LEBARAN DAN FITRAH: SETIAP ANAK MANUSIA LAHIR DALAM KESUCIAN

"Lebaran seharusnya jadi rumah bagi mereka yang pernah salah arah dan ingin kembali. Termasuk anak-anak yang lahir dari jalan berliku namun tetap membawa cahaya".

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Triyo Supriyatno (Guru Besar UIN Maliki Malang)

Lebaran adalah momen pulang. Pulang bukan hanya ke kampung halaman atau rumah masa kecil, tapi pulang ke dalam diri—ke tempat paling jujur dalam hati nurani kita. Setelah sebulan berpuasa, melewati latihan menahan diri, kita tiba di satu titik yang disebut “fitrah”. Titik mula. Titik bersih. Titik suci.

Tapi apa itu fitrah? Dan bagaimana kita memahami kesucian manusia sejak lahir di tengah realitas sosial yang kompleks, termasuk mereka yang lahir dari jalan hidup yang “tak biasa”? Apakah semua manusia betul-betul setara dalam pandangan agama, meski lahir dari rahim dan sejarah yang berbeda?

Jawabannya: iya. Setiap manusia, tanpa kecuali, lahir dalam keadaan suci. Fitrah adalah warisan bawaan yang tidak bisa dihapus oleh siapa pun, bahkan oleh kesalahan orang tuanya.

Anak Manusia dan Fitrahnya

Dalam sebuah hadis yang sangat populer, Nabi Muhammad SAW bersabda:

 “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Maka orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini adalah fondasi utama yang mengajarkan kepada kita bahwa setiap manusia datang ke dunia membawa cahaya, bukan noda. Ia bukanlah produk dosa, melainkan makhluk mulia yang ditiupkan ruh oleh Allah SWT.

Itulah sebabnya, dalam ajaran Islam, tidak ada istilah “anak haram” dalam makna kemanusiaan. Yang haram adalah perbuatan zinanya, bukan bayi yang lahir darinya. Anak tetaplah anak, manusia tetaplah manusia. Ia lahir bukan untuk dihukum oleh masa lalu orang tuanya, tapi untuk menjalani masa depan yang layak.

Idul Fitri: Saat Kita Diajak Melihat Sesama dengan Mata Kasih

Ketika Lebaran datang, kita disuguhi banyak simbol: baju baru, makanan khas, pelukan dan maaf. Tapi makna terdalam dari Idul Fitri adalah “kembali ke fitrah”—kembali menjadi manusia yang memandang dunia dengan hati jernih, yang melihat sesama bukan dari latar belakang, tapi dari nilai dan ketulusan.

Itulah sebabnya, kita perlu merefleksikan ulang bagaimana cara kita melihat anak-anak yang lahir dari rahim yang tidak “ideal” menurut standar masyarakat. Apakah mereka punya tempat di hati kita? Apakah mereka juga kita peluk saat Lebaran? Atau justru mereka terpinggirkan karena kita sibuk menjaga citra agama, tapi lupa hakikatnya?

Lebaran mengajak kita tidak hanya membenahi diri sendiri, tapi juga membenahi cara kita memandang orang lain. Terutama mereka yang rentan, yang kerap dicap buruk karena asal-usulnya.

Menghapus Stigma, Merawat Cinta

Allah berfirman:

“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164)

Ayat ini adalah pengingat keras bagi kita semua. Anak tidak menanggung dosa orang tuanya. Maka, tidak ada alasan untuk mencela, mengucilkan, atau mendiskreditkan anak-anak yang lahir dari hubungan zina atau kondisi tak terduga.

Stigma adalah bentuk kezaliman. Kita tidak hanya menyakiti mereka secara sosial, tetapi juga mencabut harapan mereka untuk tumbuh sebagai manusia seutuhnya yang fitri. Padahal mungkin merekalah yang kelak bisa menjadi orang baik, ilmuwan besar, atau cahaya bagi keluarga dan bangsa.

Sebaliknya, mereka yang lahir dari keluarga “terhormat” belum tentu membawa kemuliaan jika hidupnya dipenuhi kesombongan dan kebohongan hati nuraninya.

Fitrah Tak Pernah Kotor

Ruh manusia ditiupkan oleh Allah ke dalam janin setelah usia empat bulan. Ruh itu datang dari sisi Tuhan—dari sumber yang Maha Suci. Maka bagaimana mungkin ruh itu membawa cela?

Yang ternoda bukan ruhnya, tapi pilihan hidup manusia saat dewasa. Maka tugas kita bukan menghakimi asal usul seseorang, tapi menemani mereka agar fitrah itu tetap terjaga dan tumbuh menjadi cahaya.

Syawal, bulan setelah Ramadan, bukan hanya waktu silaturahmi, tetapi juga momentum untuk memperbaiki cara kita beragama dan berperilaku sosial. Jangan sampai kita sukses menahan lapar, tapi gagal menahan lidah dari mencela. Jangan sampai kita berhasil salat tarawih penuh, tapi hati kita penuh kebencian terhadap anak yang bahkan belum tahu arti dosa.

Mari Menjadi Rumah bagi Sesama

Di akhir Ramadan, kita membaca doa yang indah:

 “Ya Allah, kembalikanlah kami kepada fitrah, dan terimalah amal ibadah kami.”

Doa ini bukan hanya tentang diri kita, tapi tentang bagaimana kita menciptakan ruang aman bagi semua jiwa—terutama mereka yang kerap ditolak di banyak pintu.

Fitrah itu lembut, putih, dan bersih. Ia tak mengenal status sosial, silsilah, atau rekam jejak keluarga. Fitrah hanya mengenal ketulusan hati dan kejujuran niat.

Maka Lebaran seharusnya menjadi ajang kita membuktikan bahwa agama ini bukan sekadar ritual, tapi juga rahmat bagi seluruh manusia—termasuk bagi mereka yang pernah salah arah, tapi ingin kembali. Termasuk untuk anak-anak yang lahir dengan jalan berliku, namun tetap membawa cahaya.

Karena setiap manusia adalah fitrah. Dan setiap fitrah adalah cahaya. Mari kita sambut dan isi bulan Syawal ini sebagai bulan cahaya bagi semesta.*

Share