TRANSINDONESIA.CO – Ingin menguliti Undang-undang? Pikir ulang apakah anda hanya merujuk hukum positif semata. Slogan “Lex Dura, Sed Tamen Scripta” yang bermakna “hukum adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya” adalah pepatah klasik yang patut dicerna mendalam, namun tetap kritis tak hanya kata-kata atau frasa bahkan menembus sari patinya.
Jurus menguliti ala kaum legalistik yang berpendapat seakan hukum bersifat netral alias lepas dari konteks politik, sosiologis dan nonhukum, sudah menjadi sentral kritik penganut hukum responsif dan ajaran studi hukum kritis (SHK). Yang memosisikan hukum berada dalam pusaran dinamika kekinian dalam lingkungan sosial dan politik.
Pembaca, ijinkan mengulas sedikit ikhwal ajaran SHK yang biasa menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum, otonomi hukum, dan pemisahan hukum dengan politik. Tumpu pemikirannya bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik dan hukum tidak tercipta dalam suatu ruang hampa yang bebas nilai. Hukum lahir melalui ‘pertempuran’ politik yang cenderung memihak dan subyektif untuk keuntungan golongan tertentu.
Hukum bagian esensial politik, keputusan politik ditranslasi ke dalam aturan hukum. “Law is essensial part of politics…At a more practical level, when political decisions come to be translated into legal rules..”. Inilah yang dalam ilmu hukum sebagai penyamaran kepentingan politik (law is politic in disguise).
Pun demikian setakat menguliti UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”), jangan terkecoh hanya menguliti kata-kata dan frasa dalam norma. Penganut legalistik pasti tak berhasil mengendus hukum sebagai “essential part of politics” dan tidak juga menyentuh rasa keadilan dan kehendak agung rakyat sebagai subjek hukum serta tempat mengabdinya perkakas Negara, apabila jumud membatasi diri hanya mencernanya secara legalistik-formalistik belaka. Seakan hukum bersifat otonom dan netral dari anasir nonhukum.
Kua normatif, UU Ormas menormakan bahwa Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia, kecuali Ormas berbadan hukum yayasan [vide Pasal 9 UU Ormas]. Ketentuan ini berada paling awal dari UU Ormas, yang kua tioritis dikenal sebagai norma primer (primary rule) yang mengayomi norma-norma sekunder atau norma turunannya. Maksudnya? Jika merujuk ketentuan itu bahwa Ormas hanya didirikan warga negara Indonesia, bukan warga negara asing. Pasal 9 UU Ormas itulah yang mesti menjadi arus utama dari norma UU Ormas yang mengalir ke seluruh “aliran sungai” norma UU Ormas.
Tidak ada frasa ataupun norma yang mengecualikan norma primer itu dalam Pasal 9 UU Ormas. Lantas mengapa UU Ormas, pun demikian Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 (“PP Ormas”) memuat norma sekender yang memperkenankan Ormas Asing? Apakah alasan urgensi pengaturan Ormas asing dapat didirikan warga negara asing (WNA) di Indonesia.
Sulit menemukan rujukannya, namun Penjelasan Umum paragraf kelima UU Ormas menyebut alasan yang klise dan tidak spesifik, yakni “pergaulan internasional membawa konsekwensi terjadinya interaksi antara Ormas di suatu negara dan negara lain”.
Hemat saya, tidak ada yang bisa meyakinkan berupa konsideran politis, sosiologis dan juridis mengapa perlunya Ormas asing. Ringkasnya, tidak ada urgensi Ormas asing. Sebab, kalaupun mengisi kebutuhan pergaulan internasional, toh masih bisa difasilitasi dengan badan hukum yayasan sebagai badan perdata.
Kalau maksudnya untuk interaksi antar Ormas lintas negara seperti Penjelasan Umum UU Ormas, masih bisa dengan kerjasama program. Tidak harus membentuk sendiri Ormas asing tersendiri di Indonesia. Kalau bisa kerjasama program, apa urgensinya membolehkan Ormas asing melakukan kegiatan di wilayah Indonesia? Kegiatan maksudnya beroperasi (langsung dan sendiri) di Indonesia? Apa urgensinya Ormas asing berbadan hukum yayasan didirikan WNA, atau WNI bersama warga negara Indonesia (WNI)? Apa urgensinya Ormas asing berbadan hukum yayasan didirikan badan hukum asing?
