TRANSINDONESIA.co | Tuan Lawrence Meir Friedman bukan dokter, dia profesor hukum modern. Bukan fiksi, dia membedah “tubuh” sistem hukum atas 3 komposisi ini: isi, institusi, dan kultur (legal substance, legal structure, legal culture). Nama tengah ‘Meir’ itu penting, karena Friedman mengimbuhkan ‘Meir’ untuk tulisan nonfiksi. Tanpa ‘Meir’ untuk tulisan fiksi. ‘Meir’ (bahasa Norweigia) artinya: lagi.
Jika memang fungsinya tak penting dan bisa digantikan, maka marwah undang-undang terlalu penting bagi legal structure. Saya meyakini, institusi hukum lebih penting dari substansi hukum. Tanpa jasa wadah cangkir, adab apa menyeruput “isi” minuman kopi specialty dari moncong mesin pembuat kopi? Dalam bernegara pun berhukum, ada adabnya. Budi atawa minda hukum harus dirawat dan dijaga.
Ini bukan fiksi, hukum yang beradab kuat kudu melindungi rakyat. Hukum bukan hukum ketika menyengsarakan rakyat. Hukum tidak valid menjadi alat aglomerasi kekuasaan jahat. Seperti cangkir kepada kopi panas ataupun dingin, khazanah isi hukum memerlukan intitusi –yang ajeg dan teruji sahih konstitusi. Distribusi cangkir tambahan diperlukan menyiasati macetnya layanan kedai kopi. Menurut studi, lembaga negara tambahan dibutuhkan dalam geliat memajukan demokrasi konstitusi.
Metafora kedai kopi membantu menjelaskan pentingnya institusi dalam rezim hukum kedokteran-kesehatan, seperti konsil, kolegium, majelis kehormatan disiplin, pun organisasi profesi dalam jalinan sistem kelembagaan kesehatan. Bukan dalam satu tangan. Tidak dalam satu institusi. Keluru jjka segenap institusi hukum kesehatan itu, hendak diperankan sendirian seakan paradigma berkuasa yang wajar: let’s the goverment to govern.
Padahal, kua-tioritis hal ikhwal yang tak wajar adalah anomali, itu bagian luar dari paradigma yang ajeg dan santun berminda pada semua. Anomali itu bagaikan invalid pada valid. Analog, lawfull pada unlawfull. Agar tak menjadi ironi minum kopi mewah disedot langsung dari mesin pembuat kopi. Itu invalid, unlawfull, bahkan berbahaya bagi konsumen pun reputasi brand dan ijin operasi management kedainya. Efeknya tak-kan lama. Merawat minda hukum lebih penting dan sulit dari membuat hukum skala omnibus sekalipun.
Efek hukum represi, rakyat rugi
Tak menunggu lama, efek UU 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan itu telah nyata membahayakan sistem kelembagaan yang terbangun, karena menurunkan derajat (down-grade) Konsil, membubarkan Kolegium (dan membuat seakan-akan kolegium), membuat majelis disiplin yang anomali, dan hendak mengacak organisasi profesi. Menihilkan legal structure yang sudah ajeg dan berguna, namun diubah dan diambil-alih sebagai realitas hukum represif (represive law) dari ajaran Phillipe Nonet & Philip Selniczk. Merujuk duo Notet & Selniczk, hukum represif itu subordinat dari politik kekuasaan. Cirinya menihilkan partisipasi. Kritik dituduh ketidaksetiaan. Berbeda pendapat bisa dipecat.
Realitas substansi hukum semakin parah dengan terbitnya aturan pelaksana PP No.28 Tahun 2024 yang konon menerjemahkan UU Kesehatan 2023. Padahal, selain bercorak represive law, PP 28/2024 itu cenderung melampaui (over mandatory) aturan di atasnya. Keaslian genetik-silsilah normanya saya ragukan. Yang pasti, UU Kesehatan maupun turunannya PP 28/2024 menumpuk kekuasaan eksekutif kesehatan pada Menteri Kesehatan (Menkes).
Jamak legal structure menjadi mutan parah dari “DNA” orinya: KKI (sebutlah Konsil), Kolegium, Majelis Disiplin –yang dibentuk sistem hukum kesehatan sebelum ini untuk perlindungan hak konstitusional kesehatan rakyat. Melindungi rakyat? Ya.., tentu. Sabar sebentar. Pada paragraf berikutnya diulas betapa KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) pun demikian MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia), juga Kolegium adalah institusi yang ajeg, berfungsi, dan valid secara yuridis konstitusional.
