Ideologi Nasionalis-Religius Spirit Persatuan dan Perdamaian

TRANSINDONESIA.CO | Dinamika peradaban dunia berkembang begitu pesat dengan idiologinya yang dimiliki, kita sebagai bagian dari umat peradaban tersebut harus mampu menalar secara kritis atas kebenaran dari idiologi-idiologi yang di bawah oleh peradaban yang berkembang saat ini. Walaupun pada dasarnya idiologi dibangun sebagai view of life (pandangan hidup), namun diera ini idiologi kadang menjelma menjadi sesuatu yang diorentasikan untuk dapat mempengaruhi manusia demi memenangkan peradaban.

Kemenangan idiologi adalah sesuatu hal yang diinginkan sebagai bentuk entitas yang unggul demi mengkooptasi peradaban yang ada di dunia, segala macam teori dibangun sebagai bentuk afirmasi idiologi, agar idiologi tersebut bisa diterima publik dunia. Penerimaan inilah sebagai bentuk legitimasi dan proses untuk mengkooptasi peradaban yang dimenangkan agar penguasaan yang diinginkan bisa berjalan sesuai target.

Dalam pandangan Ali Harb bahwa berkembangnya idiologi sebagai spirit dari peradaban terdapat kepentingan pengetahuan di atas pengetahuan, meskipun idiologi itu sendiri menyimpan subtansi kebaikan. Idiologi juga dibangun atas dasar kesadaran dan mengendepankan pengetahuan rasional, namun dalam
menjadikan sebuh paham, idiologi juga tetap membutuhkan legitimasi, misi tersebut menjadikan idiologi tetap menyimpan kepentingan, untuk itu Ali Harb tetap menyerukan agar nalar kritis tetap harus diaktifkan demi melihat secara utuh dan komprehensif tentang idiologi.

Dinamika peradaban sekarang sudah menemukan bentuknya untuk saling mempengaruhi. Dalam realitasnya kompetisi idiologi cenderung saling menegasikan antara satu dengan yang lainya, misal; antara sosialis dengan kapitalis, antara komunis dengan Islam dan begitu pula idiologi lainnya. Idiologi yang semestinya dijiwai demi kebaikan universal, kini malah menjadi instrumen propaganda untuk saling
mendiskreditkan dan memunculkan benturan peradaban (the clash of civilization).

Dalam buku (the and of history and the last man) Francis Fukuyama mengatakan sejarah telah berakhir dan peradaban dimenangkan oleh idiologi kapitalis dan demokrasi liberal dengan ditandai runtuhnya tembok
berlin di Jerman dan pecahnya negara Uni Soviet, namun dalam realitasnya kemenangan sistem kapitalis tidak menemukan arti sepenuhnya tentang berakhirnya sejarah (bahwa penguasa tunggal tidaklah kapitalis dan demokrasi liberal), diawal abad 21 ini justru banyak muncul kekuatan baru dengan idiologinya yang menjadi energi besar, sebagai penyeimbang atas kekuatan kapitalis. Di antaranya Cina, Rusia, Iran, dan lain-lainya. Artinya dinamika peradaban masih begitu dinamis dengan segala kepentingannya.

Goncangan peradaban masih sering kita saksikan dimuka bumi ini, fenomena benturan antar peradaban
masih sering kita saksikan, di antaranya perang antara Israel dan Palestina, bahkan di era digital ini perang telah mengalami mutasi yang awalnya perang militer sekarang berubah menjadi perang ekonomi, perang dagang dan akhir-akhir ini perang biologis (Covid-19).

Ramalan seperti yang ditulis oleh Francis Fukuyama dalam buku “the end of history and the last man”, bahwa dengan selesainya perang dingin yang dimenangkan kapitalis dan demokrasi akan memunculkan perdamaian dunia ternyata masih menyisakan ifinitas-ifinitas kultural, suatu kesamaan budaya yang menyatu dan bisa menjadi sebuah kekuatan yang baru dan berkonsekwensi pada benturan peradaban.

Berakhirnya sejarah dengan kemenangan yang berpihak kepada kapitalis dan demokrasi dengan segala kebaikan yang dimilikinya, kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mampu membendung perubahan idiologi yang masih menyisakan residu terjadinya benturan peradaban. Selain dipicu oleh perbedaan idiologi
benturan peradaban menurut Samuel P. Hungtinton terjadi juga karena kekuatan ifinitas (kesamaan budaya)
yang menyatu dan membuat kekuatan baru. Kekuatan baru yang timbul karena memiliki kesamaan kultur
juga dinilai sebagai pesaing baru dalam konstalasi global. Persaingan antar umat manusia di era globalisasi
sampai era digitalisasi seolah membenarkan teori plato tentang tabiat manusia, plato berpandangan bahwa pada dasarnya kelompok manusia memiliki instrumen berupa thymos gairah atau hasrat untuk diakui dan ingin menguasai sehingga hasrat ini yang memicu terjadinya peperangan.

Di dalam negeri pun juga mengalami hal yang sama, benturan-benturan idiologi semakin hari eskalasinya
semakin menguat, yang mengakibatkan pembelahan atau disparitas sosial. Benar apa yang dikatakan Fukuyama dalam bukunya yang berjudul identity bahwa kelemahan yang diakibatkan kapitalisme liberal adalah berubahnya spektrum idilogi besar dunia antara blok kanan yang mengkampanyekan (kebebasan, demokrasi dan rational choice), dan blok kiri yang mengkampanyekan kesetaraan kelas.

