Dari Milad HMI ke 74: Durasi BerHMI Itu Pendek, Bersaudara-Cita ‘Yakusa’nya Panjang

TRANSINDONESIA.CO – Oleh: Muhammad Joni

Ceritanya,  tendensi dan ide esai kecil ini ikhwal   ‘Alumni  Menulis Alumni’. Rukun  merawat  tondi yang dipantik dari kerja cerdas (dan ikhlas sinonim rahasia! –ikhlas adalah satu rahasia, dari Hadist Qudsi) melakoni sistem perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Juga, mengkulturkan ‘yakin usaha sampai’ –bait pertama himne HMI–  sebagai etos, dan  merawatkan  nasab sosial  persaudaraan-cita  jaringan alumni HMI.

Selebihnya, ‘Alumni Menulis Alumni’ (“AMA”) untuk menarasikan alkisah juang kemaslahatan yang tak tercatatkan. Menuliskannya sama dengan mengabadikan mata pelajaran kebaikan.

BerHMI adalah idemditto berIndonesia. Bersaudara-cita se Indonesia, dalam kredo dan kode ‘yakusa’ –akronim yakin usaha sampai.

HMI adalah gambar besar.  Sebesar nasab sosial dan persaudaraan-cita  jaringan  HMI se Indonesia, organisasi yang didirikan 5 Februari 1947, dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Proklamasi adalah demarkasi merdeka dari penjajahan manusia kepada manusia, bangsa kepada bangsa, negara kepada negara. Dari HMI untuk Indonesia.

Gambar geliat perjalanan  HMI di Medan dapat diwakili dari dinamika Adinegoro Limabelas yang disingkat  Alimbas. Itu  markas  kedua  HMI  di  Medan setelah selamat pindah kantor  dari Jalan Selamat. Macam pindah “ibukota negara”  ya? Banyak tokoh strata nasional dan internasional  bertungkus lumus dari  “kawah candradimuka”  HMI cq. Alimbas.

Dalam gambar besar HMI,  sejarah tidak bisa menafikan Alimbas –yang tumbuh  pohon seri rindang di pekarangannya. Bukan asesoris dan pemanis,  pohon seri –yang konon menjadi kode prolingkungan HMI– menjadi aikon Alimbas.

Esai ini adalah monumen terimakasih kepada Alimbas.  Pun mengibarkan gagasan AMA,  langkah kecil  menghimpun  menuju  otobiografi bersama  para eksponen dan aktifis HMI Medan. Dari periode ke episode. Dari masa ke masa. Dari  pemikiran ke pemikiran (alumni) HMI.   Usah heran jika Alumni Alimbas  Dr. Azhari Akmal Tarigan  (AAT) menyebutnya “mazhab” HMI. Ijinkan patik masih menggunakan tanda baca petik (“). Patik merasa musti  menyelami (diving) nasab pemikiran AAT,  tamsil untuk tidak sekadar berenang (swimming) apalagi hanya kecimpung dan mencecahkan kaki saja. Itu jalan subyektif untuk meniadakan tanda baca petik pada diksi “mazhab” itu lagi.  Sosok nasab Alimbas yang lain, Dr. Ansyari Yamamah, yang membukukan ‘Islam Transitif’. Anak Tanjungpura putra Melayu Langkat itu pernah bertandang  dan menghantarkan bukunya kepadaku sebelum menuntut ilmu ke Selandia Baru.  Dari fakta itu, sangat patut dan cukup modal untuk menorehkan pikiran-pikiran besar alumni Alimbas dan menjejakkannya sebagai agenda AMA.

Ketupat Kurus tahan Kripik Pedas

Tak lama setelah peringatan milad HMI  ke 74,  pas 5 Februari 2021, profil kader HMI bermunculan pada akun media sosial dunia maya. Gambar  senada dan tagar #saya bangga jadi kader HMI, dan #Mengokohkan Komitmen KeIslaman dan Kebangsaan,  membahana jagat maya. Seakan dunia maya anak HMI punya.  Mengingat dan membangkit  memori kala berHMI, organisasi mahasiswa ekstra universiter yang terbesar dan tertua yang didirikan ayahanda Lafran Pane. Mengaktivasi tondi keIslaman dan kebangsaan.