Konsil dibuat turun kelas dibawah sistem kendali Menteri Kesehatan. Konsil tak hanya perkakas dan subordinat Menkes dalam menerbitkan STR (Surat Tanda Registrasi) [vide Pasal 260 ayat (2) UU Kesehatan], Konsil pun dibuat tak lunglai berdaya. Nyaris kikis tanpa daya independensia. Bukan hanya cawe-cawe dan diintervensi, bahkan Menkes berwenang mengubah hasil pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang Konsil –yang konon lembaga non struktural (LNS).
Walau dilabelkan LNS dan bersifat independen, namun Konsil harus berkoordinasi dengan Menkes dalam bakti tugasnya. Norma yang absur itu terbentang pada Pasal 696 ayat (1) PP 28/2024 berbunyi: “Konsil Kesehatan Indonesia dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 695 ayat (2) sampai dengan ayat (4) harus berkoordinasi dengan Menteri dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri”. Saya ngeri, nyeri, dan kehilangan banyak minda hukum membaca ayat represif itu. Konsil yang tidak independen menjadi kerugian perlindungan kesehatan rakyat yang nyata. Agitasi Konsil idemditto agitasi kesehatan rakyat.
Malah semakin represif karena Konsil harus berkoordinasi dengan Menteri dalam menerbitkan kebijakan. Bahkan apabila tidak sesuai kebijakan Menkes maka beleids Konsil itu bisa segera dianulir dengan wewenang Menkes. Nalar hukum saya makin ngeri dan nyeri membaca Pasal 696 ayat (2) PP 28/2024 yang berbunyi: “Dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, Menteri dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang”.
Duo ayat-ayat agresif itu mempertontonkan absolutisme Menteri dalam sistem kelembagaan kesehatan. Lantas kebanggaan apa hendak diraih jika Konsil sebagai LNS dan independen gagal melindungi kesehatan rakyat: protecting the peoples dan (dengan) guiding the profesion. Secara vulgar dan frontal Pasal 696 PP 28/2024 yang mengendalikan Konsil itu bahaya nyata perlindungan kesehatan rakyat. Diksi “berkoordinasi” dan “penyesuaian”, adalah norma yang anomali-cum-represi. Itu dominasi stadium akut dalam relasi antara Konsil yang LNS dan independen dengan Menkes sang pembantu Presiden, yang tak lama lagi lengser. Ijinkan saya membangun diagnosa kerja bahwa kedua diksi dari Pasal 696 itu membahayakan prinsip negara hukum demokratis (democratische rechstaat) dan demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang dijamin Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
Dengan PP 28/2024, mutan Konsil yang sebelumnya bergenetis KKI diubah (dan fusi) menjadi Konsil Kesehatan Indonesia (sebut saja: Konkesindo untuk membedakan dengan KKI). Norma itu kemunduran parah sistem kelembagaan perlindungan kesehatan rakyat. Apa jadinya demokrasi konstitusional tatkala kekuasan kesehatan dalam kendali satu tangan kementerian? Tatkala runtuhnya KKI dengan duo tugas mulia-universalnya: protecting the peoples and guiding the profesion, dan Konkesindo telah mutan parah dari DNA-nya sebagaimana KKI yang sebenar LNS dan ori independen, rakyat paling rentan dirugikan.
Dengan PP 28/ 2024, Konkesindo terjungkal menjadi subordinat Menkes. Kebijakan kesehatan berbasis sains dan profesional, tak lagi bisa diandalkan karena Konsil bisa diatur-atur dan hasil kerjanya tidak otentik karena dicocok-cocokkan dengan beleids Menkes. Padahal mustinya Konsil menjadi kontrol kebijakan kedokteran pro sains, pro EBM (Evidance Based Madicine), kolegial dan profesional. Kepentingan perlindungan rakyat atas layanan kesehatan dalam kondisi darurat, dan kudu diselamatkan. CITO, Konsil! Save Kesehatan Rakyat!
Tidak independen, Konsil tidak konstitusional
Penting diulas menjadikan Konsil subordinat Menkes nyata-nyata tidak konsisten dengan labelnya yang independen. Dan, cacat yuridis konstitusional jika diuji denhan Putusan MK RI No.82/PUU-XIII/2015. Sebelum ada Konsil, sempat KKI versi UU Praktik Kedokteran yang teruji sahih, nyaris dibubarkan dengan UU Tenaga Kesehatan. Diselamatkan dengan Putusan MK RI No.82/2015 hasil uji materil yang diajukan KKI, IDI, PDGI, dr. M. Adib Khumaidi, SP.OT, dan satu warga masyarakat.
