Keterpurukan di Hari Kebangkitan Nasional 2017
TRANSINDONESIA.CO – Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017, nampaknya akan dibiarkan Presiden Jokowi berlalu begitu saja.
Tidak ada tanda-tanda Presiden ingin bangkit dari kelemahannya menjalankan hukum yang berlaku sejak dia berkuasa.
Berbagai kesalahan penegakan hukum terus menerus terjadi. Bahkan menjelang, saat dan usai tiap kali dia berpidato tentang penegakan hukum, kegagalan pelaksanaan hukum terus saja terjadi dan berulang.
Mungkin pidato-pidato kepresidenan bagi Presiden Jokowi cuma sekedar membaca tulisan para tim kepresidenan semata, bukan ekspresi pemikiran, rencana kerja dan tindak kerjanya. Jika demikian adanya, mungkin kita rakyat Indonesia perlu lebih bersabar mendengarkan pidato-pidato sejenis hingga 2019.
Menyedihkan sebenarnya situasi seperti ini bagi sebuah negara. Negara itu salah satu ciri utama kekuatannya adalah ketika dia berdaulat menjalankan hukum yang berlaku di dalamnya dengan segala kekuatannya.
Misalnya ada pihak asing yang masuk tanpa izin maka segera diusir.
Ada pelanggaran hukum di ruang publik, segera ditindak. Jika ditemukan bukti-bukti kuat tentang korupsi, pelakunya langsung diusut, disidangkan dan dipenjarakan.
Jika ada upaya memecah belah kerukunan, pihak pelakunya sejak awal langsung ditangkap, ditahan, disidangkan dan dihukum.
Sayangnya bukan hal-hal itu yang terjadi pada era kepemimpinan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi baik secara langsung maupun tak langsung lebih banyak membela kepentingan kekuasaannya daripada kepentingan negara.
Presiden Jokowi lebih suka membiarkan kegaduhan luar biasa terjadi di Jakarta sejak September 2016 hingga kini, daripada memerintahkan seluruh jajaran hukum menindak tegas perilaku Ahok.
Presiden Jokowi lebih suka membiarkan Menteri Keuangan, Dirjen Pajak dan Petugas Pajak kelimpungan mencari dana pembangunan dari kelas menengah ke bawah, daripada memerintahkan mengejar sebesar-besarnya repatriasi dana pada proses pelaksanaan tax amnesty dari para konglomerat dan taipan.
Ketidakjelasan penegakan hukum inilah yang membuat keadaan semakin terpuruk. Pihak asing semakin ragu berinvestasi karena mekanisme investasi dan jaminan hukum sangat rancu. Belum lagi ditambah dengan pembiaran merebaknya isu Islam Radikal.
Kesannya isu Islam Radikal bagus bagi Presiden Jokowi untuk menghantam lawan-lawan politiknya, karena Jokowi memang pribadi yang tidak kental dengan ajaran Islam, kalau tidak mau dibilang sangat jauh dari ajaran-ajaran Islam. Tapi Jokowi lupa satu hal, bahwa dialah presiden negara ini.
Dengan menyatakan Indoensia saat ini diwarnai Islam Radikal maka asing akan melihat ketidakbecusan dia memimpin dan kerawanan situasi politik Indonesia.
Akan lebih produktif kalau dia menyatakan Indonesia saat ini sangat kondusif dan penuh persatuan. Penista agama yang coba memecahbelah kebhinnekaan dapat segera diatasi.
Kesadaran moral sangat tinggi. Muncul Aksi Bela Islam sebagai gawang penjaga moral bangsa dan pejabat. Artinya korupsi akan semakin rendah sejak Jokowi berkuasa, serta dana pinjaman luar negeri pasti akan dimanfaatkan sangat produktif.
Artinya pinjaman akan segera dibayar dan Indonesia siap dengan berbagai pembangunan lainnya yang membutuhkan dukungan pihak luar.
Semua investor asing tentu akan berebut memasuki pasar ekonomi Indonesia jika hukum jelas, negara stabil, moral baik, tingkat korupsi rendah dan yang utama adalah berkuasa penuhnya sang Presiden mengatur negara dalam norma hukum yang jelas.
Presiden tidak seperti boneka yang bisa ditekan-tekan seenaknya oleh kekuatan pemodal lokal, diintimidasi oleh minoritas yang bergaya preman atau ditakut-takuti kekuatan pendukungnya.
Sayangnya bukan itu yang ada dibenak Presiden Jokowi. Dia lebih suka Kapolri menghadang Aksi Bela Islam dan membiarkan Aksi Bela Ahok.
Dia lebih suka menuding radikalisme menguat daripada menyatakan negara sejak dipimpinnya lebih kuat gerakan moralnya.
Itulah kualitas Presiden Jokowi. Kabar buruknya, itu mungkin akan terus berlangsung hingga 2019 kalau beliau tak kunjung sadar kesalahannya. Sedih rasanya kita ternyata terpuruk di Hari Kebangkitan Nasional 2017.
Depok, 20 Mei 2017, 14.00
[Teuku Gandawan-Direktur Strategi Indonesia, Alumni ITB, Mantan Aktivis Mahasiswa, dan Pemerhati Politik Nasional]