Kalaupun hendak optimalisasi peran dan potensi Ormas, mestinya lebih menoleh kepada Ormas domestik. Justru kehadiran Ormas di Indonesia memiliki argumentasi historis-heroisme sejarah perjuangan kebangsaan. Sejarah membuktikan betapa peran aktif rakyat, warga masyarakat pun demikian Ormas dalam perjuangan anak bangsa melawan penjajahan/kolonial dalam pergerakan kemerdekaan seperti peran Ormas Boedi Oetomo, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama diakui dalam UU Ormas [vide Penjelasan Umum UU Ormas, paragraf kedua].
Tengok pula seetelah era kemerdekaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan melawan komunisme, sangat nyata dan historis peran Ormas termasuk misalnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan organisasi kemahasiswaan lainnya. Ringkasnya, ada argumentasi historis pergerakan kemerdekaan yang berakar kuat dan menjadi modalitas bangsa yang semestinya dioptimalkan. Eksistensinya yang mengakar patut menjadi poros halang bela negara dalam konteks dinamika kekinian, jika hendak mengatur Ormas dalam PP Ormas. Argumentasi historis ini adalah alasan pertama dalam kritik hukum Ormas asing.
Alasan kedua berkenaan argumen konstitusional, bahwa Ormas yang kua-historis diakui perannya dalam pergerakan kemerdekaan, memiliki landasan juridis konstitusional dengan pengakuan kemerdekaan berserikat dan berkumpul [vide Pasal 28 UUD 1945], dan memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya [vide Pasal 28C ayat (2) UUD 1945].
Tersebab itu, justru Ormas domestik yang kua-historis sudah terbukti yang justru memiliki urgensi untuk berkembang dan dijadikan partner dalam berbangsa dan bernegara. Bukan justru mengecilkan arti dan ruang Ormas domestik, dan sebaliknya membuka keran bagi Ormas asing secara institusional mandiri. Padahal, jika hanya dalam konteks pergaulan internasional untuk interaksi Ormas lintas negara, tidak mesti dengan Ormas asing yang institusional mandiri.
Kua konstitusional, beralasan jika Ormas domestik mengambil peran strategis dan optimal bukan Ormas asing. Kalaupun memberi ruang bagi Ormas asing untuk tujuan kemanusiaan dan solidaritas internasional, justru lebih rasional dan elegan membuat aturan kerjasama program antara Ormas domestik dengan Ormas asing, sehingga terjalin kemitraan antar lembaga. Bukankah watak kemanusiaan yang bersifat universal itu lebih peduli program aksi? Tidak terjebak dengan formalitas kelembagaan?
Karenanya PP Ormas mestinya memuat norma yang membuka sinergi Ormas asing dengan Ormas domestik, bukan membuka keran Ormas asing yang institusional mandiri dalam kelembagaan dan kegiatan. Bukankah dalam era keterbukaan akan lebih nyaman dan indah jika bekerjasama secara sinergis, transparan dan merawat akuntabilitas. Menjadi soal secara politik legislasi nasional, mengapa UU Ormas dan PP Ormas menormakan Ormas asing mendiri dalam kelembagaan dan kegiatan? Selanjutnya mengapa PP Ormas tidak mewajibkan kerjasama Ormas asing dengan Ormas domestik sebagai syarat dalam pengesahannya? Dan masih banyak pertanyaan lain.
Dengan postulat hukum sebagai “essensial part of politics” yang dan aturan hukum sebagai translasi keputusan politik, kemanakah arah hendak dibawa pengaturan Ormas asing yang oleh Pasal 37 PP Ormas diperintahkan akan diatur dalam PP tersendiri lagi? Kalau menghendaki PP tersendiri, mengapa tergopoh mengesahkan PP Ormas 2016? Lantas, bagaimanakah respon kritis yang digeliatkan masyarakat sipil?
[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]