Pameran Tunggal Lukisan “SOPO NGIRO” Chryshnanda Dwilaksana

TRANSINDONESIA.CO – “SOPO NGIRO” dibalik kesibukan sang jenderal bintang satu ini terus berkarya di luar institusinya berkat hobby melukisnya untuk kesekian kalinya kembali menggelar karya-karyanya.

“SOPO NGIRO” itulah judul pameran tunggal lukisan Chryshnanda Dwilaksana yang akan dipamerkan di Museum Galeri Cemara 6, Jalan HOS Cokroaminoto No 9 -11. Menteng, Jakarta Pusat, mulai Jumat 9 – Kamis 15 Agustus 2019.

Pameran tunggal sang Brigadir Jenderal Polisi Prof.Dr.Chryshnanda Dwilaksana,M.Si, yang akrab disapa CDL mendapat berbagai sambutan dari berbagai pihak dan seniman khususnya. Betapa tidak, kesibukan sehari-harinya sebagai Direktur Keamanan dan Keselamatan (Dirkamsel) Korlantas Polri masih sempat “berzigzag” di dunia khususnya seni lukis, sehingga menarik perhatian banyak kalangan.

Yulianti Liesono

“SOPO NGIRO” ini ungkapan Jawa yang artinya dalam bahasa Indonesia: “siapa bisa menyangka”.  Dan ungkapan inilah yang dijadikan judul pameran tunggal lukisan karya Chryshnanda Dwilaksana Agustus 2019 ini.

Tampaknya judul tersebut tidak “njamani”, tidak “zaman now”, atau “kurang milenial”. Padahal pameran tersebut berlangsung di galeri terpandang yang banyak mengorbitkan perupa muda, sering menggelar kreativitas terbaru dari perupa senior yang tak henti mencari, sehingga memberi kontribusi positif bagi perkembangan seni rupa Indonesia.

Maklum, galeri ini milik seorang  intelektual penyandang gelar profesor yang menjadi mahaguru di perguruan tinggi negeri terkemuka, dan seorang doktor penulis banyak buku filsafat, serta “penyair perempuan” terdepan dalam lembar kesusastraan Indonesia, sekaligus pejuang “kesetaraan” gender masyhur di negeri ini. Dan hingga kini masih memimpin kantor paten Biro Oktroi Rooseno.

Toeti Heraty

Pelukisnya pun tak kalah ganjilnya. Dia seorang intelektual, doktor yang dengan esai￾esainya yang telah dikumpulkan dalam buku-buku tebal nan tajam dalam menyoroti soal￾soal sosial, dan sedari muda hingga hari-hari ini terus kreatif melukis, meski sehari-hari  sibuk pula menjadi bhayangkara negara sebagai jenderal.

Chryshnanda adalah seniman yang tumbuh dengan kedalaman budaya Jawa, tapi terdidik  baik dalam pemikiran-pemikiran Barat modern dan global-kontemporer (yang tak lagi  mendikotomikan antara yang tradisi dan yang modern). Itu semua diserapnya dan di-”manunggal’-kan dalam dirinya demi menjalani masalah-masalah nyata di hadapannya.

Meski judulnya sangat berbau tradisi, lukisan-lukisan yang digelarnya tidak lantas  menunjukkan gejala-gejala visual yang lahiriah, yang wadag, misalnya dengan menonjolkan wayang kulit atau motif batik. Berbagai gaya modern pun tidak lagi dipinjamnya, dan menjadi wadag atau badan, melainkan telah disatukannya menjadi “roh”.

Antara yang realis, dekoratif, dan abstrak bisa diaduknya –dia memanfaatkannya di mana dia memerlukannya sebagai suatu ekspresi diri. Seperti liar tapi terkomposisi dengan pertimbangan-pertimbangan visual.

Di dunia lalu-lintas, Chryshnanda seperti berzigzag tapi tidak membahayakan dan malah mengundang takjub. Kehidupannya sebagai polisi yang berdisiplin dan keliaran dunia kreatif estetik jadi menyatu dalam kanvas-kanvasnya. Kontras tapi membentuk keseimbangan yang baru. Lihatlah bagaimana Chryshnanda banyak menggunakan warna cerah yang kontras seperti merah disandingkan hijau. Dia biarkan bagaimana lelehan cat yang tampak liar tapi ternyata terkendali.

