Birokrasi Patrimonial: Keberhasilan dengan Cara Membebek Tak Rasional
TRANSINDONESIA.CO – Dalam birokrasi yang patrimonial boleh dikatakan siapa saja menjadi pucuk pimpinan disemua lini itulah simbol kekuasaanya.
Para bawahannya semua mengekor apa kata ndoronya, apa yang dimaksudkan kadang juga tidak dipahaminya bahkan semua ditelannya mentah-mentah baik buruk atau cocok tidaknya semua dilahapnya yang penting ia melakukan sebagai tanda loyalitas personal kepada ndoronya.
Walau tidak tahu makna dan dampak buruknya sekalipun ia tidak peduli, yang penting terlihat manut, menurut, pasrah bongkokan akan mendapat kehormaan dan tetap menjabat walau tidak mampu melakukan apa-apa.
Apa yang dilakukan bukan untuk membuat masyarakat lega dan terlayani melainkan yang penting membuat ndoro senang dan bahagia. Apa yang diperintahkan dan yang dikerjakan bisa saja hanya kulit-kulitnya saja tidak ada roh dan jiwa.
Tak jarang malah menjadi lucu dan menyebalkan. Namun jangan heran mereka inilah yang dijadikan dan terus berkuasa bahkan yang dianggap sukses.
Bagi yang sadar dan berusaha mengingatkan atau mengatakan yang baik dan benar, mereka akan dihajarnya baik dalam perorangan maupun dalam konspirasi jahat yang mereka bangun dalam penyebaran isu-isu pembunuhan karakter.
Sehingga banyak orang-orang yang baik akhirnya takut dan terpaksa manut menjadi bebek, yang penting bersuara seperti ndoronya.
Orang-orang semacam ini tidak berkarakter karena akan hanya mencari enak dan untungnya sendiri.
Mereka menganut faham “swargo nunut neroko endo” (kalau saat enak dan senang akan terus menempel, saat sengsara atau ada masalah akan menghindari).[CDL-23022016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana