Tragedi Transportasi Aplikasi: City Law Concept [1]

TRANSINDONESIA.CO – Jakarta dilanda kejadian yang unik terkait penggunaan aplikasi  moda transportasi darat.  Demo, blokir jalan dan pertikaian terjadi di beberapa jalan. Peristiwa itu  menyulitkan perlintasan warga dan menjadi sorotan luas media.

Peritiwa itu  mempersoalkan legalitas transportasi online yang tengah digandrungi warga kota yang menggerus rezeki pihak lain.

Keadaan makin simpang siur, siapa yang berwenang? Soal blokir taksi online, Ahok memnyebut itu urusan Menhub dan Menkominfo. Seperti diwartakan media,  Menhub Jonan  menilai aksi demo para sopir taksi  bukan urusan dari Kemenhub,  melainkan  urusan  Gubernur DKI  Jakarta.

Mogok massal angkutan umum dan taksi.[Ist]
Mogok massal angkutan umum dan taksi.[Ist]
Lepas dari soal  kebutuhan dan kemajuan teknologi, akankah kota membiarkan? Atau mengaturnya?

Mempelihatkan sikap (hukum) berbeda. Namun, yang pasti kejadiannya terjadi di tempat yang sama: Ibukota Jakarta.  Bagaimana korelasi hukum dengan kota?   Literatur   ada yang menyebutnya dengan “City Law Concept. Bagaimana hukum kota efektif bekerja?

Kubaklah sejarah, kota berkembang bersama dengan hukumnya.  Seperti halnya Batavia dan Tumasek, berbagai kota di dunia di mulai dengan bentukan pelabuhan.  Menjadi sasaran pendatang.

Versi Wikipedia,  abad ke 14 pulau Singapura merupakan sebagian dari kerajaan Sriwijaya yang  dikenal sebagai Temasek (“Kota Laut”). Kemudian Sir Stamford Raffles mendirikan sebuah pelabuhan Inggris di situ.

Merujuk Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi,  ketika Singapura dibersihkan,  terdapat  bukit larangan dan  banyak pohon buah yang ditanam. Ditemukan pula  batu bersurat yang menunjukkan Temasek telah menjadi pusat administrasi sejak silam. Jauh sebelum Inggris tiba.

Batavia didirikan di pelabuhan bernama Jayakarta yang direbut dari kekuasaan Kesultanan Banten. Nama Batavia dipakai sejak  tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Sebagai bagian dari de-Nederlandisasi, nama kota diganti menjadi Jakarta. Dari arsip kota Batavia, didapatkan informasi mengenai berfungsinya dewan-dewan kota, publikasi peraturan-peraturan (plakat). Plakat adalah hukum.

Dulu,  kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli. Tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha, dengan beberapa sungai melintasi kota Medan yang  bermuara ke Selat Malaka. Tercatat,  yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus.

Lokasinya  di Tanah Deli. Sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut. Kota pun tumbuh dan terbuka.

Terbuka, meluas, tumbuh  dan metamorfosa agaknya sudah takdir kota. Terbuka kata lain dari inklusif.   Meluas, tumbuh dan metamorfosa adalah konsekwensi kota inklusif.  Bagaimana dengan kulturnya?

Mengintip sejarah, otoritas  kota tak hanya membangun citra fisiknya. Kota terbuka dan tumbuh dengan inklusif. Tata kelola kota diadministrasikan, berkembang bersama aturan dan kepatuhan aturan yang nirfisik. Sejarah kota terendus dari sejarah plakat aturannya. Kota adalah negara yang tertua, karena cikal bakal negara adalah kota dan  disebut Negara Kota.

Sudah takdir kota yang menjadi sasaran warga pendatang dan imigran. Pun demikian, sudah takdir kota pula terikat dengan aturan dan kepatuhan.

Lazimnya, pendatang baru membawa kebiasaan bawaan dari tempat asal, terikat dengan subkultur lokal yang menggenapi kelakuannya.  Pada titik ini, kota bukan hanya penjumlahan gedung  fisik dan infrasturktur: jalan, jembatan, listrik, sistem sanitasi,  air bersih,  perkakas transportasi.

Lengkap dengan beragam properti permukiman, perkantoran, komersial, semuanya untuk  memudahkan interaksi sosial-ekonomi  dan  lalu lintas bisnis warga.  Namun  juga persintuhan  subkultur dan kebiasaan nonfisik di ruang sosial kota, yang kerap terjadi persilangan dan disorientasi kelakuan.

Karena itu, membangun kota adalah  merekayasa keteraturan dan kepatuhan aturan, yang bermuara pada kultur kota. Yang terhormat  otoritas kota, selain tegas, bersiaplah tabah mengiat-giatkan  keteraturan dan kepatuhan  sebagai agenda utama.

Pada titik itu,  ihwal menertibkan landmark  monumen nasional (Monas) di Jakarta, normalisasi lapangan merdeka Medan dari Merdeka Walk,  beralasan mutlak didukung. Membangun kepatuhan, tak kalah  penting dengan membangun citra kota,  kemolekan fisik kota dan fasad propertinya.

Dengan keteraturan dan kepatuhan, kota nyaman dan gurih  bagi  gerak gelombang  perlintasan warga. Nyaris tanpa  kengerian dan kecurigaan. Seluruh “mata kota” yang bernama aturan dan kepatuhan warga mengawasi  setiap sudut kota. Sudahkah  kota  memiliki “mata kota” di setiap sudutnya?

Membangun kota dengan kepatuhan lebih sulit dari membangun fisik kota. Perlu ketangguhan dan ketabahan otoritas kota menggerakkan warganya. Karena kepatuhan otentik yang diperlukan menata kota, berada pada partisipasi dan inklusif warga dengan kotanya. [Muhammad Joni –  Advokat, Sekretaris HUD Institute,  Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia]

Share