TRANSINDONESIA.CO – Kemarin saya mengajukan permintaan sederhana kepada seorang teman. Agar berkenan sekejap mereka-reka jawaban apakah yang bakal terbit, seandainya kepada pembaca awam spontan ditanyakan ikhwal 4 karakter/huruf: F.L.P.P., yang bertemali dengan Program Sejuta Rumah yang kini mulai populer itu?
Jika akronim FLPP itu, yang berasal dari frasa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, ditanyakan sontak kepada warga yakinkah anda mayoritas warga di negeri ini mengerti apa makna FLPP?
Andai merasuk lebih mikro-teknis lagi ke area seluk beluk perumahan, akankah publik mengetahui dengan terang benderang ikhwal beda antara rumah umum dengan rumah komersial? Walaupun konsumen kedua jenis rumah versi UU No.1/2011 itu sama-sama membelinya secara “komersial” dan menggunakan skim kredit perumahan rakyat (KPR), namun konstruksi hukum “jeroan” KPR-nya berbeda.
Tahukan pembaca perihal seluk beluk bantuan PSU (Prasarana, Sarana dan Utilitas) rumah bersubsidi diberikan kepada konsumen MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) atau kepada pengembangnya sebagai faktor pengurang harga?

Mafhumkah konsumen dengan istilah pertelaan, sertifikat layak fungsi, koefisien dasar bangunan, koefisien luas bangunan? Akankah konsumen awam atau investor pemula mampu membedakan tanggungjawab developer dengan kontraktor? Bisakah publik membedakan antara reklamasi pantai dengan see land fill? Dan seterusnya dan selanjutnya, di titik inilah arti penting mengedukasi publik, konsumen dan/atau MBR dengan literasi properti.
Soalnya tak cuma paham dan penuh luberan informasi ikhwal perumahan, namun bagaimana mengadvokasinya. Jika mereka masih tidak paham dan gagal mengenali konsep semisal FLPP ataupun PSU, bagaimana pula mengharapkan konsumen ataupun MBR berkualitas mengambil keputusan dan bergiat mengusahakan hak-haknya. Sekali lagi, pentingnya literasi properti.
Apa itu literasi properti? Jika anda mengetik kata “literasi properti” di akun google, nyaris tak sampai sepertiga lusin jumlah link yang menyembul. Akankah itu berarti literasi properti masih amat menyedihkan?
Bagi yang tumbuh kembang pada masa jayanya siaran televisi TVRI, agaknya terpatri di alam bawah sadar jargon “Teliti Sebelum Membeli” yang acap ditayangkan setakat iklan niaga usai disiarkan. Secara leksikal, literasi properti bertemali pemahaman tentang properti, atau bisa juga disebut dengan literasi perumahan untuk pemahaman seluk beluk perumahan rakyat/publik. Tersebab itu, mulai paragraf ini penulis mengenalkan kosa kata “literasi properti/perumahan”.
Walaupun, perumahan rakyat dan perumahan publik bisa dibedakan, yang pasti dengan literasi properti/perumahan itu maka konsumen lebih menyadari (aware) dan cermat, cerdas, bijak dan bahkan “selamat” dalam membeli produk properti/perumahan.
Namun jangan curiga dan takut dengan literasi properti/perumahan, karena hal itu justru picu yang mendorong produsen untuk menyempurnakan mutu produksi, standar layanan. Dan menjadi kausal menggeliatkan inovasi demi kepuasan konsumen. Bagi dunia usaha, inovasi ini menjadi kata kunci kemajuan, termasuk developer yang tak luput dengan tantangan perubahan zaman, kencangnya kompetisi, masuknya pemain transnasional. Pelaku pembangunan mesti tabah menghadapi perubahan kebijakan publik yang diturunkan pemerintah terkait properti/perumahan. Sebut saja misalnya rencana menarik pajak progresif atas tanah yang menganggur.
Rencana pajak progresif terhadap tanah menganggur itu, akankah disikapi positif dengan rencana strategis korporasi? Berikut aksi strategis yang menggeser orientasi bisnis dari pengadaan tanah/lahan kepada inovasi produk properti? Dari jargon: lokasi, lokasi, lokasi kepada inovasi, inovasi, inovasi.
Pembaca yang bersemangat, tidak salah jika sekali lagi merujuk pendapat Andrinof Chaniago yang diujarkannya dalam pidato kunci pada seminar dan lokakarya yang dibesut Housing and Urban Development (HUD) Institute, bahwa pihak swasta yang bergerak di bidang properti, harus melakukan re-orientasi bisnis dari bisnis lahan kepada bisnis konstruksi, arsitektur dan jasa pengelolaan.
Caranya? Termasuk pula menggeliatkan literasi properti/perumahan, yang malah bisa menjadi berkah struktural karena terjadinya peralihan yang menciptakan peluang baru dan tradisi korporasi mengupayakan value creation yang gurih bagi industry properti/perumahan.
Sebab, dengan konsumen yang paham tingkat tinggi dan kaya informasi ikhwal suatu produk properti/perumahan akan memudahkan produsen menggiring keputusan cerdas para pembeli/konsumen membeli produk terbaik.
Asumsi dasarnya, pembeli/konsumen yang cerdas dan rasional diperkirakan akan loyal dan “ketagihan” dengan produk properti/perumahan yang mengandalkan inovasi dalam bisnis konstruksi, arsitektur dan jasa pengelolaan. Yang pada gilirannya berguna menciptakan pasar yang loyal, dan terbangunnya relasi-interaksi dalam membangun kepercayaan bersama, dan sekaligus merangsang kreatifitas, reputasi, dan berjayanya ranah inovasi.
Di era kemajuan dijital dan melubernya informasi produk yang bisa diakses dengan mudah oleh kelompok usia muda belia sekalipun, maka konsekwensi terbangunnya literasi properti/perumahan itu menjadi arus yang tak mungkin terhentikan.
Tersebab itu, pentingnya literasi properti/perumahan menjadi makin meluas karena tidak terbatas konsumen komersial namun juga menjangkiti warga MBR yang memiliki daya beli dan terpapar luberan informasi perumahan. Literasi properti/perumahan menjadi keniscayaan dalam industri perumahan yang sanggup mendorong 174 industri turunan.
[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK), Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]