Dari Masjid Azizi Tanjungpura [2]: Kota dan Hukum yang (Tak) Rabun Jauh Sejarah

Masjid Azizi Tanjungpura

TRANSINDONESIA.CO – Apa pelajaran lain? Rupanya gagasan menata kota Tanjungpura menjadikan masjid dan maktab sebagai sepasang anasir cirinya, bukan lapangan pertemuan atau alun-alun, seperti jamak ciri kota-kota di Jawa.  Fakta itu menjelaskan betapa semenjak tempo dulu masjid menjadi sentral kota,  menjadi “magnet” titik tuju pendidikan  dan permukiman warga. Setiap hari Jumat, adalah hari pekan yang ramai berjualan. Sulthan Langkat sekarang ini  T.Azwar Abdul Djalil Rahmatsyah Al-Haj   pernah berkisah,  tempo dulu  sulthan acapkali memberi uang kepada warganya yang tak mampu sebelum hari Jumat agar bisa berbelanja di hari pekan Jumat. Mengapa hari Jumat? Adakah berlaku mata uang (emas dan perak) Langkat sendiri?

Mengapa kampus “maktab puteh”  berada sehasta di belakang masjid, dan bersisian dengan permukiman penduduk?  Ini pasti direncanakan dan menyimpan alasan, ikhwal yang menarik dalam kajian sosiologi perkotaan dan penataaan kota. Betapa terbangun postulat upaya pendidikan dan kegiatan agama berantai serencengan.

Kota Tanjungpura terbuka dengan pendatang, karena memang negeri Melayu yang jaya dan kaya kala itu dengan hasil minyak dan kebun karetnya.  Permukiman warga kota dengan gaya arsitektur khas  rumah tingkat dua yang berderet-deret sepanjang jalan dengan selasar kaki lima bagian atasnya, berbentuk melengkung setengah lingkaran seperti kong liong  panjang-panjang  yang teratur dan terhubung  menjadi trotoar yang bisa dilewati khalayak umum. Beratapkan lantai atas rumah tingkat, seakan selasar di bawah kolong rumah itu sengaja diarsiteki memainkan fungsi sosial  untuk  pedestrian pejalan kali, yang kini acap dimanfaatkan pedagang kaki lima. Umumnya dihuni warga etnis tionghoa, lantai dasar untuk berdagang dan lantas atas sebagai hunian, menjadi kawasan perdagangan.  Kaki lima rumah tingkat berderet itu langsung berhampiran jalan besar kota, dengan riol lebar setengah meter yang terhubung ke saluran induk bawah tanah. Gaya arsitektur  rumah tingkat deret, dengan empat pilar ukuran kubus setengah meret  dengan selasar kaki lima terhubung itu, mirip rumah sejenis kota-kota tua di Batavia, pun demikian Pineng dan Singapura.

Penting dicatat, sulthan Langkat  juga kemudian  membangun rumah sakit  yang kini menjadi rumah sakit daerah Tanjungpura. Nyaris sempurna sebagai kota.

Anasir Sentral

Memetik hikmah direlung isi gagasan situs masjid Azizi dan maktab “puteh”, mengujarkan betapa tempo dulu masjid menjadi sentral dalam tata kota, dan demikian pula relasi tata sosial. Seperti anasir “hijau” untuk green city yang jamak diusung urban planner  kontemporer, ataupun  seperti agenda Suistanable Development Goals (SDG’s) membuat pembangunan perkotaan berkelanjutan (suistainable cities and human settlements). Idemditto tema ‘Kota Bahagia’ yang tak terpisahkan dari indeks mengukur  ‘Negara Bahagia’ yang difestivalkan organisasi negara sedunia (PBB).

Dari Tanjungpura, Masjid Azizi sebagai sentral tata kota menasbihkan apa arti kota bagi warganya, yang tak hanya penjumlahan fisik bangunan bendawi saja. Kota menjadi raut ciri warga penghuninya, yang berubah dan berkembang sesuai aras pemikiran yang diikuti dan kaidah (hukum) yang diyakini, serta tindakan yang dilakoni.

Ringkasnya, menata kota dengan tema dan dipengaruhi diskursus persilangan alam pikiran sosiologisnya. Itu menjelaskan bahwa raut kota yang dibangun adalah alibi dan bukti pengakuan kepada gagasan, nilai dan hukum yang dipatuhi. Ada koeksistensi antara fisik bangunan dan norma hukum yang berlaku dan diakui.  Kaidah apa yang mempengaruhinya?

Bagaimana dengan Langkat? Sejarah gemilang Tanjungpura tak lepas kejayaan Kesulthanan Melayu Islam Langkat.  Islam dan Melayu tak terpisahkan, termasuk dalam penataan kota berbasis Islam. Apakah alam pikiran alias kitab ikhwal kenegaraan yang mempengaruhinya?  Dengan hipotesis kesulthanan adalah dengan syariat Islam, maka pengaruh syariat Islam lekat-lekat dalam kehidupan tata sosial dan tata pembangunannya, termasuk tata kota sebagai bagiannya.

[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute,  Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share
Leave a comment