Merindukan yang Telah Tiada

TRANSINDONESIA.CO – Di saat saat masih ada, sering bersama sama dengan kita, kesalahpahaman dibesar-besarkan dan menjadi saling serang, saling membenci. Kebaikan di depan pelupuk mata, menutupi pengakuan dan penghargaan, kesalahan lebih dipentingkan.

Kebencian ditaburkan, konflik menjadi kebanggaan. Menghujat, merusak, menganiaya hingga membunuh tega dilakukan.

Ilustrasi
Ilustrasi

Tatkala sudah tiada, jauh dari hidup kita munculah rasa rindu akan masa lalu, terbayanglah segala kebaikan, munculah puja-puji. Nasi sudah menjadi bubur apa yang di tabur sudah melumat meluluh lantakkan kebaikan.

Ketika damai menginginkan perang, saling serang, seakan berjaya dengan berjuang. Penderitaan dimana-mana, kebingungan mengembalikan, kebencian sudah menguasai. Harkat martabat manusia diluluh lantakkan, peradaban diganti dengan kebiadaban. Ketentraman diusir dengan kekacauan, keteraturan diganti dengan pertikaian.

Ketika ada orang baik dimunculkan, iri, dengki, fitnah, sumpah serapah. Demi sesuatu yang dianggap mengganggu kemapanan dan kenyamananya. Rasa gelisah tatkala yang basah dikeringkan.

Muncul kemarahan tatkala keistimewaan dipangkasi. Dihembus-hembuskanlah rasa benci untuk bisa saling berkelahi. Para aktornya akan sesegera mungkin mencuci tangan. Berbenah untuk selalu nampak suci, bersih dan dianggap baik dan benar. Topeng-topeng atas nama yang beragam dijajarkan sebagai simbol kemunafikkan.

Ketika berantakan, korban berserakan, nyawa melayang, kemanusiaan disamakan dengan binatang, peradaban diganti dengan kebiadaban. Bingung mencari obatnya. Yang baik sudah disingkirkan. Yang hebat sudah dimatikan. Siapa akan menyelesaikan?

Mungkin sudah takdir demikian. Apakah ini suatu pembelajaran untuk memahami arti kehidupan?  Apakah orang-orang baik yang sudah dimatikan akan dirindukan lalu dijadikan pahlawan sebagai obat disaat penuh kekecewaan dan keputusasaan ? Semoga tidak demikian.[CDL13122016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share