Indonesia Dapat 70 Juta Dolar untuk Kehutanan Lestari

hutan-lestariHutan lestari.(ist)

 

 

TRANSINDONESIA.CO – Indonesia mendapat kesempatan untuk mengelola dana sebesar 70 juta dolar AS bagi Program Investasi Kehutanan yang pengelolaannya melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, hingga swasta untuk pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat berkelanjutan.

“Total dana 70 juta dolar AS itu terdiri atas 37,5 juta dolar AS hibah, dan 3,2 juta dolar AS pinjaman lunak untuk swasta,” kata Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan IB Putera Parhama dalam konsultasi publik FIP di Pekanbaru, Riau, Selasa (3/6/2014).

Ia menjelaskan FIP merupakan bagian dari Dana Investasi Iklim yang menghimpun dana dari delapan negara donor seperti Australia, Denmark, Jepang, Norwegia, Spanyol, Swedia, Inggris, dan AS. Mereka mengalokasikan 600 juta dolar AS untuk FIP ke delapan negara percontohan, di mana Indonesia dan Brazil mendapat alokasi terbesar yakni masing-masing 70 juta dolar AS. Dana tersebut disalurkan melalui lembaga internasional seperti World Bank (WB), Asia Development Bank (ADB), dan IFC.

FIP untuk Indonesia disetujui oleh sidang subkomite pada 5 November 2012 di Istanbul, Turki. Tujuannya untuk mengurangi kendala implementasi REDD+ dan meningkatkan kapasitas provinsi dan lokal dalam pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Kegiatan ini sendiri melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang kini dalam proses persiapan diberbagai daerah, dan ditargetkan mulai terlaksana pada 2015-2019.

Ia mengatakan FIP dijabarkan dalam tiga proyek, yang pertama fokus pada masyarakat, diikuti dengan fokus pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan yang ketiga fokus pada swasta. Ukuran hasil dalam program FIP yang menjadi parameter nantinya adalah penurunan emisi karbon dari penerapan REDD+, pengelolaan hutan lestari yang mengtasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, kelembagaan peraturan/perundangan, dan peningkatan kapasitas masyarakat lokal dan asli dalam mengakses informasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

“Fokus pada KPH kemajuannya cukup bagus, sedangkan dengan pihak swasta masih terseok-seok sehingga perlu dibuat penawaran kerja sama yang menarik dan tidak menimbulkan distorsi pasar,” katanya.

Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Ditjen Planologi Kemenhut, Is Mugiono, mengatakan pemerintah terus berusaha melakukan perbaikan tata kelola kehutanan walaupun masih belum efektif dikarenakan lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat lokal. Hal ini bisa dilihat dari regulasi Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB), tata kelola verifikasi legalitas kayu.

“Undang-Undang kehutanan juga mengamanatkan pengelolaan hutan yang terdesentralisasi melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH,” katanya.

Ia mengatakan Kemenhut hingga 2014 menargetkan beroperasinya 120 KPH model dengan luas sekitar 16 juta hektar yang merupakan awal dari pengelolaan hutan ditingkat tapak secara efektif dan efisien. Kebijakan itu dilaksanan dengan tahapan, yakni pembentukan wilayah KPH, pembentukan kelembagan KPH, penyusunan rencana pengelolaan hutan, dan operasionalisasi pengelolaan hutan.

“Hingga 2013 ini sudah ada 90 KPH dan di Riau juga ada, di antaranya KPH Serkab serta KPH Minas dan Tahura,” ujarnya.(ant/ful)

Share