CITO! Save Kolegium, Save Rakyat

TRANSINDONESIA.co | Nyata, hukum represif itu bukan isapan jempol. CITO (latin: cepat; segera), nyata pada tradisi dokter, bukan hanya kiasan. UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak mengakui legitimasi Kolegium. Menihilkan tiga hal ini: status, eksistensi, fungsi Kolegium selaku pengampu ilmu kedokteran. Kausal keruntuhan Kolegium dengan Pasal 451 UU Kesehatan bukan serangan ringan. Nyata sebagai hukum represif-agresif dalam politik legislasi di negeri ini. Padahal republik ini negara hukum demokratis (democratische rechstaat).

Aturan peralihan Pasal 451 itu namun seram bunyinya: “Pada saat UU ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan UU ini”. Namun, jangan takut membedah plastik cacat-cacat bawaan hukum. Gejala dan indikasinya kuat. Tegakkan diagnosa. Cermat bertindak, seperti ciri khas profesi dokter. Kaum dokter se Indonesia, bersatulah. Resiko dicabutnya hak hidp Kolegium nyata dan terang benderang: clear and presesent danger.

Pasal 451 itu menjadi bukti bahwa UU Kesehatan bukan mengatur transformasi, namun delegitimasi dan dekonstruksi semua Kolegium existing. Norma delegitimatornya BAB XIX Ketentuan Peralihan. Tipikal norma hukum Pasal 451 itu, meminjam Philippe Nonet & Philip Selznick, ialah hukum represif (represive law). Lawan dari hukum responsif –yang santun-bijaksana menerima partisipasi dan pendapat sekitarnya. Kompetensi dan keadilan substantif menjadi cirinya. Partnership adalah moralitasnya. Menurut duo Nonet & Selznick, bahwa: hukum represif itu sub ordinat dari politik kekuasaan. Cirinya menihilkan partisipasi, apalagi partisipasi bermakna (meaningfull participation) yang menjadi yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (MK). Kritik dituduh sebagai ketidaksetiaan. Berbeda pendapat bisa dipecat.

Sepaket dengan agresi eksistensi dan fungsi Kolegium bersenjatakan Pasal 451, direka ulang kolegium yang mutan sesuai selera penumpuk kuasa dengan Pasal 272. Namun tidak valid dan nihil otentik karena kolegium baru itu alat kelengkapan Konsil sehingga tidak independen. Sebut saja, kolegium (dengan ‘k’ huruf kecil) bukan Kolegium.

Pun, Konsil alat kelengkapan Menteri sehingga turun-derajat (down-grade). Konsil bertanggungjawab ke Presiden via Menkes dengan Pasal 268 ayat (1) UU Kesehatan. Bahkan, absurdnya Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan Konsil bukan atas nama Konsil, namun atas nama Menkes (Pasal 260 ayat (2) UU Kesehatan). Kekuasaan eksekutif kesehatan tersentralisasi dalam kendali satu tangan. Tiada lagi check and balance. Padahal, KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) semula adalah lembaga negara tambahan (state auxiliary body), idemdito Bank Indonesia, Komnas HAM, yang otonom dan independen. Konsil yang tidak independen, bukan Konsil. Pun kolegium yang tidak independen dan otonom bukan Kolegium. Apakah masih disebut sepeda jika tanpa roda. Apakah masih disebut main catur tanpa raja.

Walau UU dan PP sudah dilegalkan, tidak mudah menggiring para Guru Besar ilmu kedokteran mengikuti institusi (seakan) kolegium yang bukan Kolegium. Para begawan kesatria pengampu ilmu itu peduli kepada ilmu kedokteran, sumpah dokter, etika profesi, kesejawatan, dan menjaga kehidupan insan dan perikemanusia. Saya ainul yaqin tak bakal pindah mengikuti institusi seakan kolegium yang namun Kolegium.

Dengan Pasal 272 ayat (5) UU Kesehatan, tugas, fungsi, wewenang kolegium bakal diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Artinya kolegium hendak total dikelola dalam kendali eksekutif kesehatan. Pun, (R)PP a quo mengatur kolegium yang dibentuk, diseleksi (maksudnya: dinilai, direview, diinterview tim seleksi); dan di-SK-kan Menkes. Seakan kolegium yang alat kelengkapan Konsil itu adalah pejabat eksekutif setara eselon dua saja.

Jika rajin mencerna kaidah hukum konstitusi, eksistensi dan fungsi Kolegium yang independen itu konstitusional sebagai academic body sesuai pertimbangan hukum dari Putusan MK RI No.10/PU-XV/2017. Kembali ke delegitimasi Kolegium sebagai lembaga ilmiah atau academic body yang mengembangkan kebenaran ilmiah yang Evidance Based Medicine (EBM), bukan berbasis testimonial. Kolegium bukan petugas Menkes. Kolegium bukan badan eksekutif, bukan organ politik, bukan untuk distribusi kuasa ke (maaf) job seakers. Kolegium lebih tinggi dan bermarwah karena independen sebagai pengampu ilmu (kedokteran). Kolegium yang loyal tunggal kepada kebenaran ilmiah-EBM itu mengamal-baktikan amanat konstitusi yang menjamin hak atas kemajuan ilmu dan teknologi dari Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.

