Rame Mas?: Mental Gerombolan
TRANSINDONESIA.co | Menjadi anggota kelompok atau organisasi, atau institusi yang memiliki kewenangan hukum, administrasi, apalagi senjata ada sikap superior. Bahkan grup atau kelompok kemasyarakatan yang punya anggota cukup besarpun akan merasa lebih dibanding wsrga lainnya.
Bahkan kelompok preman yang ditakutipun biasanya lebih ugal ugalan dan bisa lebih sewenang wenang. Manusia mahkluk sosial dalam posisi apapun tatkala gerombolannya atqu kawanannya sedang di atas angin atau naik daun, maka sadar atau tidak, para cantrik, anak buah sampai bedinde bedindenya biasanya songong tidak sebatas sombong.
Demikian halnya dalam posisi birokrasi. Tatkala aman nyaman biasanya juga ugal ugalan, kroniisme, koncoisme seakan pung nak pung no ( mumpung penak mumpung ono ).
Tak kalah sangarnya para kaum makelar, kaum broker ini bisa memainkan perannya. Tak hanya itu, bisa juga memutar balik fakta bahkan ikut menghakimi. Di semua lini seakan menjadi pasar, ajang jual beli.
Dari pasar nilai, pasar ranking, pasar jabatan, pasar keadilan, pasar proyek, dsb. Di dalam pasar biasanya ada preman. Para preman ini menguasai alur dan jalur. Para ndoro sikapnya seperti pontius pilatus, tidak mau kotor, mau bersih. Mereka akan terus meminta dan memberibtarget namun cuci tangan. Para broker, menangguk kesempatan dalam kesempitan. Semua dilihat mana ada celah langsung dihajar. Dikuasai sampai dipathokinya.
Mereka paham bagaimana ndoro senang dan ndoro tenang. Mereka memiliki struktur juga dan bertingkat tingkat dalam menguasai ladang pengaritan dan pemathokan. Kaum yang merasa mapan dan nyaman akan memanfaatkan waktu semaksimal bisa dan semaksimal mungkin memberdakan kesempatan.
Tatkala ganti ndoro bisa saja masa keemasan yang meruoakan masa keenakan berubah total. Jaring jaring kuasa memang dimaksimalkan dan digunakan sebaik dan sekuat kuatnya. Ibarat katak nelan sapipun dilakukan.
Birokrasi yang patrimonial, akan terus begitu dari masa ke masa. Saling balas saling libas. Siapa tidak ikut akan jadi penonton, bagai pungguk merindukan bulan. Menonton menunggu hingga dirinya kelelahan pasrah dan membatu di situ. Mereka seakan para gerombolan mendatangi lokasi judi atau likalisasi.
Dengan modal bertanya: “rame mas?” Sudah akan disangoni sana sini. Mereka memposisikan sebagai malaikat pencabut nyawa. Merasa paling benar. Paling suci. Paling berbudi luhur. Paling tahu segalanya, walau semua ada yang membuatkannya dan ia cukup membacanya. Walau terbata bata dengan bapak dua, ibu dua, asswrwb semua dimaafkan dan terus dibanggakan.
Entah sampai kapan menunggu kewarasan tiba? Jawabannya hanya :” mbuh”, ya tunggu saja entah kapan bukan urusan kita. Walau menunggu menjadi suatu pekerjaan yang membosankan, memilukan, namun setidaknya masih ada harapan.*
101122 senja Tegal Parang
Chrysnanda Dwilaksana