Siaga Asap: Kelalaian, Kesalahan atau Bencana?

Anak-anak sekolah protes asap kabut yang tak lagi bisa menghirup udara segar dan mengganggu aktivitas belajar mereka.(Ist)
Anak-anak sekolah protes asap kabut yang tak lagi bisa menghirup udara segar dan mengganggu aktivitas belajar mereka.(Ist)

TRANSINDONESIA.CO – Asap dampak kebakaran hutan sudah meraja lela tak tertangani. Disamping itu, kemarau panjang menambah parahnya dampak asap. Musim hujan tak kunjung datang, hujan buatanpun sepertinya pasrah tak lagi mampu memadamkan kobaran api yang membuat Indonesia kini diselimuti asap.

Warga mulai panic, kurangnya oksigen, udara segar menjadi barang mewah di negeri yang luas ini dan memiliki hutan dan hamparan laut yang indah berubah menjadi menakutkan.

Dampak asap sudah memakan korban baik kaum dewasa, anak-anak pun sudah disapu ganasnya asap.

Status siaga asap sudah ditetapkan, namun pemberi kepastian masih dipertanyakan oleh masyarakat, dan sampai kini masih wacana, diskusikan, dan saling tuding satu sama lain sedangkan korban sudah berjatuhan.

Kebakaran hutan ataupembakaran hutan? Pertanyaan yang cukup kritis ini sampai detik ini belum terjawab secara pasti.

Sudah ada yang ditangkap dan diperiksa polisi, benarkah dia penyebabnya? Atau mereka hanya korban saja dan mereka yang ditangkap hanya dijadikan korban belaka?

Seandainya mereka benar sebagai penyebabnya apa kepentinganya? Membuka hutan, menyiapkan lahan atau hanya sebagai orang-orang suruhan, sebatas pekerja yang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dari himpitan ekonomi dunia saat ini.

Pesoalan asap yang berulang-berulang dan berulang setiap tahun terjadi apakah inikelalaian atau sebuah ketololan sehingga muncul ketidakmampuan?

Banyak dugaan dan pertanyaan yang tanpa riset bisa dijawab karena mereka tahu apa dan bagaimana terjadi, hanya saja tidak berani.

Kita bangsa rapat, diskusi, berwacana tapi tanpa solusi. Cara-cara konvensional dan manual merupakan ujud bela rasa namun malulah kita ini sudah era digital.

Haruskan ditolong bangsa lain atau memang diserahkan ke orang lain atau haruskah asap sampai Jakarta baru berpikir dan mengakhiri rapat, diskusi, wacananya?

Semoga tidak demikian. Kita masih punya harga diri dan rasa malu. Ahkiri hembusan kabut asap yang menyengsarakan rakyat. Semoga.(CDL-Jkt261015)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

 

Share
Leave a comment