
TRANSINDONESIA.CO – Polisi sebuah institusi penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan. Makna dari sebutan tersebut sisi pendekatan kelembagaaan, pendekatan fungsi maupun pendekatan petugaasnya, ada benang merah yang dapat diambil yaitu menjadi ikon.
Ikon berarti mempunyai karakter dan diakui keberadaanya dan mendapatkan dukungan serta diterima oleh semua pihak. Yang berarti ada trust, memiliki mitra dan layak diunggulkan.
Walaupun Polisi bagian dari pemerintah dan tidak berpolitik praktis namun, para pemimpinya wajib memahami politik dengan segala trik dan intrik-intriknya.
Mengapa demikian? Lihat saja dalam beberapa kasus: ada masalah yang konflik siapa, Polisi jadi kambing hitam dan sasaran amuk massa.
Dampak masalah yang begitu beragam muaranya kalau konflik pasti ke Polisi. Kepentingan-kepentingan politik, lobby politik pun sudah mask dalam raanah Pemolisian.
Mempengaruhi kebijakan, mengintervensi penyidikan dan berbagai pelayanan kepolisian. Dampaknya membuat institusi kehilangan jati dirinya. Tidak mampu mandiri dan bergantung pada pihak-pihak yang kuat dan dekat dengan kekuasaan.
Mereka menjadi semacam makelar baagi terselanggaranya pemolisian di semua lini.
Hubungan dalam sesuatu sebenaraanya adalah hubungn kekuatan. Siapa yang kuat dia yang akan mempengaruhi, yang akan dominan dan yang akan menguasai.
Demikian juga dalam Pemolisian. Hubungan antara Polisi dengan para pemangku kepentinganpun juga dipengaruhi hubungan kekuaatan.
Tatkala kekuatan ini diikuti dengan kepentingan-kepentingan yang bukan demi kepentingan masyarakat maka siapa yang kuat dialah yang menguasai dan bisa saja mengabaikan yang semestinya. Disinilah masuknya berbagai potensi-potensi untuk mengobok-obok Polisi. Bisa dari internal sendiri atau dari eksternal kepolisian.
Makna diobok-obok yang dimaksud dalam tulisan ini adalah: adanya banyak kepentingan yang membuat Polisi: 1. Tidak berdaya, 2. Menjadi bahan bulan-bulanan, 3. Dieksploitasi, 4. Dijadikan kambing hitam, 5. Dijadikan kuda tunggangan, 6. Tidak memiliki harga diri dan jati diri.
Mengapa bisa diobok-obok? Kalau dilihat dari pendekatan hubungan kekuaatan maka yang lemah yang dapat diobok-obok.
Mengapa lemah? Jawaban ini sangat kompleks namun, setidaknya dapat dikarenakan: A. Tidak profesional, B. Model Pemolisian konvensional, manual dan sarat dengan potensi KKN, C.Tidak berkarakter, D. Keberadaanya dianggap sebagai pengganggu atau menjadi beban E. Takut menegakkan kebenaran dan keadilan (birokrasi yang patrimonial) yang core valuenya pada pangkat dan jabatan, F. Petugasnya arogan, masa bodoh dan tidak berempati, G. Banyak penyimpangan dan pelanggaran, H. Pelayanan yang buruk, I. Sulit melakukan perubahan atau ketinggalan zaman.
Dampak dari potensi-potensi yang membuat Polisi lemah adalah label dan citra buruk yaitu ketidak percayaan.
Membangun Polisi yang kuat dan tidak mudah diobok-obok memang harus segera dilakukan baik dikalangan internal maupun eksternal kepolisian antara lain: 1.Pemimpin, 2.Semua lini harus mampu menjadi ikon perubahaan. 3.Polisi mampu bekerja secara profesional, cerdas, bermoral dan modern. 4. Keberadaanya aman menyenangkan dan bermanfaat bagi masyarakat, 5. Mampu bekerja dengan tulus dan memberikan pelaayanan prima (pelyanan yang cepat tepat, akurat, transpran, akuntabel, informatif dan mudah diakses), 6. Membangun kemitraan dengan selurruh pemangku kepentingan, 7. Produk kinerjanya diunggulkan dan menjadi kebanggaan.
Menjadikan Polisi kuat memerlukan nyali yang besar menabrak sarang kaum comfort zone dan kaum penjaga status quo. Menabrak dengan membangun sistem-sistem online yang transpran dan akuntabel. Yang bernyali bukan pemimpinya semata melainkan, seluruh anggota bernyali untuk menjadi baik dan benar.(CDL-150115)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana