RTJ (2-4): Interupsi, Hak Pengelolaan Berdimensi Publik

TRANSINDONESIA.CO – Andai kata Reklamasi Teluk Jakarta (RTJ) selesai dan menciptakan 17 pulau-pulau buatan berbentuk mirip pola garuda, apakah status hukum tanah hasil reklamasi dengan cara menguruk genangan air menjadi daratan.

Selain itu, sebagai pemegang HPL Gubernur DKI Jakarta   bisa   saja   meminta prasyarat kepada pengembang pemegang ijin pelaksanaan reklamasi wajib memberikan 15% dari areal efektif yang dapat dijual (saleable area), di luar  fasilitas  sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum),  atau prasarana, sarana dan utilitas (PSU). Patut dicatat   positif ikhtiar kontribusi 15%  saleable area itu sebagai jurus cerdas jitu pemerintah.

Walaupun,  jika mengasumsikan reklamasi dianggap sama dengan  pembebasan tanah,  maka merujuk   Keputusan Gubernur DKI No. 540 Tahun 1990, untuk lahan perumahan luas 5.000 meter persegi atau lebih, justru diwajibkan membangun rumah susun murah berserta fasilitasnya seluas 20% dari areal manfaat komersial. Hemat penulis, justru kontribusi dari total lahan  mestinya digagas 20% bukan 15%.

Reklamasi Teluk Jakarta.[Ist]
Reklamasi Teluk Jakarta.[Ist]
Soal   itu   ada   pada   aras   kebijakan/regulasi.   Di   titik   ini   peran   pemerintah   pusat   atau   Tim Pengarah yang disebutkan Keppres No. 52 Tahun 1990 bisa turun tangan, sehingga   tidak hanya menjadi agenda kawalan dan urusan Pemprov DKI Jakarta saja.

Penting   diulas,   sesuai     Keppres   No.   52   Tahun   1995,     reklamasi   pantai   utara   Jakarta mensyaratkan pembentukan  Tim Pengarah yang dipimpin Kepala BAPPENAS dan  Menteri Sekretaris Negara,   Menteri   Dalam   Negeri,   Menteri   Pertahanan   dan   Keamanan,   Menteri   Lingkungan   Hidup, Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Agraria/Kepala BPN, yang  masing-masing sebagai Anggota. Tersebab itu ikhwal reklamasi pantai utara Jakarta tidak urusan Pemprov DKI Jakarta semata.

Hemat   penulis,   kuat   alasan   jika   Menteri   Pekerjaan   Umum   dan   Perumahan   Rakyat mengarahkan  kebijakan  peruntukan   tanah  reklamasi  bagi     perumahan   rakyat   mengatasi   backlog, kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni, kebutuhan bank tanah dan ruang terbuka hijau.

Selama ini, kiprah pemerintah pusat tidak terdengar dalam status Tim Pengarah, malah yang muncul perbedaan pendapat  secara terbuka di media yang mestinya dapat dihindari.   Dengan merujuk kepada Keppres No. 52 Tahun 1995, reklamasi pantai utara Jakarta bukan hanya hajat Pemrov DKI Jakarta namun mencakup pemerintah pusat. Menjaga kepentingan public dan tentu tidak melulu korporatisasi tanah pulau-pulau buatan. Pemerintah mesti bijak menjelaskan

mitra pengembang   reklamasi   tidak   serta   merta   menjadi   pemegang   hak   atas   tanah   di   atas   HPL Pemprov DKI Jakarta untuk seluruh luas pulau, namun ada peersedian dan peruntukan tanah untuk kepentingan publik demi pengembangan Kawasan Pantura. Mengurai kusut soal di kawasan yang terancam resiko tenggelam itu.[Selesai]

Oleh: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Sekretaris Umum Housing and Urban Development Institute]

Share