Pendekatan Uang Antara Pembodohan dan Penghianatan

TRANSINDONESIA.CO – “Uang tidak penting tetapi pokok”. Ungkapan konyol tentang materi khususnya uang memang merasuk di semua lini. No money no honey. Tidak elok membicarakan uang namun tidak ada yang elok tanpa uang.

Uang seolah segalanya dan seolah segalanya bisa dibeli dengan uang. Pendekatan apa saja tatkala uang yang diutamakan maka akan mengabaikan prestasi kompetensi kejujuran kebenaran hingga keadilan. Prestasi dalam pendidikanpun akan terjadi manipulasi siapa yang sanggup membayar sana-sini dialah yang terbaik dan dianggap berprestasi. Rasa keadilanpun akan hilang jangan jangan kemanusiaanpun terabaikan.

Pendekatan dengan uang dapat dipastikan akan bersekutu dengan kejahatan cara-cara memperolehnya atau paling tidak membiarkan adanya perkeliruan.

Bisa dibayangkan tatkala pelayanan publik pendekatannya uang, tentu tiada ketulusan bahkan matinya keutamaan. Seringkali nilai-nilai yang hakiki abai atau tergerus oleh rasa hutang budi atau sungkan.

Uang akan membelenggu kewarasan bahkan hilang kesadaran untuk hidup sehat. Pendekatan dengan uang akan melahirkan perilaku korup. Mematikan sistem dan membuka peluang dan kesempatan.

Kebijakan-kebijakan publiknya tidak lagi membela kepentingan rakyat melainkan maju tak gentar membela yang mau dan mampu membayar.

Dalam ceritera Hans Christian Anderson, raja gila pakaian bisa menjadi analogi bagi pendekatan uang. Gaya hidup menjadi konsumtif pembodohan ada di mana-mana, uang menjadi dewa dan sumber kuasa. Harga diri dimatikan demi uang. Premanisme merajalela karena hukum bisa dibeli.

Pencerahan dan transformasi dalam ilmu pengetahuan tiada lagi. Mata hati tak lagi melihat orang yang berprestasi, yang dilihat siapa yang berani membayarnya. Buluh bekti glondong pangareng areng menjadi keunggulannya. Semua dilabel wani piro oleh piro. Nepotisme kolusi bahkan hingga korupsi merajalela bukan lagi orgqnized crime bahkan sudah menjadi crime in organization.

Bisa dibayangkan, bila dalam politik yang berkuasa uang atau menjadi politik uang tentu kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan semua menjadi sarat kepentingan. Adakah spirit konstitusi dapat diwujudkan untuk melindungi segenap tumpah darah bangsanya? Tentu saja tidak.

Kekayaan alam atau apa saja yang bisa dijual maka akan dijualnya. Import besar-besaran yang bisa jad imematikan usaha rakyatnya. Mampukah mensejahterakan rakyatnya?  Yang ada kroni kliknya saja yang sejahtera.

Tiadanya pembelaan atau perjuangan bagi bangsanya terutama kaum marjinal. Hilangnya patriotisme dan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan previledgenya. Mampukah mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara? Justru sebaliknya, pembodohan di mana-mana. Pendidikan bukan lagi kebanggaan melainkan sebatas status saja atau gilanya lagi untuk standar memperoleh jabatan. Bagaimana mencerdaskan kalau pendidikan pun sarat dengan tipuan dan digunakan sebagai sarana mencari pesugihan.

Mampukah untuk menjaga ketertiban dunia? Kalau semua pendekatannya hanya uang maka oleh bangsa lain tidak lagi dianggap berkarakter. Mereka melabel sebagai bangsa yang korup yang sulit untuk mendapatkan kepercayaan dunia.

Pendekatan dengan uangpun akan mendukung cara-cara post truth melalui hoax bagi siapa saja yang mengkritisinya. Apalagi yang dianggap mengusik kenyamanannya akan dimatikan karier bahkan hidup dan kehidupannya.

Di jaman yang edan siapa yang tidak ikut edan tidak kebagian. Namun tiada orang edan yang mempunyai keutamaan karena mereka hanyalah kelas pecundang yang akan digilas jaman. Hanya yang mampu eling lan waspodolah dan tetap menjaga kewarasan yang akan selamat dan mampu mengatasi serta mengarungi jaman. **

[Chryshnanda DL]

Share