‘Geng Solo’ Dibantah, Neta Pane: Seharusnya Istana Introspeksi Rusak Sistem Karir Polri

TRANSINDONESIA.CO – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta Syahputra Pane menyayangkan bantahan Istana soal Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun  Geng Solo’  di Kepolisian RI (Polri). Bantahan itu tidak sesuai kenyataan.

“Seharusnya Istana introspeksi karena upaya membangun ‘Geng Solo’ itu sudah merusak sistem karir di Polri dan membuat frustrasi di internal kepolisian,” kata Neta dalam siaran persnya diterima, Transindonesia.co, Selasa (24/12/2019).

Menurut Neta, IPW saat ini melihat keresahan yang dalam di kalangan perwira Polri. Mereka merasakan slogan Promoter bukan lagi berarti Profesional, Modern dan Terpercaya. Tapi sudah menjadi Promosi Orang Orang Tertentu, yang dekat dengan kekuasaan.

Memang kata Neta, dalam menentukan posisi di Polri, sah sah saja Jokowi memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo. Sebab ini bagian dari privilese seorang Panglima Tertinggi. “Cara seperti ini tentunya merupakan berkah tersendiri bagi perwira yang pernah bertugas di Solo. Namun hendaknya dalam menggunakan privilese itu, Jokowi tidak merusak tatanan, hirarki, dan sistem karir yang sudah dibangun Polri sejak lama,” terang Neta.

Lihat saja mantan Kapolresta Solo lanjut Neta, yang karirnya sangat moncer. Kapolda NTB Irjen Pol Nana Sudjana lulusan Akpol 1988-B yang lompat menjadi Kapolda Metro Jaya. “Inilah pertama kali dalam sejarah Polri ada Kapolda dari luar Jawa yang langsung menjadi Kapolda Metro Jaya. Mochamad Iriawan saja dari Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) ke Kapolda Jawa Barat dulu dan ke Propam, baru kemudian menjadi Kapolda Metro Jaya,” katanya.

Lalu sambung Neta, Irjen Pol Listyo Sigit Prabowo, lulusan Akpol 1991 itu kini menjabat Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Polri dengan pangkat Komjen. “Selama ini perwira yang menjadi Kabareskrim adalah Irjen senior yang pernah menjabat Kapolda tipe A,” ucapnya.

Yang paling spektakuler tambah Neta, adalah Kombes Pol Ahmad Lutfi usai menjabat Kapolresta Solo dan sukses mengawal pernikahan Putri Jokowi, langsung mendapat promosi sebagai Wakapolda Jawa Tengah. Perwira non Akpol ini menjadi Wakapolda usai mengikuti pendidikan. “Biasanya usai mengikuti pendidikan, perwira Polri menjadi Anjak (Analisa Kebijakan) dulu atau menjabat posisi di Mabes Polri dengan pangkat tetap Kombes, baru kemudian mendapat promosi menjadi Brigjen,” urainya.

Bandingkan dengan “Geng Solo” dari kalangan TNI ujar Neta, yang karirnya tidak semoncer “Geng Solo” dari Polri. Dandim Surakarta saat Jokowi menjadi Walikota Solo, Widi Prasetijono misalnya, hingga kini masih berpangkat Brigjen. Lulusan Akmil 1991 itu masih menjabat Danrem 091/Aji Surya Natakesuma di Kalimantan Timur. Begitu juga Bakti Agus Fadjari Akmil 1987 yang menjabat Danrem Solo saat Jokowi jadi Walikota Solo hingga kini masih menjabat Aster Kasad, dengan pangkat Mayjen.

Menurut Neta, di sepanjang tahun 2019 ini di Polri memang terlihat ada fenomena untuk merusak sistem karir yang sudah dibangun selama ini. Hirarki, senioritas dan sistem urut kacang makin ditabrak tabrak serta dihancurkan.

Kapolda Papua Barat misalnya, tiba tiba bisa jadi Asisten Operasi (Asops) Polri. Karorenmin Bareskrim bisa jadi Asrena. Jabatan Asisten sepertinya makin tak berharga dan tak bergengsi lagi. Dan tidak perlu diisi oleh perwira yang berpengalaman. Padahal dulu diisi para jenderal senior yang sudah punya pengalaman malang melintang di organisasi kepolisian. Sepertinya organisasi Polri terlihat makin kacau dan semaunya.

