“Tapi yang kita pedulikan adalah dipotret, masuk berita sampai dikenal sebagai baik dan dermawan”
TRANSINDONESIA.CO – Saudaraku, kita tidak perlu ragu untuk berbagi. Mengapa? Karena tidak mungkin kita jatuh miskin karenanya.
Pada surahal-Baqarah [2] ayat 261, diumpamakan tentang,”Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai. Pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas, Mahamengetahui.”
Jadi, seperti sebutir benih menumbuhkan tujuh tangkai, dan dari tiap tangkainya menghasilkan seratus biji. Tujuh ratus kali lipat. Tapi seharusnya kita malu menghitung seperti ini. Sebab selama ini saja kita pelit,tetap dicukupi oleh Allah. Ayo, gemarlah berbagi!
Namun, dalam berbagi kita juga harus tetap berhati-hati. Sebagaimana diingatkan dalam lanjutan ayat tadi. Bahwa, “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian dia tidak mengiringi apa yang dia nafkahkan itu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada diri mereka. Dan mereka tidak bersedih hati.”(QS. al-Baqarah [2]: 262-263).
Mari berbagi, tapi jangan menyakiti perasaan penerimanya. Contoh yang akan dikemukakan di sini mungkin sesuatu yang tidak asing di tengah-tengah kita. Untuk itu, perlu disampaikan di awal bahwa saya tidak bermaksud menilai siapa pun, baik yang di lingkungan Daarut Tauhiid maupun lainnya. Tapi mari kita menilai diri kita sendiri, agar kita tidak berbuat begitu.
Misalnya diumumkan, “Sumbangan anak yatim piatu. Kepada para anak yatim, silakan maju ke depan!” Maka dijejerkanlah mereka untuk diberi amplop dan disalami satu per satu. Dan saat difoto sambil mengusap-usap kepalanya, ditambahlah basa-basinya, “Apa kabar, nak? Bagaimana keadaan orangtua?” Anak yatimnya bingung, “Saya kan yatim piatu.” “Eh, maksud saya, orangtua tetangga.” Yang seperti ini amat zalim. Berbagi tidak pakai hati.
Atau, “Sumbangan untuk kaum dhuafa. Kepada bapak dan ibu yang paling miskin di RW ini, silakan ke depan!” Pergunakanlah perasaan kita. Betapa malunya dipertontonkan. Disuruh berdiri di panggung setengah jam, mendampingi kita bicara pesan dan kesan yang tidak penting, dan mereka pun cuma diberi sepuluh ribu. Ini benar-benar kezaliman.
Saudaraku. Yang begitu bukanlah berbagi, tapi mempermalukan dan menzalimi. Bukan memberi, tapi mengeksploitasi. Sebetulnya kita sama sekali tidak peduli terhadap mereka. Tapi yang kita pedulikan adalah dipotret, masuk berita sampai dikenal sebagai baik dan dermawan. Kita sebetulnya memanfaatkan mereka untuk peduli pada diri kita sendiri yang berhati miskin.
Masih banyak contoh serupa lainnya yang bisa dengan mudahnya terjadi. Mungkin kita pernah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan sibuk menyiapkan acara mempermalukan orang seperti tadi. Kemudian bangga mempublikasikan foto kita yang sedang berada dalam acara penzaliman orang tidak mampu.
Oleh sebab itu, sekali lagi ditegaskan, saya tidak bermaksud apalagi mengajak saudara menilai orang lain. Namunmari menilai diri sendiri supaya tidak melakukannya. Rabalah perasaan orang. Disebut dhuafa saja sudah tidak enak.
Kita sendiri juga bisa langsung emosi kalau dipanggil miskin, meskipun mungkin faktanya memang begitu. Apalagi kalau nama kita diumumkan dan disuruh naik ke atas panggung, dan foto penzaliman diri kita dipajang bertahun-tahun pada kertas berita dan internet. “Ini foto kakek waktu muda, ya? Kakek menang lomba apa?” tanya cucunya kelak.
Nah, saudaraku. Kita memang harus gemar berbagi sebagai wujud syukur atas karunia Allah SWT yang amat melimpah. Tapi jangan sampai dalam berbagi itu, kita malah menzalimi. Ketika ingin memberi, langsung saja lillaahitaala. Atau, kumpulkan uang diam-diam, dan diam-diam pula mengantarnya. Dan sampai di rumahnya tidak usah lagi berkata, “Ini dari saya, jangan bilang siapa-siapa ya.” Sudahlah, ikhlas dan berikan saja!
Sumber : Buku Ikhtiar Meraih Ridha Allah #2 karya Aa Gym
KH. Abdullah Gymnastiar