Tentang Waktu (Catatan Dari Hotel Karantina Hari ke Empat)

TRANSINDONESIA.co | Hari ini hari ke empat aku di Karantina. Sudah mulai hilang jetlag. Tidur cukup. Ukuran suhu badan yang dikontrol hotel setiap pagi normal 36°c. Sudah hari ke-5 sejak test PCR sebelum keberangkatan. Saat ini saya ingin menyumbangkan pikiran lagi tentang “waktu”. Ini tidak berkaitan dengan Karantina, tapi Karantina ini membuat saya harus beraktifitas, yakni menulis.

Aku ingin berdiskusi atau menjelaskan tentang waktu karena ada beberapa hal, pertama istriku, juga via WA ketua RW kompleks aku tinggal dan juga seorang teman SMA dulu, mempertanyakan, “kenapa aku menyatukan waktu Sholat” atau di jama’. Bukankah aku sudah di Jakarta? Kedua, ketika aku ketemu dengan sepupu mertuaku di Groningen, usianya hampir 70 tahun, meyakinkan aku tentang rencana hidupnya ke depan selama 20 tahun berikutnya. Ketiga, bagaimana aku mengetahui tujuanku ketika naik bus dan kereta api dengan melihat satuan menit ketibaan. Keempat, bagaimana istriku bisa dapat ucapan ulang tahun dua kali pada waktu yang sama, di atas udara Singapura dan di atas udara sebelum tiba ke Belanda, pada waktu/jam yang sama.

Untuk yang pertama saya uraikan di atas adalah hubungan waktu dan keyakinan. Yang kedua berkaitan dengan prediksi usia hidup (life expectancy) dan rencana hidup. Yang ketiga terkait modernitas dan efisiensi. Dan keempat terkait filosofi waktu.

Dalam Karantina 10 hari ini saya dikurung dalam hotel dengan asumsi bahwa saya termasuk yang mempunyai probabilitas membawa coronavirus ke Indonesia. Dikurung artinya mirip di penjara. Bedanya pada saat di penjara lalu, saya di bawah tanah selama 10 bulan, sedangkan ini bisa melihat apartemen/ gedung di seberang hotel. Persamaannya adalah saya kehilangan konsep atau esensi soal waktu.

Dalam menempatkan waktu dan keyakinan, seperti urusan Sholat di Jama’ (disatukan waktunya), Islam mengatur waktu Sholat Jama’ dengan satuan jarak dan waktu. Satuan jarak adalah perjalanan sekitar 80 KM. Sedang satuan waktu terkait dengan kedaruratan seseorang. Orang sakit misalnya mempunyai masalah dengan waktu yang dikaitkan dengan kekuatan fisiknya atau mental. Di penjara atau seperti di Karantina ini mempunyai konsekuensi kedaruratan, karena mental seseorang mengalami gangguan. Pengurangan atau pembatasan kebebasan seseorang membuat adanya “mental disorder”. Suatu hari saya bertanya pada guru ngaji saya, dahulu, namanya Dr. Imaduddin Abdurrahim, salah seorang pendiri Masjid Salman ITB, tentang “apakah saya boleh menjamak atau meng Qashar sholat ketika nyetir dalam kemacatan di Jakarta?”. Dia menjawab boleh.

Dalam Mazhab Maliki, yang dianut teman saya ketika di penjara terkait pasar muamalah Dirham (emas), Zaim Saidi, penyatuan waktu Sholat menurut mereka dapat disatukan sekaligus dari Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya dalam hal mana terjadi keterpaksaan atau misalnya seseorang ketiduran sepanjang siang malam. Sholat Jama’ dilakukan ketika seseorang bangun dari tidur atau lepas dari kedaruratannya.

Kedua, kita akan berdiskusi tentang orang lansia di Belanda. Perempuan senior yang saya temui di Belanda dalam cerita ini, mengajak kami bertemu di restoran vegetarian, di pusat kota Groningen. Dia baru saja pensiun lebih awal, sebulan, pas ketemu November lalu. Pada usia ke 69, dia menceritakan tentang apa yang harus dia kerjakan dan berbagai kesibukan untuk hidup selama 20 tahun lagi.

