Konstitusi Mengabdi pada Cita-Cita Proklamasi [2]: Dari Proklamasi kepada Konstitusi

TRANSINDONESIA.CO – Pun demikian, konstitusi mengabdi kepada cita-cita Proklamasi. Kausal terbit dan disahkannya konstitusi  adalah demi memastikan Proklamasi. Walau hanya terdiri atas 27 kata saja, Proklamasi itu menjadi  demarkasi pendobrakan kolonialisme, yang berisi semangat bernegara yang  merdeka dan lepas  dari gengaman penjajahan.  Dari  Proklamasi itu kepada konstitusi.

Inilah tahap kedua membina negara merdeka setelah Proklamasi dan segera segenap  founding fathers  membentuk dan mengesahkan konstitusi. Dari Proklamasi kepada konstitusi,  dengan tesis kemerdekaan (sebagai anti tesis dari penjajahan)  menjadi panduan  memahami  nilai moral konstitusi.  Karena itu, membahas konstitusi mesti memahami hakikat Proklamasi.

Ikhwal Proklamasi, pikiran saya meloncat kepada Bapak Issanuddin, dosen senior yang mengajarkan Asas Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum  Universitas Sumatera Utara (USU). Ajarannya tentang hakikat Proklamasi  dituturkan runtut dan sistematis  dari lisannya  sekitar 30 tahun lalu,   begitu membekas  dalam di benak patik hingga kini.

Penulis, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni.[Ist]
Penulis, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni.[Ist]
Menurut Pak Issanuddin,  hakikat  Proklamasi adalah demarkasi  meruntuhkan  hukum kolonial kepada hukum nasional. Hukum kolonial yang mesti ditanggalkan  bukan hanya substansi aturan tertulisnya, namun yang terpenting corak moral-etika dan pemihakannya   hanya kepada kepentingan penjajahan dan kolonialisme.

Proklamasi menjadi bandul saat dimulainya  peruntuhan sistem hukum penjajah kolonial kepada sistem hukum nasional. Itu logika hukum mengapa eksploitasi, ketidakadilan, dan penindasan,  pembungkaman rakyat tidak memiliki justifikasi etika-moral dan  nihil justifikasi legal formal lagi.

Interupsi sebentar.  Kalau saat ini masih ada tindakan dan kebijakan tidak pro rakyat,  yang melestarikan kemiskinan struktural, melakonkan penggusuran paksa yang dilakukan otoritas kota dengan alasan   penataan ruang dan mengamankan jalur hijau,  dalih “beutifikasi” kota,   maka kebijakan dan hukum sedemikian adalah vis a vis hakikat Proklamasi. Seakan  hendak mengembalikan bandul sejarah kepada era penjajahan kolonial, yang  acapkali bersembunyi  dibalik  kebijakan dan hukum formil.

Duh makjang, hingga kini Indonesia masih punya soal besar ikhwal hukum nasional itu.  Sampai saat ini menyitir Junaidi Teguh, pengajar hukum Universitas Juanda,  Indonesia bahkan tidak memiliki KUHPerdata, namun meminjamnya dari Belanda: Burgelijk Wetboek (BW).  BW sendiri kodifikasi hukum yang disusun oleh Kerajaan Belanda, pasca dikooptasi oleh Napoleon sebagai Republik Perancis. Napoleon kemudian menyusun Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi, Corpus Juris Civilis.

Pun demikian KUHP, menyitir Prof. Barda Nawawi Arief dalam “Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara”, pembuat Undang-undang No. 1 tahun 1946 belum mengambil sikap dan kebijakan mendasar apapun atas stelsel hukum pidana dalam  Wetboek van Strafrech (WvS) peninggalan Belanda yang diambil alih menjadi KUHP. Namun  hanya karena kebutuhan praktis semata. Jadi,  hanya pragmatis, bukan berdasarkan pertimbangan dengan pembahasan serius,  apalagi  pertimbangan filosofis-juridis-konstitusional yang sempurna.

Ibarat perjalanan mencapai tujuan bernegara,  Proklamasi adalah bendera start memulai perjalanan panjang menuju negara cita, yang  menuju ke sana membutuhkan panduan yang khas sebagai ideologi negara Indonesia. Tersebut-lah landasan negara Pancasila yang terkandung  dalam Pembukaan UUD 1945.  Dari  Proklamasi 17 Agustus 1945 itu, diretaslah jalan-jalan  besar menuju cita-cita bernegara yang tertuang dalam teks UUD 1945.

Lantas, apakah  anasir  cita-cita dalam UUD 1945 yang berorientasi kepada Proklamasi itu?    Patik hendak mengutip butir pendapat  Prof. Bagir Manan S.H., M.CL., dan Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M, Ph.D., dalam “Memahami Konstitusi – Makna dan Aktualisasi”. Menurutnya ada 4 (empat)  cita-cita: (1) Cita-cita kedaulatan rakyat. (2) Cita-cita negara hukum. (3) cita-cita konstitusi, selain membatasi kekuasaan juga jaminan HAM, kekuasan kehakiman yang merdeka, pemerintahan dengan check and balances, pemerintahan melayani rakyat. (4) cita-cita kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, sebedar-besar kemakmuran rakyat atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tersebab itu, menyikapi persoalan kebangsaan dewasa ini dengan masih banyaknya rakyat kurang beruntung dan berada dalam kemiskinan, dan ketidak adilan, maka jawaban paling sahih adalah mesti mengembalikannya  kepada hakikat Proklamasi. Yang dikumandangkan sebagai kemerdekaan, pembebasan dari eksploitasi, kemiskinan, ketidakadilan, dan segala bentuk  penjajahanisme.  Bukan sekadar demi membangun elok molek fisik bangunan kota semata. [Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia]

Share