Banyak gambar mental dan gambar diri situasi berHMI muncul lagi. Termasuk kader HMI Medan yang  digodok dari sistem perkaderan andal di Alimbas.

Masih dalam ufuk milad HMI, kader Alimbas menghimpun “gambar” alkisah berHMI.  Trio Editor Dr. M. Zahrin Piliang dan Isfan Dahrian, SE (keduanya mantan Ketum HMI Cabang Medan) dan Ahmad Arifin,  bertungkus lumus  mengeditori 60 kontributor alumni Alimbas ke dalam buku ‘Di Bawah Rindang Pohon Seri’ (“DBRPS”) setebal 484 helai halaman.  Termasuk kontributor alumni KOHATI (Korp HMI Wati) cukup dominan. Sayangnya  jajaran editor DBRPS nihil alumni KOHATI. Isfan, ijinkan saya  bersyukur keras dan bangga skala megah kepada buku DBRPS. Jurnalis senior Hasriwal Hasibuan mengapresiasi  resensi buku ini yakni sang penulisnya sendiri: Isfan Dahrian Nasution.

Ini alkisah Hadhy Priono. Salah satu kontributor buku DBRPS, yang menayangkan beberapa foto jadul miliknya setakat masih suasana  milad  HMI ke 74.   Aku lamat-lamat menatap foto lama yang dikiremkan Hadhy Priono, dia pendahulu saya di posisi Sekretaris Umum Badko HMI Sumateta Utara (1990-1992). Bagi kami tukar posisi  bukan soal,  jauh dari  isu kubu-seteru.  BerHMI itu pendek, bersaudara-citanya yang panjang. Infinity and beyond berHMI. Menjadi hari-hari panjang bertondikan yakusa.

Foto jadul milik Hadhy Priono itu sontak  menukarkan tatapanku padanya. Foto Hadhy itu membalasku dengan serumpun inspirasi.  Aku tersentak merasa tak muda secara kronologis. Namun  bersyukur masih kuat  merawat  persaudaraan-cita  yakusa yang panjang dalam usia.Mengaoa? Ya..,  tersebab tabah bernasabkan HMI hingga kini.  Esai ini  cara sederhana berterimakasih pada Hadhy. Koq?

Begini alkisahnya. Hadhy Priyono, mari masuk ke kurun September 1988. Hari itu Ahad malam di pekarangan Alimbas. Dengan sebak rambut  terbiar, ku tengok memberi instruksi di kawasan  kuasa panitia yang dibatasi tapal imajiner setali rapia saja.  Cahaya malam tampak samar,  kurang neon agaknya. Hawa malam Hari ke-1 helat Latihan Kader 1 (“LK-1”) terasa agak panas naik ke kepala. Di pekarangan  dan dalam ruang student center Alimbas,  sistem dinamika terasa mulai bekerja  –yang baru patik pahami belakangan.

Atraksi Hadhy yang kenakan “baju panas” berhasil menyembunyikan rusuknya, tetapi tidak dehem batuknya. Entah mana yang dominan pada wibawanya: atraksi jemari atau dehemnya.  Apakah kata-kata atau intonasinya? Patik  tak bisa jelaskan, tak ada ide untuk menjawabnya.   Dia adalah Ketua Panitia (Ketupat) LK-1 HMI Komisariat FPIPS IKIP Medan,  4-10 September 1988.  Aku  peserta. Satu-satunya dari  HMI Komisariat Fakultas Hukum USU  –komisariat tua dan terbilang banyak kadernya.  Seakan LK-1 itu dibuatkan  Hadhy untukku. Peserta lain relatif lebih belia stambuk kuliahnya dari daku.

