RUU Migas: Mosi Hak Lokal dan National Oil Company (1)
TRANSINDONESIA.CO – Setahun lalu, tatkala bergiat menulis makalah Seminar “Urgensi RUU Migas dalam Mendorong Kedaulatan Energi Nasional” oleh Nusantara Sustainable Resources Initiative (Nusantara Initiative), 23 Desember 2015, di Jakarta, pikiran patik meloncat ke kampung halaman negeri Melayu Langkat. Di sana terletak kota minyak Pangkalan Berandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Di kota Pangkalan Brandan itu terbangun kilang minyak paling mula dari sembilan kilang minyak di Indonesia. Tahun 1883 ditemukan sumur minyak pertama era sebelum kemerdekaan, tepatnya di Telaga Said (kini Kecamatan Sei Lepan, 110 kilometer barat laut kota Medan). Kilang minyak itu kebetulan saja ditemukan warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker, ahli perkebunan tembakau kompeni Deli Tobacco Maatschappij.
Bekerjasama dengan perusahaan Belanda kala itu atas izin Sulthan Musa yang berkuasa di Kesulthanan Langkat. Tahun 1891 mula diproduksi hasil minyak bumi dengan kontrak kerja Sulthan Musa dengan perusahaan Koninklijk Nederlandsche Maatschappij.
Bagaimanakah Pangkalan Brandan kini? Julukan kota minyak kepada Pangkalan Brandan, tinggal kenangan. Kikis sudah migas di perut bumi sana membuat Pertamina menutup unit pengolahan di wilayah itu. Dengan judul “Pertamina Tutup Pangkalan Berandan”, diwartakan media online detik finance 08/03/2007 tidak ada kegiatan di unit pertama Pertamina itu. Hanya water treatment dan genset yang beroperasi disana, semua peralatan diposisikan dalam keadaan stand by. Perumahan karyawan (Puraka) ditinggalkan tidak berpenghuni.
Asetnya pun sudah dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang Cabang Medan yang menerbitkan pengumuman 13 Desember 2012 di harian Waspada. Sejumlah karyawan yang tadinya bekerja di unit pengolahan ini telah dipindah tugaskan ke unit Pertamina yang lain. Warga lokal menghibur diri secara satir, “Pangkalan Berandan Layak Miliki Museum Pertamina”, seperti dikutip media online republika, 24/09/2014. Dua paragraf ini menguncah emosi penulis yang pada masa kecil sempat menyaksikan kejayaan kota dengan kilang minyak pertama di republik. Mungkin nasibnya bak pepatah Melayu: “Habis manis sepah dibuang”. Kikis-lah hak lokal. Seakan tiori siklus degradasi kota tambang berumur 50 sampai 100 tahun saja.
Dari Lokal ke Nasional kembali “Lokal”
Sejarah adalah guru yang jujur dan adil. Kua sejarah, kelembagaan minyak dan gas (migas) tumbuh dan berkembang dari skala kecil dan lokal bermetamorfosis menjadi skala nasional. Dari yang semua relatif kecil menjadi relatif besar. Atau, dari yang semula mikro menjadi terintegrasi. Namun, kemudian dipotong-potong lagi menjadi tak terintegrasi sebagai National Oil Company.
Sejarah mencatat, perusahan minyak Indonesia bermula dari skala lokal dan kemudian melebur menjadi nasional, yakni mulai dengan “trio” PERMINA, PERTAMIN, PERMIGAN yang melebur (untuk membesar) menjadi PERTAMINA tahun 1968 (PP No. 27 Tahun 1968).
Ketiganya dengan lokasi daerah dan mitra yang berbeda-beda. PERMINA untuk mengoperasikan langan-lapangan minyak Shell di Sumatera Utara, PERTAMIN untuk lapangan minyak di Jambi dan Bunyu yang dahulu dioperasikan Nederland Indische Aardolie Maatchchappij (NIAM). PERMIGAN mengoperasikan lapangan-lapangan Shell di Cepu (Jawa Tengah). [Madjedi Hasan, “Pacta Sunt Servanda”, Fikahati Aneska, Jakarta, 2005, hal.58; Rudi M. Simamora, “Hukum Minyak dan Gas Bumi”, Djambatan, Jakarta, 2000, hal.11-31].
Sejarah mencatat telah pernah dilakukan integrasi pengelolaan migas Indonesia. Pada tahun 1960, PT PERMINA direstrukturisasi menjadi PN PERMINA sebagai tindak lanjut dari kebijakan Pemerintah, bahwa pihak yang berhak melakukan eksplorasi minyak dan gas di Indonesia adalah negara.
