Penanganan Perkara Ahok Harus Dikawal Ketat dan Efektif
TRANSINDONESIA.CO – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri. Tapi dengan penetapan itu, hendaknya kita jangan merasa bangga dulu. Apalagi kenyataannya hingga kini, tersangka Ahok tidak juga ada tanda-tanda akan ditahan. Dia masih bebas berkeliaran dan membuat berbagai pernyataan pers.
Bahkan, kembali melontarkan kata-kata yang bernada kontroversial, seperti menyatakan ke media asing bahwa peserta demo 4 November 2016 (411) yang lalu itu dibayar Rp500.000,- perorang dan sebagainya.
Sehingga dalam menyikapi status tersangka Ahok yang tanpa ditahan itu, hendaklah kita tetap hati-hati dan waspada mengawasinya. Sebab, penegakan hukum perkara pidana Ahok ini baru pada tahap awal proses penyidikan.
Proses hukumnya masih panjang dan berliku-liku. Masih ada kemungkinan pengajuan pra-peradilan oleh pihak Ahok yang apabila dikabulkan pengadilan, maka bisa membuyarkan proses hukum yang sedang ditangani Kepolisoan itu.
Demikian juga kemungkinan akan berlarut-larutnya penanganan perkaranya. Juga ada kemungkinan akan dihentikannya proses penyidikan atau penuntutannya dengan dikeluarkannya SP-3 dari pihak Kepolisian atau Kejaksaan.
Oleh karena itu, agar benar-benar proses perkara pidana Ahok ini berjalan dan diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, maka perlu ada pengawalan yang ketat dan efektif dari semua pihak dan publik pada umumnya, serta pihak pelapor khususnya untuk secara aktif meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dari pihak penyidik Kepolisian.
Jika perkara ini nantinya telah memenuhi syarat P-21, dan diajukan ke pengadilan, maka yang perlu mendapat perhatian publik adalah apakah majelis hakim yang menyidangkannya sudah tepat dan bisa diharapkan objektifitasnya.
Apakah hakimnya punya independensi sebagai hakim yang berjiwa progresif? Demikian juga Jaksa Penuntut Umum (JPU)-nya, harus terdiri dari tim yang benar-benar handal, berpengalaman dan progresif.
Kita berharap agar putusannya nanti benar-benar mencerminkan keadilan hukum yang substantif, yakni sesuai dan memenuhi rasa keadilan masyarat, yang dalam hal ini adalah umat Islam Indonesia.
Kawal Pidana Ahok
Adapun mengenai proses hukum pidana yang meskinya berakhir di pengadilan dengan suatu putusan dari majelis hakim yang memeriksa, megadili dan memutuskan perkara tersebut, memang dalam hukum Indonesia tak ada jaminan, agar putusannya seperti yang diharapkan, atau putusannya sama dengan putusan dalam perkara-perkara yang sama sebelumnya, seperti yang diputuskan kepada Arswendo Atmowiloto, Permsdi, Lia Eden, Musadek dan Rusgiani yang masing-masing hukumannya juga berbeda-beda.
Perlu dipahami bahwa adanya disparitas hukuman dalam perkara pidana yang sama, memang seperti itulah yang terjadi, dan sudah menjadi suatu keniscaan dalam budaya hukum hakim Indonesia.
Adapun mengenai apakah putusannya memenuhi rasa keadilan atau tidak?, itu kembali lagi kepada penjiwaan dan pemahaman hakimnya yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara itu. Terutama pemahaman terhadap nilai-nilai agama, sosial, adat istiadat dan budaya masyarakatnya.
Sayangnya, kebanyakan hakim di Indonesia ini masih berpola pikir sangat konservatif dan mereka terkungkung dengan pemahamannya yang terlalu positivistik atau legalistik formal.
Sehingga, kebanyakan dari mereka itu hanya melahirkan putusan-putusan hukum yang kering dan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Sering dijumpai, antara putusan dengan realitas masyarakatnya berjarak bumi dan langit.
Putusan dibuat seperti di ruang hampa sosial dan tidak di ruang nyata, di mana tempat perkara itu terjadi. Inilah persoalan yang krusial yang belum tersentuh oleh reformasi hukum di Republik ini.
[Fathullah (Padh) – Pengamat Hukum CIDES dan Advokat di Jakarta]