TRANSINDONESIA.CO – Tiba tiba pagi hari sepulang dari gereja aku mendapat WA dari Rudolf Puspa. Isinya puisi yang dibuatnya tahun 1975 kepada Nashar. Apa yang dituliskan dalam bait-bait syairnya menunjukkan kedekatan kecintaan dan kerinduannya kepada Nashar. Yang sudah dianggap sebagai orang tua, guru, sahabat dan teman diskusi. Rudolf sediri kadang juga bingung ia orang theatre belajar kepada seorang pelukis.
Di sinilah disadari bahwa seni itu tanpa pengkotak kotakan tanpa sekat dan batas. Puisi yang ditulis Rudolf Puspa pada tahun 1975 ia temukan dalam sebuah buku mungkin kumpulan puisi. Dan ia ketik kembali seperti apa aslinya.
NASHAR
Rudolf Puspa
kau jauh sendiri
aku ada sendiri
tapi kau bisa sendiri
aku juga mau dong
nashar
warna ini terlalu banyak
tergores terukir terhenyak
sebelum mati apa namanya?
nashar
kata dan kata
besar dan kecil
lingkup melingkupi
lawan melawan kan
rumit mencerahkan
anak muda dalam kemudaan
anak tangis dalam kedewasaan
nashar
jangan malu jika ku terurai tangis
nashar
jangan heran kudatang sembah
dalam kantuk akan sepinya tanya
di pesantren selama waktu ada
nashar
katamu benar
usiamu benar
matamu benar
jujur arif bijak
sulit diterapkan
atur nafas tak mudah
di umur muda ini
nashar
aku sampai pada kau kini
aku mengerti kau kini
aku tahu siapa kau
dan kulihat diri merunduk
menatap bumi yang keras dalam
berpijak tak kuat namun berdiri
terus menghadap sang kegelapan
nashar
huruf2 namamu tersusun keras
huruf2ku direntang matahari
nashar
aku tak minta tolong
aku sedang benci dan kesal
bukan kepadamu
bukan kepada siapa
bukan
aku sedang perang dengan aku
nashar
mengingat kau sama dengan anggur
terbayang kau adalah ombak di Bali
mimpi kau adalah penyakit anak muda
tapi kau ada dan begitu saja ada
sementara akupun demikian
nashar
kita sama
dan satu yang aku kurang
kau sendiri dan aku tidak
nashar
namamu memang nashar
kau kukenang dalam gelap
kumaki janganlah marah
kubenci kau karena aku
kusangsikan kau karena aku
karna karna
ya karna aku lain dan
jauh sekali sinar sakti itu
dan kau telah gamit itu sinar
nashar
aku memancar
aku menyinari
aku tertawa
aku menggigil
aku sedih
kau meradang gembira
aku benci
aku muak
aku
jangan kau tanyakan terus
kenapa hari ini kau masih tanya?
nashar
sebuah kata buatmu
jangan aku diganggu
oleh kejujuran yang kubawa
nashar
warnamu
garismu lembut bergelora
nashar
ya, nashar
nashar dan takdir
apalah artinya bagiku
sebuah nama dari perjalananku
nashar
kuingat bukan sebagai nama seseorang
karna bagiku kau bukan seseorang
kau adalah yang ada
dan aku harus ada
adaku bukan adamu
tapi kau ada dan aku bercermin
hari ini dan tuk selamanya
selagi nafas tak lagi bau
nashar
gelisah
gembira
kejam
lembut
melepas jadi satu
nashar
ku kan hidup tanpa kau
ku mau tahu siapa aku
agar disampingku kau tertawa
dan aku tersenyum mengerti
nashar
selamat pagi
Gadog 30 Mei 1975
(ini puisi yang judulnya gue nggak ngerti)
Puisi Rudolf Puspa seakan berteriak mencari Nashar dan ia menuliskan dalam sebuah dialog dan menginginkan Nashar bahagia. Banyak cerita kehidupan humanisme Nashar yang dialami Rudolf. Mungkin menjadi kenangan dan belum banyak dituliskan.
Menulis sepertinya juga kesia siaan namun ini tonggak keabadian. Terbukti Rudolf menemukan hatinya pada Nashar yang ditulis tahun 1975 berapa puluh tahun silam menguak kembali rindu akan Nashar. Demikian halnya Nashar menuliskan isi hatinya pemikirannya kepada kawannya yang tidak dikenalnya. Dari tulisan memang ada keabadian walau seringkali diejek kesia siaan.
Pramudya Anantatoer mengatakan orang boleh mengaku pandai atau hebat seperti apapun namun tatkala ia tidak menulis maka akan hilang dimakan jaman. Syair syair puisi Rudolf sangat mendalam bagaimana ia mencintai menghormati merindukan sosok Nashar. Ia merasakan ada dawai dawai jiwa yang bergetar pada resonansi yang sama di antara keduanya walau harus menjalani hidup dengan cara dan jalan yang berbeda.
Jakarta, 24 Januari 2021
Oleh: Chrysnanda Dwilaksana (Pemerhati dan Sejahrawan Seni Budaya dan Sejarah Nusantara)