Etika Polisi dalam Pemolisian: Antara yang Ideal dan Aktual

TRANSINDONESIA.co | Etika kerja polisi dalam pemolisiannya (policing) dapat dipahami secara pragmatis pada apa yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan dan sanksinya, dan dapat dipertanggungjawabkan secara: moral, hukum, administratif, fungsional dan secara sosial.

Keutamaan polisi dalam pemolisiannya adalah bagi : kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban. Setidaknya yang ideal bagi polisi dalam pemolisannya mencakup :

1. Berdasar pada keutamaan polisi dalam pemolisiannya :

a. Kemanusiaan

b. Keteraturan Sosial

c. Peradaban

2. Mendukung Supremasi Hukum dengan patuh hukum dan peraturan yang berlaku, Transparan dan Akuntabel

3. Menghormati nilai nilai sosial yang berlaku

4. Memberikan Jaminan dan Perlindungan HAM

5. Tindakan Pemolisiannya pada ranah Administrasi maupun ranah Operasional dapat dipertanggungjawabkan secara :

a. Moral

b. Hukum

c. Administrasi

d. Fungsional

e. Sosial

6. Pikiran, Perkataan dan Perbuatannya menunjukan :

a. Profesionalisme

b. Humanisme

c. Komunikatif

d. Solutif

7. Upaya Paksa maupun Penegakan Hukum yang dilakukan merupakan tindakan :

a. Kemanusiaan

b. Pencegahan

c. Perlindungan, Pelayanan, Pengayoman, Pencegahan

d. Kepastian

e. Edukasi

8. Menginspirasi, Memotivasi, Menjadi Role Model atau Panutan

9. Berjiwa Penolong

10. Tidak melakukan tindakan yang kontra produktif atau merusak citra institusi.

Apa yang ideal dengan yang aktual dapat berbeda bahkan bertentangan, karena core value yang diyakini memang bukan pada keutamaannya.

“Bener yen ora umum dadi salah, salah yen wis umum dadi bener”.

Hal di atas dapat dianalogikan antara polisi negara A dengan Polisi negara B. Pada saat polisi negara A berkunjung ke negara B melihat polisi polisi melayani, humanis, tertib dsb. Dipuji pujilah oleh polisi dari negara A: ” anda kok baik hati humanis “. Polisi negara B bingung dan berkata :” saya biasa biasa saja, ini pekerjaan saya”. Sebaliknya tatkala polisi negara B berkunjung ke negara A, melihat polisi kasar, membentak bentak, terima suap bahkan ada yang memeras, polisi negara B terheran heran dan bertanya :” anda kok jahat “. Polisi negara A kebingungan dan menjawab : ” saya tidak jahat, ini biasa saja, dan ini pekerjaan saya”.

Analogi di atas menunjukkan betapa cara pandang yang berbeda bahkan bertentangan dengan apa yang semestinya. Setidaknya faktor penyebabnya antara lain :

1. Pemimpin dan kepemimpinannya yang mengajarkan bahkan memerintahkan baik secara langsung maupun tidak langsung.

2. Ada dikotomi jabatan basah dan kering. Jabatan basah dipuja dihormati dan dibangga banggakan, Jabatan jabatan basah yang diidolakan antara lain :

a. Memiliki wilayah

b. Memiliki kewenangan penegakan hukum dan upaya paksa

c. Mengatur dan memberdayakan sumber daya

d. Memiliki kewenangan pengawasan dan auditing

e. Memiliki kewenangan perijinan

f. Pelayanan administrasi

3. Birokrasi yang patrimonial

4. Pendekatan personal, yang berdampak pada terbangunnya klik ( clique )

5. Sistem reward and punishment yang lemah dan tidak jelas

6. Lembaga pendidikan dikait kaitkan dengan jabatan terutama yang ada di point 2

7. Gaya hidup yang tergerus arus hedonisme

8. Etiket yang buruk, terefleksi pada : pikiran perkataan dan perbuatan

9. Pelayanannya diimplentasikan model pasar: tawar menawar dan transaksional

10. Lembaga pendidikan belum sepenuhnya menjadi wadah pencerah atau think thank

 

Dari ke 10 point di atas berdampak pada sikap : arogan, tamak dan amarah. Hal yang semestinya dihindari bagi polisi di semua lini malah dibangga banggakan.

