Era Reformasi Kelompok Radikal Berkembang Secara Masif

TRANSINDONESIA.CO, BEKASI – Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan bahwa penyebaran paham radikalisme pro-kekerasan tak terlepas dari pengaruh dan dampak isu global yang terjadi di beberapa negara belahan dunia, terutama di Timur Tengah.

Hal itu ditandai berdirinya kelompok radikal ISIS di Iraq dan Suriah pada 2014 lalu. “Nah terbetuknya kelompok radikal ISIS ini tak terlepas dari kelompok radikal sebelumnya yaknu Al Qaidah,” kata Kapolri ketika membuka seminar nasional Perkebangan Terorisme dan Kontra Terorisme di Indonesia, pada acara Commencement National Security Studies Program Angkatan II, di Kampus Universitas Bhayangkara Jakarta Jaya (Ubhara Jaya), Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu 10 Mei 2017.

Sambutan Kapolri tersebut dibacakan oleh Wadir Densus 88 Polri Brigjen Edi Hartono. Disebutkan sejak era reformasi kelompok tertentu menyampaikan pendapat pribadi atau golongan tanpa mempedulikan hak orang lain.

Seminar nasional Perkebangan Terorisme dan Kontra Terorisme di Indonesia, pada acara Commencement National Security Studies Program Angkatan II, di Kampus Universitas Bhayangkara Jakarta Jaya (Ubhara Jaya), Kota Bekasi, Rabu 10 Mei 2017.[SOF]
Era reformasi ini kemudian dijadikan sarana untuk menyerang NKRI, Pancasila dan demokrasi di Indonesia. “Di era ini kelompok radikal pro-kekerasan, intoleransi bahkan aksi terorisme masuk dan berkembang secara masif,” kata Kapolri dalam seminar yang diadakan terkait wisuda skolah Kamnas angkatan ke-2.

Seruan kelompok ISIS untuk membentuk negara tanpa batas khilafah islamiyah dan menyerukan aksi amaliyah menjadi salah satu pemicu paham radikalisme, intoleransi bahkan terorisme di beberapa negara di dunia termasuk di Indonesia.

Sementara problematika penanggulangan teroris di Indonesia, belum ada kesamaan pandangan dari seluruh masyarakat tentang bahaya paham radikalisme.

“Pasal-pasal yang ada dalam UU Terorisme belum menjangkau kegiatan kelompok atau embrio yang menjadi cikal bakal terori seperti ujaran kebencian yang disampaikan kelompok tertentu sehingga memunculkan bibit permusuhan,” katanya.

UU No.15 tahun 2013 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan UU No. 9 tahun 2013 merupakan dasar hukum bagi Polri sebagai ĺeading sector bagi Polri dalam menanggulangi terorisme yang terjadi di Indonesia.

Sejauh ini, kata Kapolri, sebanyak 1288 orang telah ditindak. Sementara strategi Polri adalah dengan melakukan pendekatan kegiatan pencegahan, penegakan hukum dan deradikalisasi.

Kegiatan pencegahan meliputi tiga tugas pokok, kontra radikal, kontra naratif dan preventive Justicia. “Kegiatan berikut penegakan hukum yang diinplementasikan dalam kegiatan penindakan, proses penyidikan hingga proses peradilan,” urai Kapolri.

Strategi deradikalisasi mengubah paham radikal seseorang untuk kembali ke paham yang tidak radikal.

Dalam seminar ini hadir pembicara lain seperti Komjen Suhardi Alius, Komjen Pur Ahwil Luthan, Prof Hermawan Sulistyo, Hendry Yosodiningrat, dan DR H Asad Said Ali.[KHU]

Share
Leave a comment