KKN Harga Mati, Kalau tidak KKN Mati

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) seakan sudah menjadi satu rangkaian yang menyatu sebagai sistem bahwa nepotisme dan kolusi merupakan akar dari korupsi.

Dalam birokrasi yang patrimonial, KKN sangat subur dan menggurita sampai ke semua lini. Nilai-nilai budaya institusi terkontaminasi dan kecanduan KKN, seakan tanpa KKN adalah kemustahilan.

Semua seakan harus KKN dan diungkapkan sebagai anekdot atau joke : “KKN harga mati, karena kalau tidak KKN mati”.

Nampaknya sebagai candaan namun maknanya begit dalam dan yang hidup dan berkuasa yang menjadi penunjang dan pendukung KKN. Bagi yang anti KKN akan dimatikan hidup dan kehidupnya, karena dianggap bukan bagian dari mereka.

Nepotisme dalam masyarakat yang menerapkan sistem extended family system akan memicu model pendekatan personal.

Estended family system tidak menjadi maslh sepanjang berdasar pada standar atau kriteria-kriteria dasar kompetensi, moralitas, kepatutan dan tetap mendapat legitimasi. Yang menjadi masalah tatkala dikait-kaitkan dengan pemberian janji atau sesuatu (gratifikasi) atau untuk membangun klik, dan sebagainya.

Kolusi sendiri dapat dimaknai sebagai tindakan-tindakan komunikasi atau menangani berbagai kegiatan maupun masalah dengan pendekatan-pendekatan personal.

Ada dugaan karena adanya penyuapan atau karena keterpaksaan sehingga menjadi sebuah pemerasan.

Memiliki massa, jaringan, kedekatan dengan media menjadi sebuah kebanggaan dan orientasi baru dalam membangun dan menumbuh kembangkan pola-pola kolusi.

Latar belakang kolusi akan berkaitan dengan penguasaan, pemanfaatan maupun pemberdayaan sumberdaya.

Dampak dari nepotisme dan kolusi akan membuahkan korupsi. Korupsi sebenarnya sesuatu pembusukan, dan menjadi kanker dalam politic society maupun civil society yang ujung-ujungnya adalah penderitaan bagi kehidupan banyak orang.

Tatkala korupsi sudah mencandui dan dianggap sebagai sebuah kebenaran dan keyakinan maka, sikap-sikap permisive akan muncul.

Dari sikap permisive inilah yang akan menjadikan korupsi menjadi sesuatu yang biasa dan sudah umum dilakukan bahkan ada yang mendewakan dan membanggakan.

Tatkala sudah mengakar dan meresap ke semua lini kehidupan maka, korupsi sudah menjadi bagian dari budaya. Itulah simbol dan tanda dari kemunduran, kerusakan bahkan kehancuran suatu bangsa.

Memerangi KKN bukan perkara mudah, saking mengakar dan mencandui maka siapa saja yang akan melawan bisa dimatikannya dan membuat pola bahwa, “kalau akan hidup ya KKN, kalau ingin mati ya silakan anti KKN”.

Sepertinya kalimat tadi biasa-biasa saja bahkan ada yang menertawainya, tetapi pada kenyataannya adalah tanda duka yang luar biasa bagi sebuah bangsa.

Melawan KKN tidak bisa secara parsial, manual dan konvensional melainkan harus secara terpadu dan berkesinambungan.

Melawan KKN perlu pemimpin yang mempunyai visi dan nyali. Visi sebagai cermin pengetahuan dan mimpinya. Sedgkan nyali merupakan keberanian untuk melawan, bernyali juga simbol bukan produk hutang budi dan sebagai tanda ia berhati nurani.

Selain memiliki visi dan nyali diperlukan adanya program-program untuk pemberantasan korupsi, dukungan dari berbagai pihak (stake holder) dan mendapat legitimasi yang kuat.

Tatkala gerakan moral anti KKN sudah menggelora maka “KKN sama dengan Mati”. Maknanya adalah KKN adalah sumber petaka bagi bangsa ini.(CDL-280115)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment