Tanggapan Sahabat tentang Novel “Menari Bersama Kabut” Mas Hadi
TRANSINDONESIA.CO – Ini sebuah takzim sederhana kepada sebuah novel. Ya, novel yang bertitel alegoris: “Menari Bersama Kabut”.
Dugaan saya, “Menari Bersama Kabut” ini bakal mencuri perhatian penggemar sastra kontemporer.
Penulisnya pun bukan hanya penulis biasa yang hanya menulis, namun penulis yang melakoni menjadi kandungan isi. Sehingga lebih kuat dan pilihan katanya bernyawa.
Saya tahu itu, tersebab Hadi Supeno menulisnya setakat masih menjabat Wakil Bupati Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. Sampai saat ini pun masih menggawangi kantor Kabupaten Banjarnegara, yang es dawetnya terkenal sedap itu. Penyanyi legendaris pemilik suara khas dan lirik puitis Ebiet G.Ade berasal dari sana.
Menjadi pejabat dan penulis sekaligus bukan kerjaan biasa. Gumam saya: betapa kuat minat Hadi Supeno ikhwal merampungkan inci demi inci novel ini. Selain plot dan isinya, novel ini patut dibaca untuk menelisik rahasia tenaga apa yang mengenapi semangatnya? Di tengah kesibukan akut baik formal dan informal menjadi pelayan masyarakat.
Dengan latar belakang sebagai guru, jurnalis dan aktifis, serta acap kali mementaskan seni wayang sebagai dalang, Mas Hadi berhasil menyiasati “pedang” waktu untuk merampungkan novel yang menceritakan perjalanan menanjak tempat tinggi berkelok sehingga seperti lakon menari. Menari menemui rakyat di kawasan pengunungan di tanah tinggi.
Siapakah dan apakah defenisi Hadi Supeno sebagai pejabat daerah? Tidak. Saya tak akan tergoda menuliskan kiprahnya sebagai Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, yang yang menduduki posisi itu untuk jabatan kali kedua. Saya tidak akan berkampanye.
Ia orang yang sederhana dan murah senyum kepada siapa pun dia. Pun demikian, Ia pembelajar yang sabar mendengar. Selain kepiawaian menulis, semenjak awal beliau menceritakan plot novel itu di Cikini beberapa tahun silam, saya sudah mematrikan percaya kiranya Hadi Supeno mulus menuntaskan sampai paragraf akhir novel “Menari Bersama Kabut”.
Itu terbukti dan abadi. Koq? Menuliskan adalah menghidupkan keabadian, itu kutipan dari sastrawan beken Pramoedya Ananta Toer.
Mengapa saya menorehkan igauan ini? Sebab saya begitu suka semenjak judulnya. Selain dikerjakan sembari memimpin negeri Banjarnegara, itu terbilang istimewa bagi saya yang acap kekurangan waktu senggang untuk menukis puisi.
Selebihnya, ingin mengapresiasi ketabahannya dalam berpendapat ikhwal menulis novel yang berlatar kerakyatan dari bagian tengah tanah Jawa.
Saya ingin pembaca memperoleh kesan itu dari esay ringan atas terbitnya novel “Menari Bersama Kabut” ini.
Kalaupun ada alasan lain, karena kami dulu pernah se-ide dan seperjuangan dalam “lawyering” hak anak. Selaku Ketua KPAI, Hadi Supeno merasa cocok dan mengajak saya bahu membahu berjuang di Mahkamah Konstiusi (MK) menghapuskan pemenjaraan anak versi UU Pengadilan Anak.
Akhirnya MK mengabulkan sebagian. MK menerbitkan amar putusan yang menaikkan usia tanggungjawab pidana anak menjadi 12 tahun. Itu salah satu perkara di MK yang menerbitkan pengalaman berwarna saya sebagai advokat.
Dan, Hadi Supeno juga bergiat bersama saya melakoni takdir sosial ikhwal penanggulangan bahaya rokok yang adiktif dan karsinogenik namun agresif menyasar anak-anak muda belia.
Kembali ke soal “Menari Bersama Kabut”. Pekan lalu, saya dikabarkannya bahwa novel yang renyah gurih itu sudah diterbitkan Balai Pustaka, penerbit BUMN yang tentu reputasinya bukan penerbit biasa.
Melalui novel itu, Mas Hadi melukiskan kegirangan hati “menari” menembus malam, menanjaki tanah dan jalan mendaki menemui perasaan-perasaan sederhana milik rakyat sederhana, malah bersahaja, sampai ke puncak-puncak nan berkabut.
Walau saya tak pernah punya kesempatan ke sana, saya percaya untuk tiba ke sana tak cukup sekadar dengan semangat dan tenaga sederhana. Lantas? Mungkin karena Mas Hadi juga pelaku seni wayang berpredikat sebagai dalang, memancutkan tenaga berlimpah ruah, karena enzim endorphin dari hati riang, yang menyumbangkan tenaga jumbo menelusuri jalan-jalan berkabut yang meliuk itu, seperti lakon menari.
Novel dengan setting kawasan tengah Jawa Tengah ini elok dibincang sembari mereguk setangkup kopi, mengapresiasi bagaimana mengelola aspirasi otentik dari rakyat desa yang bersahaja dan bagaimana menjemput elektabilitas aseli melalui pangung-pangung seni.
Dalam batin saya bertutur, bincang atas novel ini semakin berwarna tatkala menyertakan pula komentar dan mendengar horison Emil Aulia. Karena dia yang menulis novel ikhwal serupa yang bertitel “Berjuta-juta Dari Deli”, dengan setting sejarah rekrutmen pekerja asal tanah Jawa untuk pembuatan kebun-kebun tembakau di tanah Deli sana. Tanah bertuah, yang pohon tembakaunya berdaun “emas”.
Saya pernah mendengarkan langsung agenda Mas Hadi Supeno menerbitkan novel ke dua dan ketiga. Sepenggal harap dikirimkan agar novel kedua miliknya bertitel “Mata Malam” segera rampung.
Terawangan saya, “Mata Malam” bakal makin asyik dengan gaya bahasa alegoris menceriterakan lika liku sepasang indra berbola yang melihat tak cuma dengan cahaya, namun dengan perkakas hatinya. Seperti pernah dibocorkan penulisnya.
“Mata Malam” yang menjadi abadi tersebab dituliskan itu, akan dibaca dengan bola mata yang menari. Mata yang tersenyum.
Terus menulis mas! Pesanku, jangan lupa bahagia, dengan menulis terus. Seperti kukutip dari pesanmu.[MUHAMMAD JONI, Advokat]