Gagasan GBHN Kemunduran Reformasi dan Memudarkan Demokrasi

TRANSINDONESIA.CO – Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) menilai gagasan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) merupakan kemunduran atau menganulir reformasi yang sudah 18 tahun diperjuangkan, dan tidak baik untuk konstitusional jika menghendaki GBHN yang “state centris” dengan memudarkan demokrasi langsung dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.

“Ketika PDIP sebagai partai pemerintah mengagas lagi GBHN, mestinya itu bukan sekadar mengoreksi isi haluan negara yang dibonsai menjadi haluan Pemerintah atau hanya sekedar visi Presiden terpilih,” kata Ketua MKI, Muhammad Joni didampingi Wakil Sekretaris MKI, Irwansyah Boteng, di Jakarta, Sabtu (23/1/2016).

Menurut Joni, jangan pula  mengagas lagi GBHN menganulir reformasi konstitusi yang sudah berusia 18 tahun.

“Tak elok konstitusional jika menghendaki GBHN yang “state centris” dengan memudarkan demokrasi langsung dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat,” terang Joni.

Bagi MKI lanjut Joni, haluan negara adalah instrumen yang konstitusional untuk membumikan tujuan bernegara, dimana sejahtera adalah alasan utamanya, karena itu pendiri bangsa ini memasukkan pasal kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat dalam konstitusi.

“MKI perecaya, GBHN instrumen untuk tepat, segera, dan menyeluruh mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Kesejahteraan sosial itu untuk menjembatani antara kekuasaan Negara dengan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Tapi haluan negara itu, bukan semata-mata untuk membuat tata negara yang kuat dalam bekerja dan bekerja dan bekerja, tapi lebih utama untuk menjamin kadar kesejahteraan rakyat yang berkeadilan,” katanya.

Buku-buku GBHN.
Buku-buku GBHN.

Lebih afdol negara yang adil daripada negara perkasa kata Joni, jika tidak negara perkasa cenderung melemahkan rakyat, dan efek domino selanjutnya ketidak adilan dimana-mana, pembuatan dan penegakan hukum tidak memanusiakan manusia, hak asasi manusia dilanggar dengan kekerasan negara, eksploitasi sumberdaya alam dan perusakan lingkungan adalah tunangannya.

“GBHN sebagai haluan negara, kontennya bisa diperdalam dan dirumuskan dalam bentuk UU saja, bukan amandemen konstitusi yang surut kebelakang,” tegasnya.

Dikatakan pengacara muda ini, gagasan memunculkan lagi GBHN itu konstruktif untuk memastikan arah bernegara agar tidak terjadi relasi yang tidak senonoh antara negara dengan rakyatnya.

“Gagasan memunculkan lagi GBHN didukung jika untuk memastikan hubungan elok dan senonoh negara dengan rakyat, dan memastikan cara negara mencapai cita-cita UUD 1945. Sebaliknya, tidak tepat jika GBHN mengambil cara  bergerak mundur kebelakang dari reformasi konstitusi,” katanya.

Lebih kanjut Joni menyatakan, untuk apa menggunakan isu GBHN jika mendorong amandemen terbatas UUD 1945 yang memundurkan konstitusi.  GBHN memang diperlukan karena tidak mungkin negara dibangun tanpa haluan yang jelas. Soalnya, jika diasumsikan GBHN sebagai mandat rakyat hanya bisa efektif jika MPR dikembalikan lagi sebagai MPR seperti UUD 1945 sebelum amandemen.

“Memosisikan MPR kembali setingkat lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lain, itu sama saja dengan menganulir demokrasi langsung. Yang perlu ditinjau, menurut MKI,  apa yang kurang dan lemah dari lembaga-lembaga negara tersebut. Mempertegas sistem nasional dalam bernegara. Bila demikian, GBHN bisa saja secara substansi adalah proses dialogis dari rakyat yang dilakukan dengan ultra legislasi yakni dibahas dan disetujui oleh MPR, DPR, DPD, sebagai lembaga perwakilan,” katanya.

Dikatakannya, MKI mendukung GBHN yang bukan “government oriented”. Namun, Tidak baik bagi konstitusional jika  terlalu cepat membawanya kepada perubahan konstitusi yang menafikan sistem nasional.

?Sistem nasional yang menyejahterakan dan berkeadilan yang dilakoni dengan hukum yang memanusiakan manusia, dan tentu saja dengan bimbingan ruhani spiritualitas Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Joni.(Lin)

Share