Perlukah Promosi Wisata Gunung Agung?
TRANSINDONESIA.CO, KARANGASEM – Tanah belum lagi terang ketika kami mulai keluar dari penginapan. “Kita harus berangkat pagi kalau mau dapat foto Gunung Agung yang bagus.” Kata Andri Cipto Utomo (36), seorang fotografer di kantor kami.
Berburu foto Gunung Agung memang bukan perkara yang mudah. Jika tidak malam, dini hari, atau pagi sekali, maka cuaca di Karangasem, Bali, memang sedang sendu. Siang sedikit hujan turun, tirainya menutupi pemandangan ke gunung. Terkadang, awan akan berkolaborasi dengan abu yang keluar dari kepundan gunung dan menutup pandangan mata ke puncak gunung.
Di Rabu (29/11) pagi itu, kami menuju Amed. Sebuah daerah di arah Timur Laut dari Gunung Agung. Dari sini, memang puncak gunung terlihat jelas. Beberapa fotografer profesional menjadikan Amed sebagai basis pengambilan foto-foto memesona keindahan dan kemegahan gunung.
Setelah berputar-putar di Amed, kami kurang puas. Kendati puncak gunung terlihat jelas, namun banyak kabel yang melintang mengganggu sudut pengambilan foto.
Akhirnya, kami pun bergeser sedikit ke Desa Datah di Kecamatan Abang. Daerah ini lokasinya sekitar 3 kilometer dari Amed. Di sini, puncak Gunung Agung dan kepundannya yang mengepulkan uap putih dan abu kelabu terlihat jauh lebih jelas. Sementara itu, di latar depan adalah perkebunan warga yang ditanami beraneka tumbuhan, kandang, dan peternak yang masih asyik beraktivitas. Kombinasi keduanya kemudian menjadi satu pemandangan tersendiri yang sangat memesona.
Letusan Gunung dan Kesempatan Langka
Di Datah, setelah kami memarkir kendaraan, tak lama kemudian sebuah minibus putih pun turut parkir. Dua orang turis dan pemandu wisata keluar dari mobil itu. Mereka ingin menyaksikan keagungan Gunung Agung.
Angus (19) dari Sydney Australia dan pasangannya Lexy (19) sengaja meluangkan waktu pagi-pagi buta ke Datah untuk menjadi saksi kemegahan Gunung Agung yang sedang punya gawe.
“Ini sangat menarik, kita tidak pernah tahu kapan lagi akan menyaksikan peristiwa semegah ini.” Kata Angus bersemangat.
Sebelum memberanikan diri menuju ke lokasi tersebut, keduanya terlebih dahulu mencari berbagai informasi terkait aktivitas Gunung Agung. Mereka telah memahami zona bahaya 8 dan 10 kilometer.
“Kamu tak mungkin melewatkan peristiwa sebesar ini. Informasi banyak tersedia terutama di internet mengenai Gunung Agung.” Angus menjelaskan dari mana sumber informasi yang dia dapatkan.
Berkenaan dengan ditutupnya bandara, Angus tak khawatir. Kendati jadwal penerbangannya Kamis pagi dan posisi saat itu bandara masih tutup, dia bilang semua sudah dijamin oleh asuransi.
Beberapa hal yang barangkali perlu dilakukan oleh Angus dan Lexy adalah persiapan menghadapi letusan. Mereka sudah mengenakan pakaian lengan panjang, namun belum mempersiapkan masker dan penutup kepala. Mereka pun belum mengetahui aplikasi Cek Posisi Anda yang membantu khalayak untuk mengetahui lokasinya terhadap zona bahaya Gunung Agung.
Kami mencoba berbagi informasi persiapan menghadapi erupsi Gunung Agung termasuk kelengkapan masker dan perangkat lainnya. Kami juga mensosialisasikan penggunaan aplikasi Cek Posisi Anda. Tak lupa, kami meminta Angus membuat video pendek untuk menjelaskan kepada dunia bahwa Bali aman untuk wisatawan asal tidak memasuki zona bahaya yang telah direkomendasikan.
Setelah semua dirasa cukup, rombongan kami dan Angus pun berpisah. Sorenya kami mendengar Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai di Bali sudah bisa dibuka. Kami harap Angus dapat pulang dengan selamat ke negerinya dan membagi cerita keindahan Gunung Agung kepada kawan-kawannya di sana.
Pelukan Kemanusiaan
Setelah paginya menyaksikan kemegahan Gunung Agung, sore harinya kami harus menjadi saksi dampak dari peristiwa alam ini.
Adalah GOR Swecapura di Klungkung yang menjadi tempat bernaung ribuan pengungsi dari desa-desa di punggung Gunung Agung yang masuk ke dalam zona bahaya.
Kesibukan terlihat jelas di lokasi ini. Di lapangan depan, truk tangki pembawa air bersih masuk. Jurnalis dengan seragamnya yang warna-warni duduk-duduk sambil mengobrol di serambi. Sementara itu, agak di kejauhan berderet tenda pengungsi BNPB yang dihuni oleh warga.
Beranjak ke bagian dalam GOR, pengungsi ganti mendominasi pemandangan. Mereka sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang tiduran, menonton televisi, dan bersendau-gurau. Di antara kesibukan itu, seorang ibu tampak asyik menganyam kerajinan tangan dari bambu.
Sedikit berbeda adalah sekumpulan anak-anak yang sedang bernyanyi dengan riang ditemani seorang wisatawan manca negara. Mereka terlihat begitu senang, tak terlihat lagi batas-batas ras yang berbeda. Semuanya telah menyatu dalam tawa kemanusiaan.