Dia berencana membuka terapi alternatif, menjalani “kehidupan” Buddha, merenovasi rumah, menghabiskan waktu membaca buku, dan lain sebagainya. Dia pernah bersuami dengan orang Afrika, sekarang hidup sendiri dan mempunyai kecurigaan bahwa lelaki yang ingin mendekati dia, kebanyakan untuk mendapatkan uangnya. Dia mau hidup sendiri selanjutnya, dan Vegetarian. Juga, tidak mau minta subsidi negara.

Fenomena lansia, perempuan, hidup sendiri akan menjadi tantangan bagi negara-negara yang mempunyai harapan hidup yang semakin tinggi. Indonesia sedang mengalami hal yang sama di berbagai kota besar. Semakin banyak lansia yang sehat. Persoalannya di Indonesia ada istilah janda, untuk perempuan, sehingga membuat seseorang kesulitan membangun perencanaan, jika dibandingkan di Belanda, yang tidak ada streotif janda. Kedua konsep hidup di Belanda berdasarkan rasionalitas yang independen terhadap keberadaan Tuhan. Lansia tidak memikirkan hidup setelah mati, di sana.

Pada saat bertemu dengan perempuan itu, saya dan istri mengantar dia mengambil alat perbaikan ban sepeda, ke apartemen dia. Apartemen itu cukup elit untuk ukuran Groningen. Kami kembali ke pusat kota (centrum) di mana dia harus memperbaiki ban sepeda, secara sendiri. Dia akan pulang dengan bersepeda 30 menit dari kantornya. Artinya dia minimal bersepeda satu jam sehari jika bekerja, begitu sehatnya.

Prediksi waktu hidup adalah khas dunia modern. Itu dicatat WHO setiap tahunnya. Sebuah dunia yang penuh rencana hidup. Dalam konsep fatalistik, semuanya diserahkan pada Tuhan Sang Pencipta Alam. Takdir, katanya. Orang-orang barat yang mayoritas tidak percaya tuhan mempunyai keunggulan dalam sisi tertentu, seperti keinginan yang kuat untuk bertahan hidup dan dalam umur yang panjang. Namun, di sisi lain mempunyai tantangan spritual, sosial dan ekonomi yang penuh teka-teki kedepannya. Usia resmi pensiun di Belanda saat ini adalah 67 tahun. Ini sebagai jalan keluar terhadap pengurangan beban ekonomi subsidi populasi lansia.

Di Indonesia orang-orang lalu berpikir akan menjalani kehidupan agama setelah pensiun. Usia pensiun 56 tahun. Mereka mulai berpikir kematian. Rajin beribadah. Memang, beberapa orang yang masih ingin berkuasa atau berbisnis, tetap berusaha hidup lama untuk urusan dunia. Namun, di Indonesia dimensi waktu dan keyakinan agama mempunyai korelasi yang kuat. Apakah ini peluang atau tantangan?

Kembali, misalnya di Belanda, dengan tidak ada istilah janda tadi, mereka terbebas dari stigma kehidupan kesendiriannya. Batasan sosial untuk melakukan aktifitas tidak terjadi. Apakah itu mungkin bisa nantinya menjadi acuan, jika usia lansia Indonesia semakin panjang? Ataukah sebenarnya usia panjang tidak perlu direncanakan jika kita percaya ketentuan waktu hidup ada ditangan Tuhan?

Perihal bahasan ketiga adalah soal waktu dan efisiensi. Mungkin ini bukan kisah baru di Belanda, atau negara maju lainnya. Ketika saya naik kereta api dari Leiden Central ke Kota kecil Zuid-Soest, pinggiran Utrecht, dengan aplikasi 9292, saya mendapatkan prediksi waktu sampai ukuran menit. Saya coba membiasakan tidak melihat layar kota kereta api berhenti, baik transit di Utrecht maupun ke Soest Selatan. Saya cukup dengan satuan menit dari jam kereta tiba. Begitu juga naik bus, saya tidak pusing dengan layar halte bus, melainkan menit waktu yang ada di handphone. Selalu berhasil.