Dengan ringan dia berbicara tentang berbagai renungan yang dalam nan mengalir lancar. Tidak direka-reka karena telah dihayatinya dengan baik. Dia tidak menghalus-haluskan. Tidak mengestetik-estetikkan. Tidak menggurui. Tapi “sopo ngiro” mengajak kita kembali berendah hati. Bahwa ada yang jauh di atas kita, Yang Mahakuasa, yang membuat kita hanya bisa melontarkan kata: “sopo ngiro yo”.

Sopo Ngiro, siapa sangka, kalau Ahok ternyata dikalahkan Anis dalam pemilihan Gubernur DKI. Siapa sangka Wakil Presiden Indonesia terpilih ternyata seorang kiai sepuh Ma’ruf Amin. Kita masyarakat Indonesia yang religius pasti meyakini bahwa semua itu adalah seizin Allah –khususnya kejadian yang tak terduga. Jadi “Sopo Ngiro” akan terus ada selama Tuhan dan  Manusia ada. Ini adalah pilihan pemikiran yang tidak hanya pantas untuk perenungan hari ini  namun juga di masa-masa yang akan datang.

Pemikiran Chryshnanda Dwilaksana dan karyanya yang dipamerkan ini tentu saja tidak serta-merta menjadi mudah diterima masyarakat seni rupa. Khususnya jika dihadapkan dengan kenyataan dunia seni rupa saat ini. Dunia seni rupa yang telah membuat kotak atau sekat dengan label kontemporer. Seni Rupa Kontemporer yang telah ditempatkan pada ruang mewah nan steril dengan segala perlindungan, dari banyak pihak. Sehingga, perupa yang tidak mendapat label kontemporer akan berada di luar sebagai “gelandangan seni”.

Menurut saya, label kontemporer yang berlaku di Indonesia saat ini adalah label yang dipaksakan  untuk menggiring seniman agar masuk ke suatu tempat yang nantinya akan diproses dan  dijadikan bagian dari kepentingan pemilik ruang. Label kontemporer di Indonesia hanya  menjadi “alat” untuk mengangkat ataupun mencampakkan karya dan seniman yang tidak  diinginkan. Label kontemporer tak ubahnya seperti label “cebong atau kampret” yang  difungsikan untuk menghancurkan siapa yang dianggap lawan. Batasannya “dipelintir”  seperti pasal karet –yang digunakan hanya demi keuntungan diri.

Seni rupa kontemporer yang lebih sering diterjemahkan serampangan menjadi bersifat  teks dan ilustratif, sering dianggap mengutamakan “message” namun kehilangan “content”,  ibarat sebuah pidato atau iklan provokatif. Seni rupa kontemporer seolah digunakan  untuk menyekat agar seni rupa hanya punya satu ideologi, menjadi “satu dimensi” (one dimensional), sehingga yang tidak dilabeli kontemporer, harus tersingkir, mesti terpinggir.

Padahal seni rupa pada dasarnya bukanlah teks yang verbal namun merupakan bahasa rupa  yang multi-interprestasi. Bahkan tak jarang seni rupa tak dapat dibaca atau diterjemahkan dalam bahasa tulis namun hanya dapat dirasakan dengan mata hati, batin, atau intuisi. Seni rupa mampu membuat seseorang mencintainya, meski dia tak bisa menjelaskan hal itu dengan lengkap, genap, dan tuntas tas.

Situasi seni rupa seperti ini bisa jadi akan masih berlanjut cukup lama, terutama jika mereka yang ada didalam dunia seni rupa tak mengubahnya. Efek sampingnya? Lihatlah keberadaan galeri seni rupa di Jakarta pada sepuluh atau lima belas tahun belakangan ini. Ada galeri seni rupa di mal besar di pusat Jakarta yang menambahi namanya dengan kata “kontemporer” kini sudah rata dengan lantai, pemiliknya hengkang dan ganti profesi, sementara lahannya diganti dengan pengusaha warung kopi, makanan dan sayur serta buah-buahan.