Contoh perilaku yang merusak citra :

1. Sikap arogan

2. Memeras, menakut nakuti, mengancam, menerima suap

3. Pelayanan buruk

4. Menjadi backing yang ilegal

5. Melakukan kekerasan simbolik ataupun fisik

6. Menang menangan, memaksakan kehendak

7. Memutar balikan fakta

8. Penegakan hukum dijadikan alat atau senjata

9. Transaksional dalam perekrutan, pendidikan, pemempatan

10. Diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada publik, dsb.

Apabila dilakukan penelitian secara kualitatif untuk memahami,  menganalisa dan membuat laporannya yang berbasis ilmu ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora (kemanusiaan), yang bercorak interpretatif atau hermeneutik,suatu kebenaran dalam kehidupan sosial ada dalam interpretasi, bukan pada fakta-fakta sosial. Yang terefleksk dalam kelakuan manusia dan ungkapan-ungkapannya, sebagai paradigmanya.

Untuk membangun agar yang ideal dengan yang aktual tidak bertentangan atau setidaknya gapnya tidak terlalu jauh antara lain  mencakup :

1. Adanya political will yang kuat

2. Kepemimpinan yang transformatif

3. Tim transformasi sebagai back up system

4. Membangun birokrasi yang rasional dengan pendekatan yang impersonal berbasis kompetensi

5. Membuat dan menerapkan SOP yang berisi a. Job description dan job analysis

b. Standardisasi keberhasilan pelaksanaan tugas

c. Sistem penilaian kinerja

d. Sistem reward and punishment

e. Etika kerja

6. Menyiapkan SDM yang akan mengawaki atau bisa menjadi ikon atau panutan

7. Menerapkan model smart management yang berbasis pada siatem on line dan menerapkan merit system

8. Mereformasi lembaga pendidikan dan pembinaan SDM

9. Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal

10. Membuat pola pola pengembangannya

Point poit di atas bisa dilakukan dalam reformasi birokasi dan melakukan perubahan perilaku organisasi kepolisian. Tentu saja perubahan ini dilakukan dari tingkat atas sd tingkat bawah. Mulai dari membangun infrastuktur, pembangunan SDMnya, penataan kembali aturan aturannya hingga penerapan penegakannya.

Citra buruk menunjukan ketidak percayaan publik kepada polisi. Akhir hayat birokrasi ? Di dalam birokrasi yang rasional maka akan berbasis pada :

1. logika

2. petugas yang profesional,

3. sistem yang terintegrasi sehingga mampu menjembatani dan memberikan solusi.

4. Publik terlayani dengan standar prima yaitu : cepat, tepat, akurat, transparan akuntabel, informatif dan mudah diakses.

5. Para petugasnya berorientasi kerja dan gaji.

6. Tingkat produktifitas menjadi kebanggaan dan standar bagi kariernya.

7. Apa yang dikerjakan ada standarnya dapat diukur dan diaudit baik di dalam birokrasi maupun dilihat dari tingkat kepuasan publik atas pelayanan kepolisian.

Namun faktanya birokrasi sering malah melilit dan membuat sulit serta berbelit belit. Berurusan dengan birokrat identik dengan duit. Tanpa duit jangan harap bisa terlayani dengan baik. Bisa saja malah hilang entah kemana. Birokrasi menjadi lahan atau ajang penguasaan sumber daya. Para birokrat berebut jabatan dan kesempatan pada posisi yang bisa dominan dan mendominasi sumber daya.