Melalui satu Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan Presiden pada 20 Agustus 1968, PN PERMINA yang bergerak di bidang produksi digabung dengan PN PERTAMIN yang bergerak di bidang pemasaran guna menyatukan tenaga, modal dan sumber daya yang kala itu sangat terbatas. Perusahaan gabungan tersebut dinamakan PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (Pertamina).[http://www.pertamina.com/company-profile/sejarah-pertamina/1968-integrasi-pengelolaan-migas-indonesia/].
Bagaimana sekarang? Dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (“UU Migas 2001”) justru sebaliknya terjadi “pemeretelan” atau unbundling PERTAMINA. Dari satu-satunya dan menjadi terimbas liberalisasi, dimana PERTAMINA kini sama saja dan setara dengan pelaku kegiatan usaha migas lainnya baik korporasi swasta nasional maupun asing, BUMN ataupun BUMD. Imbas UU Migas 2001, ukuran PERTAMINA yang dulunya pemegang kuasa pertambangan (mining rights), economic right, dan terintegrasi vertikal kini hanya sekelas perusahaan “lokal” yang tercincang menjadi kecil-kecil dengan penguasaan perjanjian kerjasama bagi hasil (economic right) yang hanya 15% saja dari produksi nasional.
Kua sejarah, Indonesia pernah berjuang hebat mengusahakan kedaulatan energi, dengan tindakan progresif renegosiasi konsesi minyak asing dengan Mosi Mohammad Hasan, Ketua Komisi Perdagangan dan Industri di DPR. Mohammad Hasan meyakini (i) ladang-ladang minyak di Sumatera Utara dapat dinasionalisasi dengan ganti rugi, (ii) Indonesia tidak mendapatkan pembagian yang setimpal atas operasi perusahaan minyak asing menurut Konsesi dan peraturan perpajankan yang berlaku. Mosi Mohammad Hasan didukung Kabinet dan menyetujui dengan suara bulat pada Sidang 2 Agustus 1951. [Rudi M. Simamora, hal.24-25].
Tahun 1951 Mohammad Hasan lantang mengajukan nasionalisasi perusahaan tambang. Mosi Mohammad Hasan menghasilkan nasionalisasi beberapa perusahan minyak Belanda kepada Permina (1957) dan Pertamin (1961) yang keduanya merger tahun 1968 menjadi Pertamina [https://en.wikipedia.org/wiki/Teuku_Muhammad_Hasan].
Bagaimana sekarang? Mari memulianya dari konstitusi. Kua Konstitusi, Hak Mengusasai Negara (HMN) atas energi dan sumber daya alam (SDA), sudah jelas dan valid dalam konstitusi dan Putusan MK. Merujuk Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, menjamin bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Idemditto pendapat Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 36/PUU-X/2012 yang menguji UU Migas bahwa maksud “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” itu bukan hanya membuat regulasi (regelendaad), namun mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun panca fungsi HMN yang dihasilkan dari kerja keras MK, tidak efektif berlaku di Indonesia, dimana harga BBM yang masih mengacu harga keekonomian (pasar), Pertamina bukan NOC, karena diposisikan sama saja dengan pelaku usaha migas lainnya, baik swasta nasional ataupun asing.
Mengacu HMN itu maka revisi UU Migas 2001 menurut MKI beralasan dan valid serta bijak konstitusi jika memperkuat dan menjadikan PERTAMINA sebagai National Oil Company (NOC). Mengapa perlu NOC? Merujuk Leslie E. Grayon dari University of Virginia dalam bukunya yang berjudul “National Oil Companies” (1981), betapa pentingnya NOC.
Tahun 1970, sekitar 70 % perdagangan minyak dunia dikuasai oleh perusahaan migas multinasional, namun satu dekade kemudian dominasi perusahaan migas multinasional tersebut turun menjadi sekitar 50% saja, dimana NOC mulai mengambil peranan didalamnya].
Kini, dengan UU Migas 2001 status PERTAMINA sama saja dengan perusahaan swasta nasional, perusahaan asing, perusahaan lokal ataupun koperasi yang menjadi perusahaan kontraktor kontrak kerjasama migas. Sebab, UU Migas memosisikan PERTAMINA bukan sebagai NOC. Itu ikhwal yang tragis dan tidak adil bagi negara produsen migas yang dalam konstitusinya menegaskan bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, mencakup mineral rights, mining rights maupun economic rights atas kekayaan nasional migas. Bukankah doktrin internasional justru mengakui doktrin “permanent sovereignity over natural recources” yang dihasilkan Majelis Umum PBB?
Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Advokat/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]