Di abad 21 ini mereka (dua spektrum idiologi besar) sudah tidak berbicara lagi tentang kapitalisme dan sosialisme, spketrum idiologi besar dunia tersebut sudah bertransformasi pada politik identitas yang blok kanan cenderung berbicara tentang etnis, ras dan suku. Sedangkan blok kiri yang dulu kampanye tetang kesetaraan ekonomi yang tidak adil sekarang berubah cenderung berbicara pada kaum yang dianggap minoritas
seperti gender, LGBT, feminisme, dan lain-lainya. Hal tersebut yang menimbulkan kohesi sosial dan memudarnya rasa kebangsaan dan nasionalisme menjadi tidak lagi otentik.

Dengan merebaknya berbagai idiologi dan politik identitas, sebagai anak bangsa juga harus memiliki pondasi
dan pedoman yang kuat agar tidak terombang ambing dengan dinamika dan propaganda-propaganda yang
dimainkan lewat media. Sudah pernah dikatakan oleh Noam Chomsky bahwa media yang seharusnya sebagai pilar demokrasi dan alat kontrol kini berubah peran sebagai alat propaganda, selain itu chomsky menegaskan bahwa siapa yang menguasai media merekalah yang memenangkan propaganda yang
diciptakan.

Untuk itu agar kita terhindar dari propaganda kita harus memiliki kesadaran kritis dan kesadaran nasionalis. Selain untuk mengcounter propaganda dari berbagai idiologi dan kepentingan, membangun kesadaran
Nasionalis dilakukan juga demi menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. jika kita flasback pada historikal perjuangan bangsa yang begitu berat melawan kolonial, kita akan sadar bahwa sebagai anak bangsa harusnya memiliki rasa nasionalis sebagai pegangan dan prinsip perjuangan.

Bangsa ini dibangun atas dasar kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita sehingga refleksi dari itu
mewujudkan sebuah negara (Negara Bangsa). Rasa nasionalisme yang dibangun oleh para pejuang harus
terus kita semai agar subur dalam sanubari kita, nilai kebangsaan kita harus dilestarikan demi mewujudkan
cita-cita bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka dan beradab, tentunya nasionalisme yang kita bangun
bukan nasionalis chauvinisme atau mencintai negaranya dengan berlebih-lebihan yang berakibat anti
terhadap bangsa lain. Perasaan senasib dan sepenanggungan bangsa kita harus mengalahkan perbedaan
etnik, budaya dan agama, demi menjaga keragaman untuk persatuan (diversity of unity).

Nasionalisme dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Nasionalisme adalah
kesadaran bernegara dan berbangsa. Menurut Benedict Anderson Nasionalisme bukanlah sekedar
instrumen yang berfungsi sebagai perekat kemajemukan secara eksternal, namun juga merupakan wadah yang menegaskan identitas Indonesia yang bersifat plural dalam berbagai dimensi kulturnya. Nasionalisme menuntut adanya perwujudan nilai-nilai dasar yang berorientasi kepada kepentingan bersama dan menghindarkan segala legalisasi kepentingan pribadi yang merusak tatanan kehidupan bersama.
Nasionalisme juga merupakan suatu perayaan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki nasib yang sama, sejarah yang sama dan cita-cita yang sama, atau keinsyafan rakyat sebagai suatu bangsa yang harus bersatu demi kemerdekaan, kemakmuran, kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Sedangkan kita sebagai anak bangsa yang berhaluan idiologi PANCASILA harus memiliki jiwa dan sikap
religius. Religius merupakan suatu sikap yang kuat dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama serta
sebagai cerminan dirinya atas ketaatannya terhadap ajaran agama yang dianutnya. Sikap religius diperlukan untuk membangun atitut yang baik di rana sosial, selain itu sikap religius juga mampu menghadirkan kesolehan sosial. Kesolehan sosial merupakan sikap atau perbuatan yang dilakukan secara sopan santun, ramah, tangung jawab dan memiliki dampak positif serta berkelanjutan.

Bila manusia memiliki, baik pengetahuan maupun sikap religi yang kuat manusia tersebut pasti akan menjadi tauladan (Uswah) bagi masyarakatnya, kebaikan-kebaikan universal yang ada dalam agama harus diamalkan demi kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara ini. negara kita masih membutuhkan banyak manusia-manusia teladan (the great people) untuk bisa menuntun negeri ini menjadi negeri yang lebih baik, makmur, sejahtera dan sentosa. Religi sendiri memiliki peran penting dalam menata tatanan individu dan
sosial bahkan religi juga bisa memberikan solusi atas problematika diberbagai bidang, maka religi menjadi penting untuk sebuah pegangan dalam kehidupan.

Selain Pancasila sebagai idiologi Bangsa dan Negara kita. Nasionalisme-religius juga memberi afirmasi yang kuat dalam menjaga kesatuan dan perdamaian di negeri ini. Nilai kebaikan universal yang ada dalam Nasionalis-religius harus diaktualisasi agar negeri ini selamat dan terhindar dari skenario negatif dan berbagai propaganda yang ada.

Oleh; Qomaruddin SE. M.Kesos. Biro Departemen V DPP Partai Demokrat.

Baca juga: TIGA PRIODE BENTUK DARI FROZEN DEMOKRASI

Share
Leave a comment