Di Jakarta kereta komuter Jabodetabek sudah berusaha memberikan pelayanan dalam satuan menit, begitu pula Trans Jakarta. Namun, mengatur ketepatan waktu dari sebuah titik keberangkatan ke titik tujuan terhalang oleh konektifitas transportasi yang ada. Jika seseorang ingin memarkir mobilnya di stasiun kereta api, satuan waktu menuju stasiun kereta api tergantung kemacetan jalan dan ketersediaan parkir di stasiun. Saya selalu mengalami kesulitan parkir dari rumah saya di Depok, jika harus naik kereta api, mengejar waktu ke Jakarta. Harus mencari parkir di pondok Cina atau Lenteng Agung, biasanya penuh. Fasilitas parkir seperti ini sudah ada di Belanda sejak puluhan tahun, setidaknya ketika saya tinggal di sana pada tahun 1993-1995. Saat ini berbagai perusahaan parkir malah sudah membuat parkir basement di berbagai titik di kota-kota Belanda. Saya sering memikirkan itu agar ada  di stasiun Universitas Pancasila, sisi belakang, misalnya, untuk 1000 mobil.  Di Indonesia kalau memanfaatkan parkir basement hotel tentu sangat mahal tarifnya.
Parkir motor mungkin sudah terfasilitasi di Indonesia, khususnya oleh masyarakat biasa disekitar stasiun kereta.

Selain itu, cakupan jalur transportasi publik dengan konteks waktu yang terukur, terbatas ruasnya. Jalur Transjakarta mungkin hanya ada di sepanjang Thamrin-Sudirman dan Kuningan-Ragunan. Tanpa jalur busway, mengukur jarak dalam satuan waktu tidak gampang lagi.

Apakah cerita ini masih menjadi penting buat kita? Sejauh apa kita butuhkan?

Ini tergantung dari keyakinan kita atas modernisasi yang berbasis efisiensi.

Satuan waktu terhadap produktivitas, dalam dunia modern, menjadi ukuran utama. Adik istri saya yang menjadi direktur keuangan di sebuah perusahaan logistik (Air Cargo) berbasis di Schiphol, mengajak saya tour melihat efisiensi kerja di Warehouse Cargo di sana. Dalam masa Covid ini, kegiatan logistik hampir pulih. Banyak pesawat penumpang dipakai untuk cargo. Diakhir tour dia bercerita padaku akan menambah tingkat otomatisasi usaha logistik ini. Saya sedikit terdiam. Lalu dia berkata “Ya, selalu ada problem antara mempertahankan ketersediaan lapangan kerja dengan efisensi”. (Mungkin dia ingat saya adalah pengurus organisasi buruh).

Otomatisasi yang ada di sana mungkin sudah hampir sempurna. Dengan luas gudang 40.000 m2, dikerjakan hanya beberapa orang, tentu berbeda dengan penanganan logistik diberbagai pelabuhan, misalnya, ketika saya menjadi komisaris Pelindo 2, beberapa tahun lalu. Bagaimana nasib buruh pelabuhan kita jika efisensi hampir total benar-benar dijalankan?

Begitu juga di Belanda, hampir semua pusat ritel mirip Indomaret menyediakan lebih banyak line untuk pembayaran tanpa orang. Kita hanya perlu men scan barcode sendiri dan bayar sendiri. Jika itu terjadi di Indonesia apakah pengangguran akan bertambah?

Di Indonesia orang-orang banyak mengatakan kita hidup dalam sistem “jam karet”. Tapi kita juga faktanya hidup dalam waktu yang tidak memisahkan kalimat “past, present dan future”. Orang-orang Belanda dan barat melihat waktu versus change secara terukur ketat dan dalam rentang waktu yang berkelanjutan. Waktu menggerakkan manusia, bukan manusia yang mengontrol waktu.

Kesibukan manusia di Barat membawa kemajuan peradaban mereka, berupa hidup yang sehat dan bahagia. Setidaknya dalam indeks kesehatan dan kebahagiaan versi barat atau yang sering dibuat sebagai referensi internasional.

Di Indonesia dengan jam karet dan penuh ketidakpastian, peradaban kita terlihat terkebelakang. Pemimpinnya sering berjanji dengan prediksi waktu, misalnya “ekonomi meroket” dalam bulan x, namun waktu berlalu, janji itu tinggal janji. Masyarakat kita juga biasa dengan jam karet, tidak membuat referensi berdasarkan waktu menjadi penting, sehingga tidak marah dengan janji palsu. Karena satuan waktu dalam ukuran tidak jadi sandaran. Para perencana negara juga tahun demi tahun meng “copy-paste”, tidak jelas kapan evaluasi dan kapan perencanaan, sebab kita biasa dalam hidup tanpa “past tanse, present dan future”.

Orang-orang yang digerakkan waktu belum tentu juga akhirnya hidup bahagia. Adik ipar saya harus mengurus club bola VVSB dan memperbanyak liburan untuk membuat hidup yang seimbang, antara kerja dan sosial. Banyak juga pekerja senior di Belanda memulai kerja sosial, beberapa hari dalam sebulan. Mereka senang stressnya berkurang dengan aktifitas sosial itu.

