Belajar dari Kebangkrutan Sariwangi
Pihak penjual yang notabene pemilik perkebunan dan pemilik pabrik harus menanggung kebangkrutan
TRANSINDONESIA.CO – Sariwangi didirikan oleh orang Indonesia, seorang yang awalnya bekerja di perkebunan teh. Ketika di Eropa tahun 1960-an, dia melihat teh yang di bungkus dengan kertas, disajikan dengan dicelupkan. Inspirasi ini yang membuat dirinya berkeinginan kuat mendirikan pabrik teh.
Tahun 1962 pabrik teh didirikan memulai dari mesin bekas. Teh celup Sariwangi diterima pasar, penjualannya meledak hebat.
Tahun 1989 sebuah perusahaan multinasional dari Belanda menawarkan membeli brand Sariwangi. Perusahaan ini tidak memiliki perkebunan teh dan pabrik teh. Akhirnya Sariwangi menyetujui hanya menjual produknya ke perusahaan tersebut.
Perusahaan multinasional ini memiliki produk yang menyasar ke level dasar piramid pemasaran di Indonesia. Produknya seperti sabun mandi, sabun cuci, sampo, pasta gigi dan sebagainya begitu menguasai pasar di negeri ini.
Awal 2018, perusahaan multinasional itu tidak lagi membeli teh dari Sariwangi dengan alasan harga dan kualitas. Total kerugian yang diderita Sariwangi sebesar sekitar Rp1,05 triliun.
Bayangkan, ada pabrik yang begitu besar hanya ada satu pembeli yang begitu kuat modalnya. Kemudian karena suatu alasan dari pihak pembeli. Pihak penjual yang notabene pemilik perkebunan dan pemilik pabrik harus menanggung kebangkrutan.
Apakah perusahaan multinasional itu salah karena tidak membeli produk Sariwangi? Tentu tidak ada yang salah, karena kesepakatan monopoli yang dimulai tahun 1989 itu.
Sama ketika Raja-Raja Jawa menjual tanah dipesisir utara Jawa kepada VOC Belanda, apakah para raja itu salah? Ataukah VOC Belanda yang salah? Toh, akhirnya komoditi pertanian dan perkebunan dikuasai VOC Belanda.
Inilah yang menjadi pelajaran bagi kita, dalam berusaha atau mencapai sesuatu, tidak mau repot, begitu gampang menyerahkan aset atau brand kepada pihak lain demi keuntungan sesaat tanpa memikirkan kelangsungan usaha yang telah dirintis dengan susah payah para pendahulu-pendahulu kita.[Aries Yulianto-Pengamat Sosial Ekonomi]