Pameran Chryshnanda Dwilaksana di Galeri Cemara 6 kali ini baik untuk memulai langkah baru membenahi seni rupa Indonesia agar lebih ramah terhadap segala segi bentuk ekspresi, utamanya yang berakar pada kearifan lokal. Hanya dengan ke-lokal-anlah kita akan mampu mengglobal. Sebab dengan hanya meng-global, kita akan kembali menjadi peniru. Mari kita baca kembali kekayaan budaya kita nan beragam untuk kita angkat ke tingkat pergaulan global. Kita yang di bulan Agustus 2019, telah 74 tahun merdeka sebagai bangsa, Bangsa Indonesia. Kata seorang ahli hukum, kata rekonsiliasi itu artinya kembali ke konstitusi, barangkali kata rekonsiliasi juga dapat digunakan untuk dunia seni rupa, yang harus kembali ke kodratnya yang selalu mesti kreatif, bebas demi menembus batas. Jangan lagi ada “kampret dan kecebong.

Hikayat CDL Kembali Legenda

Hendrajit (Pengkaji Geopolitik, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute)

Pikiran Yang Tercerahkan, adalah Aspirasi Perasaan Yang Tercerahkan, adalah Imajinasi Kehendak Yang Tercerahkan, adalah Intuisi

Kawan saya mas Giri Basuki, sontak meminta saya memberi semacam endorsement untuk  Bapak Chrysnanda Dwilaksana, yang rencananya akan menggelar pameran lukisannya di  Jakarta.

Mulanya sempat ragu mengingat sejak 2007, saat tidak lagi berkiprah di jurnalistik, saya  berkiprah dalam kajian geopolitik. Namun ketika mas Giri selintas menginformasikan bahwa  dalam kesehariannya Pak Chrysh adalah perwira tinggi kepolisian, bukan yang sepenuhnya  mencurahkan dirinya di bidang seni rupa, sontak saya tertarik untuk menulis catatan singkat  ini. Sebab ada beberapa isu menarik yang kiranya penting untuk kita wacanakan kembali, meski mungkin bukan hal baru.

Kebetulan beberapa minggu sebelum pameran, saya sempat berbincang-bincang selamakurang lebih dua jam dengan Pak Chrysh yang amat mencerahkan dan inspiratif. Maka izinkanlah saya beranjak dari frase kalimat yang agak berbeda dari spirit pameran ini. Bukan Sopi ngiro atau siapa sangka. Melainkan siapa tahu.

Siapa tahu sejatinya pak Chryshnanda memang pelukis, bukan perwira polisi. Ketika Pak Chrysh lulus SMA, minat dan ketertarikan khususnya adalah dalam soal lukis-melukis.

Tertarik pada sesuatu yang visual, bukan pada angka-angka atau aksara. Tak mengherankan jika begitu lulus SMA, Pak Chrysh berhasrat kuat untuk mendalami bidang seni rupa. Dengan kata lain, punya passion kuat untuk jadi peluk Sayangnya, seperti juga ratusan atau mungkin ribuan Chrysnanda-Chrysnanda lainnya, lingkungan terdekatnya yaitu keluarga, begitupula pendidikan sistem persekolahan kita, tidak punya kepekaan intuitif terhadap passion/hasrat sejati anak-anaknya sendiri. Begitu pula para pengajar dalam sistem pendidikan persekolahan kita yang tidak memiliki etos keguruan, tidak peka membaca passion atau bakat khusus para muridnya.

Sebagaimana penuturan Pak Chrysh kepada saya, kedua orang tuanya sebenarnya mengakui  hasrat kuat atau passion pak Chrysh di bidang seni rupa. Namun begitu kedua orang tuanya  mengeluarkan frase kalimat “Lantas bagaimana kamu membiayai kuliah adik-adikmu dan  makanmu sehari-hari, ketika kamu terjun ke dunia lukis?,” sontak Pak Chrysh jadi lemah lunglai.

Singkat kisah, oleh pertimbangan-pertimbangan keluarga maupun lingkungan yang bersifat material, Pak Chrysh harus melupakan dunia seni rupa yang merupakan hasrat sejatinya. Oleh berbagai upaya dan peluang yang terbentang kemudian, dunia kepolisian akhirnya menjadi profesi Pak Chrysh hingga sekarang.

Rangkaian cerita yang dialami pak Chrsyh tadi, menyadarkan saya mengapa saat ini, meminjam istilah Arnold Toynbee, pakar sejarah peradaban, masyarakat kita sedang mengalami fosilisasi atau pembekuan. Ironisnya, justru hal itu terjadi sejak pasca 1998, yang mana relatif tidak ada represi dari rejim penguasa seperti di era Orde Baru dulu.

