI sangat terjamin independensinya, dan karenanya tidak bisa diintervensi oleh PB IDI. Keputusan yang diterbitkan MKKI tidak bisa diintervensi PB IDI.
(8). Secara umum Organisasi Profesi seperti halnya IDI menjadi organisasi profesi bukan hanya karena berhimpunnya profesi tertentu, namun mesti memiliki unsur-unsur yang utama sebagai organisasi profesi, seperti body of knowledge, etika profesi, kompetensi, standar layanan, majelis “peradilan” etik, pendidikan dan latihan, perizinan (lisensi), mekanisme pengawasan, dan lain sebagainya. Karena itu, memisahkan MKEK dari IDI sama halnya dengan isu hendak memisahkan MKKI dari IDI. Mirip pula seperti hendak memisahkan MKDKI dari KKI. Artinya, kalau sesuatu organisasi tertentu memiliki kesamaan kepentingan tertentu, tidak langsung dan serta merta secara otentik memiliki justifikasi sebagai organisasi profesi. Sehingga menjadi penting untuk menjelaskan bahwa format dan struktur organisasi IDI saat ini sesuai AD/ART hasil Muktamar IDI adalah formula yang relatif sempurna dan otentik sebagai organisasi profesi dokter, yang anggotanya mencakup dokter umum maupun dokter spesialis-sub spesialis.
(9). Dalam mempersiapkan bahan-bahan untuk jawaban/keterangan pada MK dalam posisi sebagai Keterangan Pihak Terkait, maupun Keterangan Saksi dan Ahli, maka perlu disusun materi yang utuh agar saling mendukung dan saling membuktikan bahwa IDI sebagai organisasi profesi tidak tepat bahkan merugikan masyarakat dan pasien apabila dipisahkan dari kolegium kedokteran dan/atau MKKI, termasuk pula kewenangan menjamin kompetensi dokter dengan melakukan uji kompetensi untuk menerbitkan sertifikat kompetensi (Serkom) sebagai syarat mengajuan Sertifikat Kompetensi (STR) kepada KKI.
(10). Perihal salah paham mengenai adanya ujian yang berkali-kali dalam memperoleh sertifikat kompetensi (Serkom), hal itu mesti diluruskan dan ditangkis oleh karena sudah ada perkembangan bahwa pelaksanaan uji kompetensi dilakukan dengan mengintegrasikan Exit Exam dan Entry Exam. Hal mana terdapat berbagai dokumen dan ketentuan yang bisa dipakai sebagai bukti-bukti surat yang diajukan ke MK. Beberapa dokumen yang bisa diajukan sebagai bukti-bukti surat yang akan diajukan antara lain:
• Permendikbud No.30 dan perubahannya;
• Nota Kesepahaman antara PB IDI dengan Kemendikbud;
• Kesepakatan Bersama Sekjen PB IDI dengan Dirjen Dikti;
• Buku Panduan Uji Kompetensi;
• AD/ART IDI;
• Contoh keputusan MKKI, MKEK, MPPI;
• Dokumen pelaksanaan UKM PPD;
• Pakta Integritas kolegium dan perhimpunan dokter spesialis, dan
• Dokumen lainnya.
Dalam hal menyusun fakta integritas, perlu memasukkan bukan hanya materi komitmen dan keputusan yang menyatakan sudah tepat dan beralasan serta menyatakan dukungan untuk tetap berada dalam “satu tubuh” sebagai/dalam IDI. Akan tetapi disarankan perlu mendeskripsikan dalam 2 atau 3 paragraf apa filosofi dan justifikasi perihal pentingnya kolegium kedokteran, perhimpunan dokter spesialis maupun fungsi penyusunan standar kedokteran tetap berada dalam satu kesatuan dengan Organisasi Profesi cq. IDI. Tabik. (Bersambung #6)