Hadhy sosok lelaki  lahir 21 Agustus  1964 itu tampak lebih muda dari usianya.  Mungkin karena otaknya afiat karena dioptimalkan bekerja.  Hadhy kurus tetapi pikirannya gendut. Kreatif ke-HMI-an  Hadhy terbilang berani, dan kokoh dalam berpendapat diri.  Dia tak takut sama api, spanduk juncto baliho bisa diajak bersaksi. Dia tak takut segala tipe kritik. Dianggapnya pedas-pedas enak macam makan kripik balado.  Klaim ini  membolehkan konfirmasi-dialog.  Hadhy, Ketupat kurus, aktifis dan kreatifis yang tahan kritik dalam beragam jenis bumbu. Mungkinkah ada mekanisme kerja “kulkas” di rongga kepalanya.

Aku kuliah kurus. Gak punya sepeda. Jurnalis santri A.Fuadi  yang menovelkan Pak Lafran dalam  judul ‘Merdeka Sejak Hati’ sukses besar  menarasikan  pak Prof. Lafran  Pane, yang  pergi mengajar ke kampus gowes sendiri sepeda.  Sepeda yang mewakili cara hidup sederhana adalah satu teladan pak Lafran. Itu teladan yang langka.  Kini, kurus dan gowes sepeda tak pernah jadul.  Malah semakin tren dan keren.

Muhammad Joni, Sekum Badko HMI Sumut (1990-1992), bersama Sugih Permono, Ketum HMI Cabang Medan, Nurul Azhar Lubis, Rafriandi Nasution, acara Rapat Kerja HMI Cabang Medan. [Transindonesia.co /Dokumentasi. HMI Cabang Medan]
Lafranian Tulen

Aku masuk HMI via ikut LK-1 karena mau gemukkan isi kepala, mencegah polio pemikiran,  dan mencari nasab-sosial organisasi mahasiswa liga utama: HMI, yang  dibaca ligat ‘hemi’.

Masuk ‘hemi’ bukan untuk dapat sepeda. Namun demi nasab dan episoda.  Masuk nasab ‘hemi’,  aku diajak orang besar. Besar intensitas postur badannya dan tone suaranya. Semangatnya jauh lebih besar lagi, namanya Bakhtiar Sinaga (S.H.).

Saat itu habis fardhu Jumatan, kurun awal  September 1988,  aku dan Bakhtiar  cau dari musholla Alladinsyah, S.H.. Kami   pergi ke Alimbas  naik kereta (sepeda motor)  Astrea entah punya siapa. Awak ontok duduk saja dibelakangnya. Aku seperti menggamit boneka kungfu panda menembus zig-zag jalan protokol kota. Duduk diboncengan kereta  sembari menyenderkan kepala –yang sedang bekerja imajiner menjawab kisi-kisi tanya senior instruktur yang akan mewawancara.  Yang  patik  strukturkan dalam memori  saja, seperti metode  “jembatan keledai” (ezelbruggece) yang dipakai sebagai cara mudah mengingat  ala  Tan Malaka, sang pahlawan nasional, dan pemberi nama republik Indonesia, sebelum Indonesia ada.

Sons, ada kausalitas yang tak pernah jadul antara aku dengan Hadhy, Bakhtiar  dan HMI.  Menurutku Tiar pun Hadhy itu sang Lafranian tulen. Epigon totok dari ayahanda Lafran yang idenya mendirikan HMI pada  5 Februari 1947  yang kala itu mengambil jadwal kuliah tafsir. Menurut hematku,  elan HMI  takkan jadul, buktinya bahkan  ada HMI di mancanegara: Maroko dan Kuala Lumpur.

