TRANSINDONESIA.CO – Cerita klasik dari Timur Tengah dikenal kisah 1001 malam, yang menceriterakan tentang kehidupan, penuh isnpirasi dan menyelamatkan sang putri dari hukuman mati.
Di suatu negeri yang dari lahir, hidup hingga matipun ada calonya. Bukan itu saja, dalam hal-hal yang bersifat rohani, spiritual sampai menuju kebahagiaan abadipun ada calonya. Tidak salah menjadi calo, karena sifatnya membantu, meringankan, sebagai jasa yang perlu diberi apresiasi.
Namun tatkala berdampak terjadinya diskriminasi dan pengabaian atas persyaratan atau standar normatif, penyuapan, pemerasan maka percaloan akan menjadi masalah sosial.
![Ilustrasi](http://transindonesia.co/wp-content/uploads/2016/08/Negeri-Calo.jpg)
“Negeri 1001 calo” ada bermacam calo dari kelas coro sampai dengan kelas, kakap prinsipnya wani piro. No money no honey/no service. Ono rego ono rupo. Pelicin, amplop bertebaran di semua lini meja birokrasi, dari yang temporer sampai rutin semua ada. Dari yang cash ala kondektur/kasir manual sampai cara-cara elektronik ada.
Uniknya, semua memaklumi bahkan tidak PeDw bila tanpa calo. Untuk mask sekolah sekalipun yang diutamakan mencari calo daripada harus belajar atau mempersiapkan diri.
Sikap permisive ada di mana-mana semua senyum dan merasa happy. Bagi yang diperas atau harus memberi amplop bukan marah malah senang, bangga dan tanpa malu menceriterakan sebagai suatu prestasi dan kemampuanya menaklukan aturan-aturan normatif.
Mau protes kepada siapa, mau marah apalah gunanya, melawanpun akan sia-sia. Semua lini sudah kecanduan dan membanggakan percaloan ini tiada lagi rasa bersalah, atau niatan tidak ikut-ikutan.
Seakan semua hanyut tersihir larut dan menikmati candu calo ini. Jangankan memangkas baru memperbincangkan saja bisa dimatikan.
Tatkala berjanji memperbaiki, inipun dicalokan lagi untuk pelaporan. Perbaikan, reformasi, bahkan revolusi sebatas indah dalam laporan. Implementasinya tetap saja GGA (gitu-gitu aja). Semoga candu negeri 1001 calo bisa menjadi refleski bagi negeri tercinta ini…[CDL02082016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana