Selandia Baru Mulai Bahas Hukuman atas Penyerang Masjid

TRANSINDONESIA.CO – Sidang pembahasan hukuman bagi penyerang masjid di Christchurch dimulai. Warga Australia Brenton Tarrant mengakui membunuh 51 jemaah dan melukai puluhan lainnya. Di pengadilan, pria yang menyatakan diri sebagai pendukung supremasi kulit putih itu bertatap muka dengan keluarga beberapa korbannya.

Setahun setelah mengamuk dan melepas tembakan secara membabi buta di masjid, Brenton Tarrant mengaku bersalah membunuh 51 jemaah, dan melukai puluhan lainnya. Dalam sidang hari Senin, ia dituduh melakukan 40 percobaan pembunuhan dan tindakan terorisme.

Laki-laki Australia berusia 29 tahun itu sebelumnya membantah menyerang dua masjid ketika berlangsung salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru. Tetapi, kemudian mengakui perbuatan itu.

Sidang penetapan hukuman dimulai Senin dan diperkirakan akan berlangsung empat hari.

Tarrant diancam hukuman penjara minimal 17 tahun, tetapi Cameron Mander, hakim Pengadilan Tinggi yang menangani kasus itu, berwenang untuk memerintahkan ia dipenjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat – hukuman yang tidak pernah dijatuhkan di Selandia Baru.

Di pengadilan itu, lebih dari 60 orang akan menyampaikan pernyataan tentang imbas penembakan itu bagi korban. Untuk itu, sebagian telah datang dari luar negeri dan menjalani karantina Covid-19 selama dua minggu.

Di antara para korban adalah Hussein Al-Umari, usia 35 tahun. Adiknya, Aya, mengatakan ia ingin melihat langsung pembunuh kakaknya.

“Rencana saya adalah menatapnya langsung. Kita lihat nanti. Saya akan katakan bahwa apa yang telah dia lakukan malah menimbulkan efek sebaliknya. Oke, kamu telah membunuh kakak saya, tetapi Tuhan masih ada. Jadi, saya tidak tahu. Kita lihat nanti,” kata Al-Umari.

Kejahatan Brenton Tarrant menimbulkan gelombang duka di seluruh dunia. Banyak dari korban adalah migran dan pengungsi dari India, Somalia, Mesir, Suriah, dan Yordania. Korban termuda yang tewas adalah anak laki-laki usia tiga tahun.

Serangan itu mengerikan rakyat Selandia Baru, negara kecil berpenduduk lima juta orang. Rakyat di sana menganggap negara mereka selama ini sebagai tempat yang aman, jauh dari kekerasan ekstremis yang terjadi di bagian lain dunia.

Itu berubah pada Maret 2019. Pembunuhan itu mendorong pemerintah Selandia Baru melarang senjata semi-otomatis untuk militer yang digunakan laki-laki itu. [ka/ii]

Sumber : Voaindonesia

Share
Leave a comment