Secara faktual dapat dilihat adanya zona basah dan kering. Golongan air mata dan mata air. Pendekatan tidak rasionalpun menjangkit dan semakin mengurita para  mafia birokrasi. Klik, kroni dan berbagai kelompok personal semakin kental dan tajam dalam pengoperasionalanya. Kaum di zona nyaman akan mempertahankan status quo akan tetap senang dengan cara yang parsial konvensional dan manual. Cara cara tersebut menjadi sarang bagi adanya : kolusi korupsi dan nepotisme. Merombak birokrasi untuk menjadi rasional, bisa dianalogikan seperti Romo Mangun Wijaya analogikan : bagai putri duyung yang mendamba ekornya untuk menjadi kaki. Golongan yang rasional,idealis terus berjuang memperbaiki dapat digolongkan sebagai bagian atas yaitu golongan manusia dari putri duyung tsb. Namun lingkungan kebanyakan yang ingin mempertahankan status quo, cara manual konvensional dan parsial, dapat dianalogikan dan dikategorikan sebagai bagian ekor atau bagian bawah putri duyung.

Golongan manusia jika mengikuti pola ekor atau binatang maka ia akan gila. Sebaliknya golongan ekor tidak mungkin mengikuti golongan manusia. Tatkala ingin dipotong atau dipisahkan maka akan mati keduanya. Bagai buah simalakama yang dilematis.

Mewaraskan birokrasi bagai mengajak ekor berevolusi mjenjadi kaki manusia. Mungkin saja yang mengajak waras dianggap gila atau bajakan diserang atau bahkan untuk dimatikan.

Francis Fukuyama menulis the end of history : the last man yang menggambarkan dunia sudah sampai puncaknya dan akan mengalami kehancuran untk memulai sejarah peradaban baru. Mungkinkah analogi Fukuyama digunakan untuk the end of bureaucracy? Di era digital tidak ada lagi batas ruang dan waktu. Dlm pewayangan ruang dan waktu dianalogikan Bethara Kala sang penguasa gelap dan menguasai ruang dan waktu. Namun antara badan dan kepala kala dipisahkan agar tidak menghabiskan isi jagat raya ini. Di dalam  ceritera gerhana matahari digambarkan sang Bathara menelan matahari karena tidk ada badanya maka matahari akan bersinar lagi. Di era digital yang memangkas bethara kala adalah sistem online yang terhubung dan berbasis elektronik.

birokrasi yang tersekat sekat dlm labirin yang memusingkan dapat dipangkas dan di terobos dalam satu sistem pelayanan. One stop service menjadi bagian yang terintegrasi dalam model :  back officice, aplication dan network. Pola ini akan berkembang dalam sistem big data. Semakin mengurangi sentuhan person to person semakin menghindari potensi penyimpangan dan pengurangan potensi penyalah gunaan kewenangan.

Rasionalisasi birokrasi menjadi tantangan setiap pemimpin untuk mewaraskan dan mengakhiri kegilaan birokrasi. Selain itu memangkas mafia birokrasi adalah melawan “god fathernya” bagai naga. Para pemimpin akan diuji nyali melawan naga mafia birokrasi yang sarat dengan kesaktian yang dapat dianalogikan memiliki pangkat, jabatan, uang, media, jaringan, kekuatan hukum bahkan massa. Tatkala pemimpin produk hutang budi maka jangankan melawan pasti kerjanya hanya cium tangan dan bahkan sungkem sibuk memberi buluh bekti glondong pangareng areng. Pemimpin transformatid yang layak sebagai pejuang dan berani berkorban dan bernyali tinggi dinanti untuk menebas sang naga mafia birokrasi adalah berani membangun sistem online berbasis elektronik. Dengan sistem online maka akan ada digital recordnya para mafia tanpa dibunuh akan mati dengan sendirinya. Dan kegilaan birokrasi walau perlahan dapat diakhiri. (Chrysnanda Dwilaksana)

 

Lembah carmel 270224

Share