Penangkapan Sewenang-Wenang Sekjen PB HMI, Ini Kronologisnya

TRANSINDONESIA.CO – TIM Advokasi Muslim Indonesia (TAMI) menegaskan, penangkapan Sekjen Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Amijaya merupakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat kepolisian.

Penangkapan terhadap Amijaya yang baru selesai melaksanakan shalat sunah menjelang dinihari.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku kagum Aksi 411 pada 4 Nopember 2016 berlangsung damai.[MIC]
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku kagum Aksi 411 pada 4 Nopember 2016 berlangsung damai.[MIC]
Berikut kronologis penangkapan Sekjen PB HMI:

Kasus ini diawali dengan dilakukannya aksi turun jalan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersama koalisi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI pada tanggal 4 November 2016 di Jakarta.

Terjadi kericuhan yang berujung dibubarkannya massa aksi oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia.

Pada tanggal 7 November 2016, sekitar pukul 23.00 WIB, datang puluhan orang dari Kepolisian Daerah Metro Jakarta Jawa (Polda Metro Jaya) berpakaian sipil ke sekretariat Pengurus Besar HMI di Jl. Sultan Agung No. 25, Jakarta Pusat, bertujuan untuk melakukan penangkapan terhadap Sekjen PB HMI (sdr. Amijaya) saat yang bersangkutan baru saja menyelesaikan ibadah shalat sunnah.

Sambil menunjukkan surat tugas dan surat perintah penangkapan, petugas memaksa bertemu dengan sdr.

Amijaya untuk segera dibawa ke Polda Metro Jaya dan diperiksa terkait dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 211 jo. Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tindakan aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya yang melakukan penangkapan terhadap sdr. Amijaya  merupakan pelanggaran terhadap Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Penangkapan sewenang-wenang Tindakan penangkapan atas Sekjen PB-HMI yang dilakukan oleh aparat kepolisian Daerah Metro Jaya adalah sangat tidak prosedural dan bertentangan dengan hukum karena dalam fakta kejadian, Sekjen PB HMI dijemput secara paksa oleh aparat kepolisian tanpa memberikan surat perintah penangkapan serta tidak pula memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga. Surat Perintah Penangkapan hanya ditunjukkan dan hanya mencantumkan nama korban tanpa disertai identitas jelas.

Hal ini bertentangan dan melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”, dan Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”

Korban Tidak Didampingi Pengacara Sekitar Pukul 00.00 WIB, Sekjen PB HMI tiba di Kantor Reskrimum Polda Metrojaya langsung dibawa ke ruang pemeriksaan oleh aparat kepolisian daerah Metro Jaya.

Saat pemeriksaan tersebut, korban tidak diperkenankan untuk didampingi oleh siapapun termasuk oleh Tim Kuasa Hukum, padahal dugaan tindak pidana yang disangkakan adalah Pasal 211 jo. Pasal 212 KUHP, yang ancaman hukumannya diatas 5 (lima) tahun. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 54 KUHAP yang berbunyi: “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

Tim Advokasi Muslim Indonesia (TAMI):

M. Akhbar Dewani, SH
Tegar Putuhena, SH, MH
Muhammad Syukur Mandar, SH. MH
Asban Sibagariang, SH
Syamsul Huda, SH. ME
Rimba Supriatna, SH. MH
Randi Saputra, SH
Irwan, SH
Ahmad Yasin, SH
Dzulfikar Adhiyatma, SH
Rio Ramabaskara, SH
Muhammad Joni, SH, MH
Zulhaina Tanamas, SH
Fadli Nasution, SH, MH.[DOD]

Share
Leave a comment