KPK Cegah Minerba 19 Provinsi

         Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi kembali melakukan pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor mineral dan batubara (Minerba) melalui skema kegiatan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) di 19 provinsi di Indonesia.

“Pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor mineral dan batubara itu dilakukan KPK setelah pada 2014 melakukan hal serupa pada 12 Provinsi di Indonesia karena menemukan 10 persoalan terkait pertambangan,” kata Manager Program Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT, Melkior Nahar, kepada Antara, di Kupang, Jumat (5/6/2015).

Ia menggatakan, Korsup KPK tahap pertama di 12 provinsi telah dimulai sejak awal 2014, sedangkan Korsup KPK kedua untuk 19 Provinsi sejak Desember 2014 termasuk melalui koordinasi dan pemantauan bersama kepala daerah di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 8 Juni 2015.

Pengawasan dan pencegahan korupsi di sektor mineral dan batubara, katanya, terutama terkait aspek ketaatan ijin, penerimaan negara, serta aspek sosial dan lingkungan.

Sebab data menunjukkan kerugian negara akibat aktivitas tambang di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat yang dihitung Koalisi LSM Anti-Mafia Tambang di Kupang mencapai Rp64,47 miliar.

“Hasil penghitungan Koalisi ditemukan potensi kerugian negara di wilayah Nusra dari iuran ‘land rent’ mengacu pada PP Nomor 9/2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak,” katanya.

Dia mengatakan, dari perhitungan diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya. Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya disebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost).

Hasil perhitungan Koalisi Anti-Mafia Tambang menunjukkan bahwa sejak tahun 2010-2013 diperkirakan potensi kerugian penerimaan mencapai total Rp64,47 miliar, dengan rincian di Provinsi NTT sebesar Rp43,07 dan di Provinsi NTB sebesar Rp21,4 miliar.

“Keterbukaan informasi di segala bidang telah diamanatkan dalam UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik (KIP). Implementasi UU ini dtelah ditekankan oleh presiden bagi semua pemerintah pusat dan daerah untuk membuka data publik bagi kepentingan masyarakat umum termasuk data tentang izin perusahaan, Amdal dan kebijakan pertambangan lainnya,” katanya.

Selain dampak kerugian negara, dari aspek lingkungan hidup juga terdapat puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di dua Provinsi (NTB dan NTT) telah terbebani izin pertambangan.

Data Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan (2014), katanya, menyebutkan terdapat 255.273,39 hektar wilayah pertambangan yang masuk di kawasan hutan lindung di provinsi NTB dan NTT dengan total unit izin usaha sebanyak 111 (96 di NTT dan 35 di NTB) Izin Usaha Pertambangan (IUP)) dan dua Kontrak Karya (KK) di NTB.

Sementara itu, katanya, di kedua provinsi itu terdapat 11.181,61 hektar wilayah pertambangan yang masuk hutan konservasi yang terdiri atas 22 IUP (13 di NTB dan sembilan di NTT) dan satu KK di NTB.

Ia menjelaskan penggunaan kawasan hutan konservasi untuk kegiatan non kehutanan jelas melanggar aturan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati.

Sementara kegiatan penggunaan kawasan hutan di kawasan lindung hanya diperbolehkan dalam bentuk pertambangan bawah tanah (underground mining) yang faktanya sampai saat ini tidak ada satupun pemegang izin yang sanggup melaksanakan praktek ini.

Oleh karenanya, pemberian izin di kawasan hutan lindung dan konservasi jelas melanggar aturan dan memerlukan penegakan hukum terhadap pemegang izin usaha di kawasan tersebut.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan pengawasan sektor pertambangan di 12 provinsi di Indonesia karena menemukan 10 persoalan terkait pertambangan.

Ke-12 provinsi tersebut adalah Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.(ant/sun)

Share