“Hal ini terjadi akibat politik kepentingan elitnya dan bukan kepentingan organisasi kepolisian. Awalnya kasus kasus perwira yang “melompat” dinilai hanya untuk menghindari tekanan politik. Sehingga dianggap tidak menjadi masalah bagi Polri, meski ada perwira yang “melompat” melewati empat angkatan,” sebut Neta.

Tapi belakangan kata Neta, fenomenanya makin kacau. Institusi Polri terlihat makin tidak taat hirarki. Proses karir tidak lagi harus urut kacang dan tidak harus mengikuti penggolongan senior yunior untuk jabatan tertentu yang strategis. Tapi lebih pada faktor kedekatan dengan orang orang tertentu. Institusi Polri terlihat makin tidak mendalami esensi pembinaan karyawan (binkar) di dalam kepolisian.

“Jika dibiarkan, situasi ini bisa berdampak negatif bagi lingkungan dalam Polri. Anggota Polri semakin tidak punya pegangan dalam menapaki  jenjang kariernya. Sistem yang terjadi di Polri sekarang ini bukan out off the box tapi kekonyolan yang bisa membuat frustrasi dan menghancurkan institusi Polri,” tutup Neta.

Trans Global

Moeldoko

Menanggapi tudingan bahwa ada ‘Geng Solo’, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko memberikan penjelasan.

“Gini, seperti saya menjadi panglima, saya mengenali orang-orang yang dulu pernah bekerja dengan saya dan memiliki prestasi yang baik sehingga pada saat terjadi panglima mereka-mereka ini bisa saya tunjuk sebagai asisten saya. Analoginya seperti itulah kira-kira,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/12/2019).

Menurut Moeldoko, tidak mungkin jabatan-jabatan strategis, termasuk di Polri, dipertaruhkan dengan sembarangan menempatkan orang-orang tertentu.

“Pasti ada sebuah pertimbangan, kalkulasi-kalkulasi yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan itu memiliki kapasitas untuk bekerja, memiliki loyalitas untuk bekerja, baik loyalitas kepada atasannya maupun loyalitas kepada organisasi dan loyalitas kepada negara,” kata Moeldoko dikutip dari cnbcindonesia.com.

“Yang ketiga memiliki integritas, memiliki integritas yang baik. Jadi tiga hal itu selalu menjadi perhatian, menjadi pertimbangan bagi seorang pemimpin untuk memilih pembantunya. Nggak mungkin sebuah jabatan yang sangat penting dipertaruhkan dengan cara-cara mendapatkan seseorang yang tidak terbukti hebat di lapangan,” lanjutnya.

Muhammad Iqbal

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal membantah adanya Geng Solo di pucuk kepemimpinan Polri.

Iqbal mengatakan, mutasi jabatan memiliki parameter dan mekanisme yang sudah diatur.

“Mutasi jabatan di Polri ada mekanismenya, melihat track record atau rekam jejak dan lewat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi,” ujar Iqbal saat dihubungi, pada Senin, 23 Desember 2019.

Iqbal pun kembali menegaskan bahwa tidak ada klasifikasi kelompok tertentu dalam penunjukkan perwira tinggi di Polri. “Sama sekali tidak ada parameter geng-gengan,” kata Iqbal seperti dilansir tempo.co.

Tudingan Presiden Joko Widodo atau Jokowi membentuk geng Solo ini pertama kali disampaikan Indonesia Police Watch. IPW berangkat dari pemilihan Kapolda Nusa Tenggara Barat Inspektur Jenderal Nana Sudjana untuk menduduki kursi Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya. Adapun Nana pernah menjabat sebagai Kapolresta Solo saat Jokowi masih sebagai Wali Kota di kota tersebut.

Selain Nana, Irjen Pol Listyo Sigit Prabowo yang baru-baru ini menjabat sebagai Kabareskrim juga disorot. Diketahui, Listyo sempat menjabat sebagai Kapolrestas Solo dan juga pernah menjadi ajudan Jokowi.[IRS/SFN]

Share