Tafsirku, HMI relevan bahkan sesuai ingredien konstitusi ihwal mencerdaskan kehidupan bangsa.  Apa tafsir tak jadul HMI?  Postulat hukum-ku,  HMI itu setarikan nafas ide konstitusionalisme: mencerdaskan kehidupan bangsa, yang antitesis penjajahan kemanusiaan, dan menegasikan gagasan pemutlakan kekuasaan.  Menegaskan kemerdekaan itu hak segala bangsa.  HMI itu produk inspirasi pak Lafran, bukan sekadar kirka materil secara ilmu pengetahuan. Cernalah bait pertama himnenya: Bersyukur dan Ikhlas, yang kental nilai transendental.

Majelis pembaca. Kala  menengok satu foto lama Kongres HMI ke 17 Jakarta yang ada Bakhtiar dan delegasi Cabang Medan bersama pak Lafran,  ada sisi mirip  raut wajah Tiar dan ayahanda Lafran.  Soal mirip itu  cara masuk yang lumayan apik untuk menarasikan sekilas  alkisah  Bakhtiar, aku dan HMI.

Walau kami di kampus  satu stambuk 1985,  belajar sama, bergaul sama, acap berdebat panas sama, berberes melawan lumpur banjir bah di kompleks Pamen H-4 Padang Bulan juga sama, bangun dini hari dan pergi jalan kaki makan sahur antrian ke kedai pak Minto di kerongkongan jalan kompleks Pamen, kerap  sama.  Pokoknya kami satu frame episode dalam pengalaman sosial berjuang.  Anak juncto kader biologis (sons) penting membaca ini.

Namun periode berHMI  kami tidak kongruen sama dan sebangun.  Walau periode berHMI  berbeda, Tiar lebih awal ambil start, kami satu satuan simpul sebenarnya.  Aku  dengan sadar lebih memilih belakangan datang. Maklum kurus dan tak punya sepeda.  Tak soal agak terlambat direkrut,  digerendel dan menjadi anggota simpul.

Sama halnya dengan  cerita aku dengan Ketupat Hadhy.  Dia lebih dulu menjadi anggota biasa HMI.  Dia LK-1 pada 24-31 Januari 1988. Jangan-jangan kala masih SMA  sudah dibina  HMI. Hebatnya, sembilan bulan dalam kandungan HMI, Hadhy kemudian berkarier moncer  menjadi Ketupat LK-1. Medium aktualisasi  paska training formal yang berkelas,  dan peluang itu tak didapatkan sembarang orang.

Bagiku ber-HMI bukan periode formal tapi episode pengalaman sosial,  apakah satu, dua atau setengah periode, itu tak jadi soal. BerHMI adalah episode bukan periode. Kami bertiga pernah sama di Badko HMI Sumut 1990-1992 era Dr. Alwi Mujahit Hasibuan, yang menganut beleids “pintu terbuka”,  ya.. senyatanya membuka pintu  Badko, yang era pendahulu dan pendahulunya lagi,    acap pintu tertutup. Hematku, beleids “pintu terbuka” dari Alwi  juga kuat konsepsi organisatorisnya.

Episode bukan Periode 

Aku, Tiar dan  Hadhy pernah satu episode sekaligus se-periode. Walau alkisah cara masuk HMI dan ikut LK-1 berbeda-beda.  Dulu,   tempat atau cabang dimana ikut LK memang punya imaji, reputasi dan analisa tersendiri. Acap ditanya, LK-2 dimana?

Usai berHMI, aku dan Hadhy acap dalam satu misi. Hadhy membidani dan mengelola banyak media (Jami, TransIndonesia, Telusur, Dwipa TV Channel  –untuk menyebut beberapa saja), aku menjadi sumber berita. Entah sebagai advokat, Ketua MKI (Masyarakat Konstitusi Indonesia), eksponen The HUD Institute, ataupun kader HMI non partisan. Kami mereguk kopi gayo long berry di kawasan Menteng-Cikini, terkadang ada Alwi Mujahit Hasibuan, Julianto, Rahmad Sorialam Harahap, Hasriwal Hasibuan, Abdul Rasyid, Yun Ilman, Desmi L.Indrajaya dan lainnya. Tentu saja Advokat Zulchaina Tanamas, acap ikut serta.  Demi  merawat tondi perkawanan tanpa syak wasangka haluan politik yang dibela. Aku terus belajar kepada kreAtif dan beraninya intuisi Hadhy.