Tepat jika mendefenisi Kolegium kedokteran itu adalah pangkalan ilmu kedokteran. Meminjam kerangka pikir Prof. Djohansjah Marzoeki, Sp.B., Sp.BP RE (K), bahwa ilmu kedokteran sebagai natural science unsurnya ada empat: rasional, mandiri, kebenaran ilmiah-EBM, non intervention, tidak conflict of interest. Kebenaran Ilmiah-EBM itu soal benar atau salah. Bukan baik atau jelek. Ketua ASEAN Federation of Plastic Surgery itu berdalil: 10+5=15. Itu benar. Bukan baik. Tapi, 10-3=9, itu salah. Bukan jelek. Begitu metafora sang penerima anugerah Tribute Lecture XVII Universitas Airlangga.

Trans Global

Hukum gravitasi itu benar. Tidak bisa ditanggalkan karena kebijakan politik, dibatalkan bujukan ataupun ancaman. In contrast, pimpinan tertinggi rumah besar kedokteran Indonesia pun tidak bisa intervensi kebenaran ilmiah-EBM yang ditetaskan Kolegium Orthopedi dan Traumatologi Indonesia. Apalagi, pengampu ilmu pada Kolegium itu para begawan ilmuwan kedokteran dan praktisi kedokteran yang teruji. Ketahuilah, mereka berwatak kesatria berilmu yang mumpuni ilmu kedokteran. Bakti teladan karena sukarela, gotong royong, sharing ilmu berkelanjutan, pembelajar (dan mengajar) sepanjang hayat, dan tak redup berdedikasi sepanjang zaman.

Mustinya, Kolegium as it is: yang menjalankan amanat state responsibility Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 itu dihargai. Siap sedia ditugasi mengatasi problematika pelik urusan kesehatan publik pun pelayanan kedokteran. Eureka, tesis pertama saya: Kolegium existing berbakti menjalankan constitution mandatory. Menyehatkan cita hukum (recht idee) Pembukaan UUD 1945: melindungi rakyat Indonesia dan tumpah Indonesia; memajukan kesejahtetaan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut serta perdamaian dunia abadi.

Sebelum UU Kesehatan melintas dalam imaji pembuat UU, sudah lama ada, berkeringat, malang melintang, bertungkus-lumus Kolegium. Sebut misalnya Kolegium Bedah Indonesia yang berdiri sejak tahun 1955. Kolegium Kesehatan Anak (1963), Kolegium Radiologi Indonesia (1970), Kolegium Bedah Plastik Rekonstruksi Estetik (1980), Kolegium Bedah Syaraf Indonesia (1980), Kolegium Urologi Indonesia (1981), Kolegium Kedokteran Penerbangan Indonesia (1991), Kolegium Obstetri dan Ginekologi (1993). Itu sederet Kolegium yang merefleksikan pengampuan dan kemampuan pada ilmu kedokteran, yang bahkan diakui sejawat/ peer kaum dokter skala dunia.

Kolegium-Kolegium yang hidup, tumbuh dan berkembang tanpa fasilitasi negara itu, menjalankan mandatory konstitusi walau sepi ing pamrih. Menyala walau tak difasilitasi negara. Tidak berlebihan jika kiprah Kolegium itu adalah algoritma pengabdian tak bertepi. Yang bakan menolak intervensi EBM yang invalid. Demi mendokterkan kesehatan rakyat. Save rakyat. Karena itu saya tak sungkan mengusung tesis kedua, bahwa: Indonesia berhutang kepada jasa dan dedikasi Kolegium dalam konteks berbangsa, bernegara, dan berkonstitusi. Jauh melampaui misi mulianya sebagai ilmuwan kedokteran ataupun praktisi kedokteran.

Kiranya, patut melanjutkan tesis ketiga, bahwa: segenap Kolegium adalah komponen strategis-spesifik bangsa, pun demikian profesi kedokteran dan kesehatan. Kolegium yang patut dihargai. Yang wajar difasilitasi. Yang sahih ditimbang serius nasihatnya yang tulus mengawal basis saintifik dalam tindakan, kebijakan, dan regulasi kesehatan.

Tersebab itu, jangan biarkan delegitimasi segenap Kolegium. Justru anasir malware (malicious softwere) Pasal 451 itu yang kudu di-uninstall. Opini ini menyerukan: Save Kolegium! Saya lawyer bukan dokter. Biar dokter menambahkan kode CITO, menjadi: CITO! Save Kolegium. Rakyat dan negara membutuhkan Kolegium. Runtuhnya Kolegium kita, maka rakyat dan negara paling dirugikan. Efek lebih parah dari runtuhnya Kolegium, Pasal 451 itu kausal kejatuhan ilmu kedokteran: fall of medical science?! Seruan kedua opini ini: Save, Medical Science! Perjuangan ini konstitusional dan mulia. Semulia sumpah Hippocrates.

Perjuangan ini valid, karena setelah memeriksa teks dan konteks Pasal 451 berikut Penjelasannya, tidak ada sepotong legal reasoning, menghalalkan delegitimasi segenap Kolegium. Justru ketentuan peralihan Pasal 451 itu unlawfull norm. Norma represif Pasal 451 itu kausal “genocide” Kolegium.

Terbiasa CITO menyelamatkan jiwa manusia, tradisi dokter itu bukan cuma kiasan. Konsolidasi menyelamatkan hak hidup Kolegium itu misi mulia. Semulia sumpah dokter membaktikan hidup untuk sang hidup insani dan perikemanusiaan. Bakti untuk keselamatan rakyat (peoples) itu sumpah menjaga kehormatan. CITO! Save Kolegium indentik Save Kesehatan Rakyat. Tetap menyala Kolegium. (Advokat Muhammad Joni, S.H., M.H)

Share