Fosilisasi atau pembekuan masyarakat di bidang seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, industri, dan pertanian, oleh sebab mati surinya akal budi dalam memancarkan daya cipta.

Sekelumit kisah Chrysnanda Dwilaksana, merupakan sebuah testimoni ketika kultur keluarga maupun lingkungan yang terlalu memberhalakan materialism, pada perkembangannya telah membunuh passion dari insan cita seperti Pak Chrysh. Mengesampingkan passion/hasrat sejati dan bakat khususnya, beralih ke bidang lain yang diyakini lebih menjanjikan untuk masa depannya. Seakan keberhasilan masa depan seseorang atau masyarakat, ditentukan dari kekayaan atau jabatan.

Padahal melalui serangkaian kajian-kajian geopolitik negara-negara maju yang sempat saya serap dan dalami, seseorang yang kemudian dituntun oleh panggilan hasrat sejatinya/passion-nya, maka kelak dia bukan sekadar menjadi seorang ahli. Melainkan seorang maestro. Ya, maestro di bidangnya masing-masing.

Sekilas mengenai success story Cina, ketika Deng Xioping mengambil-alih kepemimpinan negri tirai bamboo itu dari Mao Zhe Dong. Pemerintah Cina mencanangkan program empat modernisasi yaitu Pertanian, Industri, Ilmu Pengetahuan dan Pertahanan. Menariknya, dalam program emat modernisasi yang bertumpu pada empat komponen itu, tak ada kosakata ekonomi.

Gagasan dasar program empat modernisasi adalah strategi kebudayaan mencinakan kembali komunis, dan bukan sebaliknya. Sehinggga atas dasar skema tersebut, memberdayakan empat komponen tersebut sejatinya memberdayakan kembali kedigdayaan budaya dan peradaban Cina. Sekadar informasi, merujuk pada buku karya Kishore Mahbubani, Asian Hemisphere, bahwa seiring dengan kemajuan perekonomian dan kemakmuran di beberapa kota di Cina Selatan, setiap tahunnya berdiri sekitar 30 museum.

Artinya, semakin makmur masyarakat Cina, dorongannya untuk menjalin kontak dengan peradaban silam Cina, justru semakin kuat. Sehingga berdirinya beberapa museum baru setiap tahunnya, adalah buah dari temuan-temuan warga masyarakat dalam menapak tilas kejayaan leluhur mereka berabad silam.

Inilah kesalahan strategis era Orde Baru pada masa pemerintahan Suharto. Betapa kemajuan dan kemakmuran masyarakat dan bangsa, diukur melalui kemajuan ekonomi.

Alhasil, buah dari skema tersebut adalah semakin menguatnya masyarakat dan elit kepemimpinan nasional dalam memuju materialism. Segala sesuatu diukur oleh uang atau jabatan kekuasaan.

Ketika materialism dipuja dan jadi tolok ukur keberhasilan masa depan seseorang atau masyarakat, maka seorang Chrysnanda, seperti halnya ribuan Chryhnanda-Chryshnanda lainnya, harus mengubur hasrat sejatinya sebagai pelukis atau perupa. Atau bidang-bidang lainnya yang sejatinya merupakan minat khusus dan hasrat sejatinya.

Andaikan keluarga atau lingkungan terdekatnya kala itu secara intuitif mampu membaca hasrat sejati dan passion Pak Chrysh, dan merestuinya untuk berkiprah di ranah seni-budaya utamanya seni rupa. Maka ungkapan yang kiranya lebih pas digunakan kedua orang tua Pak Chrsyh untuk mengikhlaskan passion dan bakat khususnya berkembang menemukan jalan takdirnya sendiri adalah: Siapa Tahu Pak Chrysh bisa jadi pelukis yang legendaris.

Sayangnya jalan cerita Pak Chrysh bukan seperti itu. Sejak 1989 Pak Chrysh meniti karir di kepolisian, bidang yang sama sekali bertolak-belakang dengan passion dan bakat khususnya. Namun jalan seseorang menemukan kembali legenda dirinya yang terkubur di masa silam, seringkali misterius dan tidak bisa diprediksi. Tiba-tiba saja, pintu masuk buat mengekspresikan kembali minat khusus dan hasrat sejati Pak Chrysh di ranah seni rupa, terbuka kembali.