Indonesia tentu harus menghargai waktu. Orang-orang Islam yang mayoritas, mungkin lebih banyak Sholat dengan surat Al Ashar, dengan kalimat yang Allah di ayat pertamanya bersumpah: “Demi Waktu”. Artinya waktu sangat penting. Hanya persoalannya antara waktu dan “change” kebanyakan penganutnya Platonis. Plato dan Newton, dalam Stanford Ensiklopedia, menjelaskan waktu itu independen, terpisah dari perubahan (change) ataupun gerak/peristiwa. Time is Time kata mereka, seperti space/ruang. Ini perlu pertimbangan, apakah kita harus masuk dalam budaya yang digerakkan waktu atau menjadi Platonis atau di antaranya?

Cerita keempat saya terkait waktu adalah ulang tahun istri. Pada saat dia ulang tahun 7/11 lalu, pesawat kami berada di atas Singapura, baru saja take off, lanjut penerbangan. Itu jam 12 malam lebih. Pramugara yang ramah membawa kado, mengucapkan selamat ulang tahun. Lalu, dia melanjutkan, nanti sebelum sampai Belanda mereka akan datang menyampaikan selama ulang tahun lagi. Peristiwa ini membuat saya merenung tentang waktu dalam kajian filosofis. Benarkah waktu itu ada? Atau sekedar ciptaan? Benarkah waktu itu seperti kata Aristoteles hanya ada jika dikaitkan dengan peristiwa/event? Kenapa Plato berbeda dengan Aristoteles? Kenapa istriku setelah ulang tahun di atas Singapura, kembali waktunya belum berulang tahun ketika menuju arah Belanda?

Renungan saya antara lain, pertama Habib Rizieq ketika ceramah agama di penjara Bareskrim tentang Nabi Muhammad Isra’ dan Mi’raj, menjelaskan soal pertemuan Muhammad dengan Nabi-nabi terdahulu dalam perjalanan ke langit. Lalu, bagaimana dimensi waktu antara pertemuan itu dengan kematian para nabi terdahulu?

Kemudian, cerita lainnya, suatu hari dahulu, guru ngaji saya meyakini doanya agar pencuri yang datang ke rumahnya tidak mengambil barang penting, itu terjadi. Masalahnya, pencuri itu datang dan pergi sebelum doa itu ada. Alkisahnya anak guru saya memberitahu dia via SMS/WA tentang kejadian pencuri itu datang, padahal sang guru sedang bersiap Sholat Jum’at di sebuah Masjid. Lalu guru saya, sehabis Jum’atan berdoa, agar pencuri itu gagal mencuri. Nah, pencuri itu memang sudah gagal mencuri barang penting. Itu katanya adalah hasil doa.

Habib Rizieq adalah doktor dan guru ngaji saya adalah alumni dan kandidat doktor di kampus papan atas. Dimensi waktu menurut mereka berbeda dengan apa yang kita ceritakan di atas. Waktu menurut Habib Rizieq dimensinya Ghaib, bukan irasional tapi beyond-rasional. Sedangkan guru ngaji saya tersebut yakin bahwa waktu dalam dimensi kekuasaan Allah tidak harus dalam arah (time direction) manusia.

Ada 12 teori tentang waktu yang diringkas Stanford Ensiklopedia. Terlalu rumit untuk menguraikannya di sini. Dalam penjara di bawah tanah maupun dalam Karantina 10 hari saya berusaha bertahan dengan waktu yang berjalan. Di penjara saya membiarkan waktu dan saya secara terpisah. Saya tidak mengerti siang dan malam. Memang khusus untuk Sholat, saya berusaha ada waktunya, namun selebihnya bagaimana tubuh beradaptasi saja.

Allah menjadikan siang dan malam sebagai bagian pertanda waktu. Manusia telah membuat waktu dalam perspektif Aristotelian. Sekarang bagaimana kita membuat waktu berkorelasi dengan kemajuan peradaban kita. Biasakah kita punya cara yang tepat? Tidak jam karet, tidak gampang umbar janji palsu, tidak korupsi waktu, tapi juga tidak dikendalikan waktu.*

Demikianlah. Salam dari Hotel Karantina

(Dr. Syahganda Nainggolan)

Share