Tak lama kemudian, masuklah dua orang lagi wisatawan dari Bulgaria Diana (45) dan Diana (21). Mereka adalah ibu dan anak yang sedang mengunjungi Ubud.
“Seorang pekerja di hotel yang kami tempati bilang kalau dia tinggal di sini.” Kata Diana yang lebih muda. “Kami pun tertarik untuk datang dan melihat, siapa tahu ada hal yang bisa kami lakukan.” Tambahnya kemudian.
Ibu dan anak itu kemudian menyapa anak-anak yang semula bernyanyi. Tak hanya itu, keduanya kemudian membaur di antara pengungsi yang berada di lapangan olah raga di bagian bawah GOR.
Mereka berjalan berkeliling sambil menyapa. Seringkali mereka berhenti untuk sekadar berbincang. Kerapkali pula mereka berhenti dan memeluk para pengungsi. Sebuah pemandangan yang sangat mengharukan dari manusia yang berbeda latar belakang dan budaya.
Berpelukan dengan orang asing bukanlah budaya kita. Namun, Diana dan Diana mengabaikan hal itu. Tanpa ragu, mereka memeluk pengungsi, mendekap erat, terkadang sambil menepuk-nepuk punggung para pengungsi dengan lembut.
“Kenapa kamu suka memeluk?” Tanya kami kepada Diana yang lebih tua.
“Inilah kemanusiaan, inilah sesungguhnya kita.” Jawab Diana sambil memeluk seorang gadis kecil Made Sulastri yang berusia sepuluh tahun dengan erat.
Di Swecapura, kami dapat menyaksikan bahwa bencana bukanlah melulu penderitaan. Di sana, sekat-sekat perbedaan antar manusia melebur menjadi pelukan di antara bangsa yang berbeda dan tak saling kenal. Inilah sejatinya pelukan kemanusiaan yang mewujud nyata.
Dilema Wisata Gunung Agung
Fenomena alam seperti yang terjadi di Gunung Agung tergolong langka. Oleh sebab itu, masyarakat di seluruh dunia pun tertarik untuk menyaksikannya. Apalagi peristiwa ini terjadi di Bali, sehingga gaungnya pun makin menggema ke seantero jagad.
Namun demikian, wisata bencana mengandung dilema. Muncul pro dan kontra terhadapnya, seperti yang terjadi di akun Twitter Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas, BNPB.
Sebagian warganet mendukung Sutopo yang mengkampanyekan wisata erupsi Gunung Agung. Di lain sisi, ada pula warganet yang mempertanyakan manakala bencana dijadikan sebagai obyek wisata.
Indonesia dapat belajar dari Islandia bagaimana mengelola dan mengubah letusan gunung menjadi obyek wisata. Di sana, Gunung Eyjafjallajokull yang erupsi telah mendatangkan jutaan turis dari seluruh dunia. Publikasi mengenai erupsi gunung ini berkontribusi pada lonjakan wisatawan yang datang ke Islandia.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, sesungguhnya wisata bencana perlu dikelola dengan baik. Persiapan wisatawan sebelum berkunjung dan rambu-rambu yang menunjukkan zona bahaya perlu disosialisasikan. Oleh sebab itu, penyebaran informasi mengenai dua hal tersebut menjadi mutlak diperlukan.
Selanjutnya berkaitan dengan penanganan pengungsi atau warga yang terdampak. Pemenuhan kebutuhan mereka juga menjadi kewajiban yang tak bisa ditinggalkan.
Apabila dua hal ini dapat dipenuhi, maka fenomena alam seperti letusan gunung bisa menjadi obyek wisata tanpa mengabaikan pengungsi. Dengan begitu, maka tak hanya pengungsi yang terbantu, namun juga membantu kehidupan banyak orang di Bali yang sebagian besar hidup dari kegiatan pariwisata.
Di masa depan, apabila wisata bencana dikelola dengan baik, maka akan dapat kita lihat harmoni antara wisatawan dan pengungsi. Wisatawan menikmati pemandangan langka yang tak pernah ditemui dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengungsi pun tak hanya merana di lokasi pengungsian, mereka bisa menerima pelukan dan uluran tangan dari para wisatawan.
Lebih jauh lagi, Deput I BNPB, Wisnu Widjaja, mengharapkan agar pengungsi tak hanya menjadi obyek, tetapi juga sebagai subyek atau penyintas. Manakala pengungsi menjadi penyintas, maka mereka aktif terlibat dalam berbagai aktivitas pariwisata ketika dan pasca letusan. Penyintas dapat berperan sebagai pemandu wisata, penyedia berbagai kerajinan dan jasa untuk wisatawan.
Harapannya, fenomena alami seperti keangungan Gunung Agung tak sampai mengganggu kehidupan dan penghidupan warga terdampak serta warga lain di sekitarnya. Mereka, wisatawan dan penyintas diharapkan mampu memberikan ruang kepada alam untuk melaksanakan aktivitasnya tanpa menimbulkan korban jiwa.
Di Bali, saat ini zona bahaya adalah radius 8 dan perluasan sectoral 10 kilometer ke arah Utara-Timur Laut dan Tenggara-Selatan-Barat Daya. Di luar zona tersebut Bali aman untuk dikunjungi. Selamat datang dan selamat berwisata di Bali (Tim Pusdatin Humas BNPB).[Sutopo Purwo Nugroho-Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB]