TRANSINDONESIA.CO – Seniman itu digaji Tuhan. Para penikmat dan pembelinya atau kolektornya merupakan utusan Tuhan untuk hidup tumbuhnya berkembangnya seni dan senimannya? Jawabannya singkat: “ya iyalah”.
Seni itu memerlukan hati dan rasa, jiwa dan indera yang menyatu dalam dialog yang terungkap dalam karya seni. S Sudjojono mengungkapkan sebagai jiwa ketok, di Bali dikenal sebagai taksu, pelukis Widayat mengatakan “greng”. Ini merupakan kedalaman penghayatan yang mendalam dalam suatu karya yang berupa kata cerita nada suara gerak dan rupa.
Seni tatkala tidak dijiwai dan dicintai tidak akan ada getaran jiwa dengan rasa. Seni memiliki nilai bahkan jiwa yang terhubung dlm imajinasi yang memiliki kedalaman. Seringkali karya seni dilabel hanya sang seniman dan Tuhan saja yang tahu. Walaupun kalimat itu suatu selorohan namun menunjukkan bahwa orang yang memahami bahkan mampu mengkoleksi juga menjadi bagian dialog seniman kolektor dan Tuhan.
Seniman dan karya seninya akan hidup tatkala para pemegang kuasa akademisi dan pelaku bisnisnya waras dan memahami akan hidup kehidupan dan peradabannya. Bisa dibayangkan tatkala seniman tidak mendapat ruang, tidak diapresiasi, karyanya tidak dikoleksi akankah bertahan dan bagaimana dapat hidup tumbuh dan berkembang? Pasti merana bahkan tragis hidupnya. Politikus yang cinta dan memahami seni dapat mencontoh apa yang Rafles dan Bung Karno lakukan. Beliau sadar bahwa seni merupakan refleksi peradaban. Refleksi atas hidup dan perjuangan bagi suatu kehidupan.
Menjadi seniman merupakan keputusan yang berani mengambil resiko antara hidup dan mati apalagi di dalam sistem politik hedonis gaya ndoro yang serba wah branded namun tiada hati. Sarat kepura-puraan dan tipu daya. Manusia dan kemanusiaan akan dinomor sekiankan, ini berimbas pada seni karya seni dan senimannya. Karena seni merupakan refleksi atas manusia kemanusiaan dan peradabannya.
Berbahagialah seniman pecinta seni dan para kolektor seni, karena menjadi bagian dari perutusan Tuhan untuk ada dan lestarinya suatu peradaban.**
[Chryshnanda Dwilaksana]