Pameran di jalan Cemara pada 9 Agustus 2019, agaknya harus kita maknai sebagai jalan Pak Chrysh menemukan kembali legenda dirinya. Sekaligus pembelajaran yang penuh hikmah.

Bahwa orang tua di lingkungan keluarga, atau para guru di sekolah, janganlah mengikuti egonya sendiri dalam menuntun keberhasilan dan kemajuan masa depan anak-anaknya.

Melainkan ikutilah panggilan jiwa sejati anak-anak dan murid-murid kita, untuk menemukan legenda dirinya. Orang-orang yang berhasil mengembangkan reputasi dan kredibilitasnya di masyarakat berdasarkan passion-nya atau hasrat sejatinya, maka dia bukan sekadar seorang ahli. Melainlan sang maestro.

Bisa jadi, inilah yang menjelaskan mengapa peradaban bangsa kita saat ini seakan mengalami stagnasi dan kebuntuan. Mati surinya daya cipta, karena orang-orang yang berkiprah di bidang ekonomi keuangan, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak dituntun oleh passion atau hasrat sejatinya, melainkan hanya sekadar para teknisi ekonomi-keuangan, para teknisi hukum maupun teknisi di bidang iptek.

Ada buku menarik dari Michael Hamilton Morgan, Lost History. Sejarah yang lenyap. Untuk menutup catatan singkat ini. Menurut Hamilton, jangan cuma tahu budaya, namun pelajari hal lebih penting. Peradaban. Sebab peradaban terlepas itu bagus atau buruk, sejatinya merupakan laboratorium pikiran maupun cita cita manusia.

Berarti kalau mau tahu apakah budaya bangsa saat ini sehat atau lagi sakit, tengok saja laboratoriumnya. Ada aktivitas atau nggak. Dalam sebuah laboratorium, ada proses penelitian, ekaperimen menguji temuan baru, atau usaha meramu sesuatu yang baru agar jadi teori baru.

Apakah bengkel seni teater atau studio lukisan ada aktivitas dan proses penciptaan karya karya baru. Di Perguruan tinggi apakah lahir hasil penelitian penelitian atau temuan baru di bidang IPTEK yang bermanfaat buat masyarakat dan bangsa. Di media massa, selain sajian berita berita baru tiap pagi, apakah rapat rapat redaksi dalam penyusunan agenda setting dalam rangka pendalaman dan pengembangan berita, masih berlangsung secara dinamis dan hidup?

Di bidang kuliner, di tengah maraknya resto resto modern aneka rupa belakangan ini, adakah gairah macam bu Suharti atau bu Citro, sehingga menu ayam goreng atau gudeg begitu melekat pada kepribadian dua emak kita ini. Artinya di balik resto resto yang ada, masih ada daya hidup dan daya cipta yang dikelola oleh orang orang punya passion di bidang kuliner.

Kalau jawabannya positif, berarti peradaban kita masih sehat, merujuk pada pengertian peradaban sebagai laboratorium pemikiran dan cita cita. Artinya, nalar dan akal budi masih hidup dan mampu memancarkan daya cipta manusia di berbagai bidang tersebut.

Sebab kalau tidak ada daya hidup dalam laboratorium pemikiran dan cita cita, jangan jangan benarlah peringatan pakar sejarah peradaban Arnold Toynbee. Dalam peradaban bangsa yang sedang transisi dari fase penurunan menuju disintegrasi nasional, terjadilah proses pembekuan masyarakat. Fosilisasi.

Tak ada inspirasi, miskin imajinasi, tak ada temuan baru. Tak ada dorongan berkreasi. Semuanya mandeg, buntu, stagnasi. Jika hal ini terjadi, peradaban kita sedang mengalami pembekuan.

Maka itu, keberhasilan Pak Chrysh menemukan kembali legenda dirinya di ranah seni rupa, patut kita apresiasi setinggi-tingginya. Semoga menginspirasi insan cita di berbagai bidang lainnya, untuk kembali berkarya sesuai passion dan hasrat sejatinya.

Selamat datang kembali di ranah seni rupa, Pak Chrysh.

Share