Ohya, bangga skala hebat awak menyaksikan Bakhtiar yang moncer dengan usaha pariwisatanya: Salsabila Hills di  Tigaras, situs yang indah alami menghadap danau Toba geopark kelas dunia versi UNESCO.  Alumni HMI sedunia elok datang ke Salsabila Hills sana, sembari napak tilas jejak Student Work Camp (SWC) HMI Cabang Medan dan Kemah Kerja Mahasiswa HMI Komisariat FH USU. Sudah lama ada jejak insan pengabdi kader HMI di  Tigaras, di tubir danau Toba. Soal ini harusnya bisa kita amalkan dan AMA-kan.

Jamaah HMI dan KAHMI yang bebahagia, mumpung masih bulan milad HMI,  walaupun peristiwa sejarah ber-LK  itu sudah 33 tahun dilampaui,     aku tidak  merasa  telat dan jadul  mengutarakan  salut dan terimakasih pada  saudara-cita  Hadhy Priono sang Ketupat  LK-1 FPIPS IKIP Medan. Juga,   Bakhtiar Sinaga  amangnya son  Indra S.H. –yang bagaikan mayoret marching band pembuka jalanku bernasabkan yakusa yang banyak kode dan  morsenya.

Walau subyektif  setelah lintas 33 tahun kemudian,  bagiku keduanya sosok Lafranian tulen,  karena keduanya tak pernah jadul ikhwal  tondi ke-HMI-an. Dibuktikan Hadhy sampai dengan memomong cucunya, dia tetap berani pada api semangat belia yakusa.  Dialog ini klaim subyektif, memang demikian adanya.  Itu catatan  disclaimer-nya.

Terimakasih Tiar yang  juga menghantarkan aku bolos KKN (Kuliah Kerja Nyata) nekat pergi ke stasiun ALS, go show dalam misi mengikuti LK-2 Jakarta Korkom UNAS  (24-30 Juni 1989), hanya sendirian dari Cabang Medan.  Padahal tiket tidak dalam genggaman, modalnya cuma surat mandat Camed  dan kredo ‘yakin usaha sampai’. Walau terpental-pental di jalan terjal  lintas Sumatera cq. Medan-Jakarta selama lebih 48 jam,  aku bisa lulus LK-2  dan  dapat bonus menjadi peserta terbaik pula.  Dulu di HMI Cabang Medan  ada plakatnya.  Semua itu tersebab  jasa baik yang tulus dan tulen dari  saudara-cita  Bakhtiar Sinaga,  Wakil Sekretaris Umum Bidang  PAO HMI Cabang Medan (1988-1989), yang  semangatnya tak pernah jadul dan menua.

Aki  Hadhy adakah ide bagus hendak meng-agah-agah cucu dengan boneka kungfu panda? Kurasa, Hadhy  adalah juara, karena dia lebih awal start bersiap menghantarkan cucu calon kader ikut LK,  ataukah sosok intan payong  Syawqi Abdurrahman Tsaqif  (lahir 29 Nopember 2020) sudah  dikader  Aki  Hadhy  bakal menjadi Ketupat LK mengikuti jejak Aki-nya? Mustinya lebih lagi.

Perlu kita ujarkan cara menuliskan sosok-sosok lainnya yang masih kader Alimbas dalam agenda AMA. Ahooi. Tabik.

 

*) Muhammad Joni, S.H., M.H. adalah Alumni HMI Cabang Medan,  Sekretaris Umum Badko HMI Sumut (1990-1992), sempat  Anggota Departemen Pembinaan Anggota  PB HMI era M.Yahya,S.H., kini  berkerja sebagai Advokat/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Wakil Ketua Badan Advokasi dan Perlindungan Konsumen DPP REI, Ketua Masyarakat Konstitusi Indoesia/MKI).

Share