Ini Lima Hal yang Sering Dikorupsi Kepala Daerah

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, menyebut lima titik rawan korupsi kepala daerah. Hal tersebut diutarakannya pada rapat koordinasi pengawasan urusan penyelenggaraan pemerintah daerah tingkat nasional di Jakarta, Selasa (15/12/2015).

Lima zona rawan penyelewengan uang negara itu adalah belanja hibah dan bantuan dana sosial; pengadaan barang dan jasa; pajak dan retribusi daerah; belanja perjalanan dinas serta penyusunan anggaran.

Tjahjo memaparkan, selama ini kepala daerah kerap menjadi tersangka korupsi karena menyalahgunakan lima program tersebut untuk mengeruk keuntungan pribadi. “Area rawan korupsi itu harus dipahami setiap kepala daerah,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Kemendagri, pada tahun 2010 terdapat 32 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua tahun berikutnya, kepala daerah yang menjadi pesakitan di komisi antirasuah menunjukkan angka serupa, yakni empat orang.

Setelahnya, terdapat peningkatan jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka di KPK. Pada tahun 2013 terdapat lima orang, sementara pada tahun 2014 mencapai 11 kepala daerah.

Secara tidak langsung, menurut data yang dipaparkan Tjahjo, penyelewengan keuangan negara memberikan ekses terhadap laporan keuangan pemerintah daerah.

Pada tahun 2014, berdasarkan laporan keuangan pemda, setidaknya terdapat kerugian negara mencapai Rp1,42 triliun. Angka itu belum termasuk potensi kerugian yang mencapai Rp1,40 triliun dan kekurangan penerimaan senilai Rp373 miliar.

Sementara itu, saat ditemui pada kesempatan yang sama, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Aziz mengatakan, sejak tahun 2009 hasil audit tahunan terhadap laporan keuangan pemda menunjukkan kemajuan yang positif.

“Sudah menunjukan grafik yang terus meningkat. Tahun 2009 mencapai WTP (wajar tanpa pengecualian) 31 persen. Sekarang sudah 51 persen,” ujarnya.

Tahun 2015, menurut Harry, BPK akan mengaudit laporan keuangan kementerian, lembaga dan pemda secara lebih kompleks. “Kami berharap yang akan BPK serahkan kepada presiden tahun 2016 akan lebih baik,” ucapnya.

Oktober lalu, pada rapat kerja nasional akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah tahun 2015, BPK mengumumkan, terdapat 418 laporan keuangan pemda yang mendapatkan opini wajar pada tahun 2014. Jumlah itu terdiri dari 225 laporan berstatus WTP dan 193 laporan berlabel wajar dengan pengecualian.

Pemerintah provinsi yang mendapatkan opini WTP tahun lalu antara lain Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Utara, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat. “Di beberapa daerah, kesadaran ini sudah mulai tumbuh,” kata Harry.

Harry menuturkan, untuk mencapai opini WTP, batas anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pemda adalah tiga persen.

“Kalau belanja Rp100 miliar, sebanyak Rp3 miliar tidak bisa mereka pertanggungjawabkan, maka BPK tidak mungkin memberikan WTP,” ujar Harry.(Cnn/Met)

Share
Leave a comment