Kaidah hukum dari Putusan MK RI itu, bahwa: KKI berbeda dengan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, dan bahwa: tenaga medis berbeda dengan tenaga kesehatan. Adanya pembedaan tanggungjawab, maka tenaga medis berbeda dengan tenaga kesehatan. Jika disamakan atau digabungkan ke dalam satu Konsil, maka menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. Bahkan merugikan rakyat yang berhak atas Konsil yang valid.
Masih menurut yurisprudensi MK RI a quo bahwa: “…keberadaan KKI memiliki justifikasi yuridis konstitusional, dan makna penting konstitusional sehingga pembubaran KKI adalah melanggar hak konstitusional para Pemohon”. Begitu pertimbangan [3.10] Putusan MK RI yang dibacakan 14 Desember 2015.
Tak hanya alasan tunggal, diperkuat dengan pertimbangan [3.13] bahwa: “…KKI harus berdiri sendiri, mandiri, dan independen, yang berbeda dengan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia”.
Dengan rujukan sahih iki maka KKI yang valid secara yuridis konstitusional adalah apabila dibedakan (tidak sama) dengan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. Maka, tidak konstitusional mencampurbaurkan ataupun fusi keduanya. Bahkan tindakan begitu bahaya laten institusi represif yang rapuh karena riil merugikan kepentingan rakyat. Norma Konsil itu inkonstitusional. Penting disampaikan, keduanya bukan berbeda karena sengaja hendak dibeda-bedakan. Bukan pula norma yang diskriminatif. Namun karena tidak sama ikhwal kompetensi, body of knowledge, dan tingkat keilmuan yang terukur dan berjenjang, begitu bunyi pertimbangan [3.12].
Majelis Pembaca, institusi KKI –yang LNS atawa state auxiliary body dan independen sebagai nama tengahnya– adalah bukan lembaga eksekutif dan tidak subordinat Menkes. Sabab itu, relevan menyuarakan aksi CITO menyelamatkan KKI dari skanio pembubaran tahap kedua. Masih menggunakan jurus klasik dengan membentuk Konkesindo. Jurus kuno itu terbukti sudah dibatalkan, dan gagal bubarnya KKI dengan Putusan MK RI No 82/PUU-XIII/2015.
Jadi, argumen hukum saya di akhir pekan ini bahwa secara yuridis konstitusional KKI itu valid, Konkesindo, tidak! Siapa turut serta menguji norma itu ke MK?
Materi muatan UU Kesehatan subsider PP 28/2024 yang menjadi dasar Konkesindo itu represif dan tidak sesuai Putusan MK RI No.82/PUU-XIII/2015. Terbitnya PP 28/2024 yang menormakan Konkesindo tidak lagi bertanggungjawab ke langsung ke Presiden akan tetapi menyingkirkannya hanya melalui Menteri. Bahkan dengan diberikan tugas hanya urusan internal saja, tidak lagi berwenang sebagai regulator pembuat aturan Konsil (Perkonsil), dan anomali karena menerbitkan STR atas nama Menkes, maka Konkesindo bukan lagi institusi apa-apa.
Lebih parahnya, Konkesindo harus berkoordinasi dengan Menkes agar beleidsnya sesuai kebijakan Menkes. Sampai separah itu represifnya Pasal 696 ayat (1) PP 28/2024. Malah, ayat berikutnya lebih mengerikan. Jika beleids Konkesindo tidak sesuai kebijakan Menkes, alamak Menkes berwenang mengubah hasil kerja Konkesindo, vide Pasal 696 ayat (2). Lantas apa guna status independen dan LNS melekat pada Konsil itu? Keadaan itu bukan hanya cawe-cawe dan intervensi, namun sudah agresi institusi dari sistem hukum kesehatan yang berminda hukum, namun telah mutan menjadi sistem kekuasaan eksekutif kesehatan yang fondasinya lunglai
Tak hanya Konsil, nasib serupa dialami Kolegium yang pengampu cabang ilmu sebagai academic body. Demikian pula majelis disiplin. Ironisnya dengan jurus dan rumusan norma yang copy paste Pasal 696 PP 28/ 2024. Seakan kejar tayang dan kurang argumentasi dan lemahnya nalar hukum yang afiat. Opini berikut akan mengupas agresi eksistensi dan fungsi Kolegium dan majelis disiplin. Bukan hanya kudu konstitusional, disiplin, dan santun kepada partisipasi bermakna, ajaran membuat hukum itu harus pro rakyat dan mengedepankan adab. Jauh seperti metafor minum kopi dari moncong mesin coffe maker. Meir, save rakyat, perlindungan kesehatan rakyat bukan fiksi. Nir institusi yang valid, isi hukum bukan hukum. Let’s constitution to govern. Tabik.
(MUHAMMAD JONI, S.H., M.H., Advokat Joni & Tanamas Law Office, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara).